"Maaf, Nyonya. Keadaan Tuan Altan semakin memburuk. Dan kondisinya akan semakin memburuk lagi jika tidak segera melakukan operasi donor jantung."
"Daddy, hiks!" Zehra menatap sang daddy yang terbaring semakin lemah. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain hanya menangis dan meratapi nasib itu. Zehra menyeka air matanya. "Nyonya, bagaimana? Apa operasinya bisa secepatnya dilakukan? Keadaan Tuan Altan sudah tidak memungkinkan untuk bertahan lagi." "Astaghfirullah, apa yang harus aku lakukan? Semua harta Daddy sudah dibekukan. Darimana aku bisa mendapatkan biaya untuk operasi donor jantung Daddy?" Zehra keluar ruangan sang Dady, lalu duduk di bangku tunggu pasien dengan menyenderkan tubuhnya yang lelah. Dengan pikiran kusutnya, Zehra beranjak mengambil beda pipih miliknya. "Aku coba hubungi Uncle Jack lagi, deh. Semoga Uncle Jack kali ini aktif dan membantuku membiayai operasi Daddy." Sekian detik Zehra kembali menunggu panggilannya diangkat, namun, nyatanya pemilik nomer itu tak ingin bicara dengan gadis itu. "Agrh! Kalian tidak punya hati!" Zehra tak ingin putus asa. Digulirnya kembali nomor-nomor saudara sang mommy juga sang daddy. Dengan harapan masih ada saudara yang masih memiliki hati nurani untuk membantunya. "Aunty Merry, bismilah semoga Aunty Merry mau membantuku." Lagi, Zehra harus kembali kecewa karena lagi-lagi pemilik nomer itu tak ingin bicara dengannya. Air mata Zehra kembali mengalir deras begitu saja. Dunia seakan benar-benar meninggalkan keluarganya ketika mereka berada di posisi terendah seperti saat ini karena kasus korupsi yang dialami oleh Altan, daddy Zehra. "Aku pastikan kalian akan menyesal karena membuat Daddy menungguku, hiks!" rutuk Zehra dengan dada yang kembang kempis menahan amarah. Zehra pun memutuskan untuk pergi dari rumah sakit mencari bantuan. Satu persatu saudara dari Dewi juga Altan telah Zehra datangi dan hubungi. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang mau membantunya dengan alasan takut terseret kasus yang tengah dihadapi daddy Zehra. "Aku harus kuat demi Daddy, aku yakin pasti ada jalannya." Zehra kembali melangkahkan kaki menuju satu perusahaan yang selama ini memiliki kerja sama dengan perusahaan sang daddy sangat baik. "Saya mohon, Tuan. Saya janji akan segera mengembalikan uang itu ketika saya sudah memiliki uang." "Maafkan kami, Nona. Tapi, bagaimana mungkin kami percaya jika Anda akan segera mengembalikan uang kami dalam waktu dekat jika sampai saat ini Anda saja tidak memiliki pekerjaan? Setidaknya harus ada jaminan agar kami bisa percaya, Nona." Zehra mengepalkan tangannya mendengar ucapan salah satu rekan bisnis sang daddy yang dikira begitu dekat, nyatanya memang orang asing. "Tapi Tuan adalah rekan bisnis Daddy yang begitu dekat, bukan? Tidakkah Anda merasa kasihan pada daddyku?" Zehra tak ingin membuang-buang waktu, karena Zehra sadar masih ada hal yang lebih penting dari itu. Zehra kembali menaiki motor maticnya meninggalkan kediaman perusahaan itu. Hatinya lelah, tapi gadis itu harus kuat demi sang daddy. Jam terus berputar. Jiwa dan raga Zehra pun sudah letih berjalan kesana kemari mencari bantuan untuk sang daddy. Namun, nyatanya sampai detik itu juga belum ada orang yang mau menolongnya. "Ya Allah, kenapa semua ini datang bertubi-tubi? Apa aku akan kuat? Aagrh!!" Brak!! Motor Zehra terjatuh tertabrak mobil karena tidak lihat kanan kiri saat di pertigaan. Zehra mengerjapkan matanya yang mulai kunang-kunang. Sekilas terlihat seorang wanita juga pria menghampiri Zehra sebelum akhirnya mata Zehra terpejam. Setelah beberapa menit Zehra memejamkan mata, gadis itu akhirnya tersadar. "Daddy!" Dada Zehra kembang kempis karena memimpikan sang daddy. "Astaghfirullah, alhamdulilah ... ini hanya mimpi." Dengan segera, Zehra beranjak dari baringannya. "Daddy." "E eh, tunggu!" Wanita itu menahan tubuh Zehra. "Apa kamu sudah baikan?" Zehra mengamati wanita dewasa yang terlihat sangat cantik dengan baju bahkan lipstik mahalnya. "Aku sudah tidak apa-apa, Nyonya." Wanita itu terlihat tersenyum, lalu memberikan handphone milik Zehra. "Ooh syukurlah, aku minta maaf karena tidak melihatmu nyebrang tadi. Ini, sejak tadi handphonemu berdering." Zehra segera mengambil handphonenya. "Mommy?" Zehra langsung kembali menghubungi nomor sang mommy karena takut ada hal penting tentang daddynya. "Moms, maaf aku--apa?" Wanita tadi ikut terkejut mendengar sentakan Zehra. "Ada apa? Apa ada terjadi sesuatu pada keluargamu?" Zehra menatap wanita cantik itu dengan sendu. "Aku harus pergi, daddyku kritis." Gadis berpasmina hitam itu beranjak dan langsung menaiki motor maticnya dengan tidak peduli pada keadaanya. "Daddy, hiks!" Zehra tidak peduli pada lututnya yang terluka. Gadis itu berlari ke ruangan sang daddy dengan deraian air mata. Langkahnya berakhir gontai melihat dokter dan para suster tengah mengecek keadaan sang daddy. "Daddy." "Nyonya, Tuan Altan sudah bisa bertahan lama lagi. Kondisinya sudah kritis. Jika tidak melakukan operasi sekarang, maka nyawanya ...." Ucapan sang dokter terhenti mendengar teriakkan Zehra menghampiri sang daddy. "Tidak, Dokter! Tolong selamatkan daddyku, hiks!" Zehra memeluk tubuh sang mommy yang hanya bisa menangisi nasib mereka. "Mungkin kita harus ikhlas, Zehra, hiks!" "Tidak, Mommy, hiks! Aku tidak mau kehilangan Daddy." "Sepertinya aku bisa membantumu, gadis muda." Zehra menoleh pada arah suara wanita yang tiba-tiba masuk ke ruangan Altan. Anak dan istri dari Altan itu saling lirik antara senang dan tidak percaya. Siapa wanita itu? Mengapa dia mau membantu mereka? "Nyonya, Anda ke sini?" Zehra menatap wanita itu heran karena mengikutinya sampai ke rumah sakit. Wanita cantik yang ternyata adalah wanita yang sudah menabrak Zehra tadi, tersenyum tipis melihat raut sendu dari Zehra dan dan ibunya. Wanita itu pun membawa Zehra dan Dewi ke tempat lain untuk berdialog. Setelah suasana tenang, bibir seksi wanita itu mulai berbicara. "Sebelumnya, perkenalkan ... namaku, Laura." Wanita bernama Laura itu mengulurkan tangan lembutnya pada Zehra. "Apa kamu tidak mengenalku?" Zehra menggelengkan kepalanya dengan membalas uluran tangan Laura. "Maaf, mungkin Anda wanita baik yang sudah mengobati tadi." Bibir seksi wanita itu tersenyum tipis mendengar jawaban Zehra. "He he. Baiklah, lupakan! Siapa namamu?" "Zehra." "Zehra? Cantik, tapi lebih cantik namaku, he he. Okey, jadi begini ...." Laura pun mulai membicarakan maksud dan tujuannya berbicara dengan Zehra. Tak ada yang ingin Zehra ucapkan selain kata gila mendengar penuturan Laura. Bagaimana mungkin seorang istri lebih memilih suaminya menikah lagi dengan wanita lain untuk mendapatkan keturunan sebab alasan dirinya tidak mau memberikan keturunan itu. "Astaghfirullah!" Zehra tersentak mendengar penuturan Laura tentang apa yang harus disetujuinya sebelum Laura membantu Zehra. "Anda gila, Nyonya! Saya tidak mau!" sentak Zehra yang langsung berdiri meninggalkan wanita itu. "Kamu yakin, Zehra? Aku akan membiayai semua operasi daddymu tidak kamu bersedia," ujar si wanita yang membuat langkah Zehra terhenti."Kita ke rumah sakit? Siapa yang sakit, Sayang?" Laura tak menghiraukan pertanyaan dari Jovan. Wajahnya begitu bahagia saat Zehra mengatakan bersedia melakukan perjanjian gila dengannya. Laura langsung membawa Jovan menemui Zehra agar apa yang direncanakan cepat terkabul. "Duduk, Sayang," ucap Laura pada Jovan dengan senyum cerianya. "Ini Zehra. Jadi, aku ...." Jovan begitu marah mendengar ucapan demi ucapan dari mulut Laura. "Kamu gila, Laura!" sentak Jovan, membuat Zehra pun meremas jari-jarinya karena takut mendengar sentakan itu, apalagi saat Jovan menolaknya dengan jelas. "Aku tidak akan pernah melakukannya, Laura. Laura mencekal tangan Jovan untuk menghentikan langkah pria itu. "Honey, tunggu!" Jovan menatap Laura begitu tajam. "Kamu gila, Laura. Kamu lebih rela suamimu menikah lagi daripada kamu merelakan pekerjaanmu dan mengabulkan keinginanku? Kamu tidak mencintaiku, La. Cintamu hanya sebatas ucapan saja!" Laura memeluk Jovan dari belakang saat sang suami henda
"Mommy, Bagaimana keadaan, Daddy?" Dewi, daddy dari Zehra sedikit terkejut karena Zehra tidak jadi dibawa pulang oleh Jovan. "Zehra, kamu tidak jadi ikut suamimu, Nak?" Zehra menghela nafasnya, lalu duduk di samping sang mommy. "Besok mereka ke sini lagi. Tuan Jovan memintaku untuk menemani Mommy dulu malam ini." Dewi mengangguk mengiyakan walau masih belum rela jika sang putri harus menjadi istri kedua dari Jovan. Apalagi saat tahu jika nanti Zehra harus memberikan anaknya pada Laura. Namun, Dewi pun tak bisa berbuat apa-apa untuk melarang sang putri melakukan semua itu karena mereka memang tidak punya pilihan. Zehra merangkul tangan Dewi yang menatapnya begitu sendu. "Sudah, Mommy jangan terlalu banyak berpikir tentangku. Aku ini masih muda, aku hanya cuma menjadi istri kedua sampai melahirkan anak Tuan Jovan. Setelah itu aku bisa bebas hidup dengan jalanku sendiri." "Zehra, hiks!" Dewi kembali memeluk putrinya dengan pilu. "Mommy hanya bisa berdoa, semoga Tuan Jovan m
"Apa Zehra sudah berada di kamarnya?" tanya Laura lagi dengan nada manja pada Jovan. "Ya, dia sudah aku antar ke kamar yang sudah kamu siapkan." "Baguslah, terima kasih karena kamu mendengarkan peemintaanku. Aku mencintaimu, Honey." Laura kembali mengecup bibir Jovan dengan sangat manja. "Oh iya, manager aku telpon, katanya besok pagi aku harus pergi ke Australi untuk melakukan pemotretan yang minggu kemaren aku ceritakan." Mata Jovan terbelalak mendengar ucapan Laura. "Besok pagi? Bukannya kamu baru pulang dari Singapura kemaren, La?" Laura langsung mengapit wajah sang suami. "Mau bagaimana lagi? Ini pekerjaanku dan aku menyukainya." "Tapi aku tidak menyukainya, La," ujar Jovan sedikit menyentak. "Aku merindukanmu, apa kamu tidak merindukanku? Kita baru saja bersama dalam semalam, lalu kamu sudah harus pergi lagi?" Zehra menghela napasnya panjang mendengar percakapan suami istri itu. Kini Zehra mengerti mengapa pernikahannya dengan Jovan harus terjadi. Namun, tetap
Zehra mengerjapkan matanya mendengar suara adzan berkumandang dari sudut kompleks rumah mewah milik Jovan. Karena sudah terbiasa bangun pagi, Zehra pun segera beranjak untuk membersihkan diri dan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Gadis itu tak hentinya mengucap syukur melihat kabar dari sang mommy tentang keadaan Altan yang katanya sudah sadar. "Alhamdulillah, terima kasih ya Robb." Zehra kembali bersujud terlalu haru mendengar kabar Altan. Zehra bahkan sudah melupakan rasa sakit yang kemaren dirasakannya. Bagi gadis berbulu mata lentik itu, keselamatan sang daddy membuatnya lupa akan kesakitan itu. Zehra pun tidak sia-sia merelakan dirinya sebagai istri kontrak Jovan karena kini kondisi sang Daddy sudah semakin membaik. Setelah mengucapkan berbagai syukur, Zehra kaluar kamarnya menuju menuju dapur. "Bibi, apa ada yang bisa aku bantu?" "Nyonya, Nyonya sudah bangun pagi-pagi begini?" Zahra tersenyum tipis pada wanita paruh baya itu. "Saya sudah terbiasa b
Dua minggu berlalu, Zehra akhirnya bisa menikmati perannya sebagai seorang istri dari Jovan. Alam seolah memberikan kesempatan untuk Zehra merasakan kebahagiaan bersama Jovan walau hanya sebagai pasangan kontrak. Selama Zehra tinggal di rumah Jovan dan Laura, Laura semakin sibuk dan jarang pulang. "Kamu berangkat lagi pagi-pagi buta begini, Laura?" tanya Jovan yang merasa bosan bertanya pada kepergian Laura. "Jo, ku mohon jangan berpikiran macam-macam. Aku hanya bekerja, kamu bisa bersama Zehra dulu sementara waktu. Agar Zehra juga bisa cepat hamil. Aku pergi." Jovan ingin sekali merutuki Laura sebagai istri gila. Bahkan Laura seperti tidak ada sedih-sedihnya saat tahu Jovan selalu bersama Zehra. Laura selalu berdalih agar Zehra bisa cepat hamil dan hubungan mereka bisa cepat berakhir. Huek!! Zehra membekap mulutnya karena seperti merasakan sesuatu yang tak biasa dari perutnya. "Astaghfirullah, kenapa rasanya beberapa hari ini mual sekali ya kalau pagi?" Jovan yang m
Huek!! Itulah yang dirasakan Zehra setiap pagi. Namun, wanita muda itu tidak mengeluh sama sekali. Sebab, Jovan selalu ada dan siaga saat Zehra membutuhkannya. "Minum dulu, Ra. Kamu harus banyak minum untuk menggantikan cairan tubuh yang kamu keluarkan." Zehra hanya mengangguk dan mengambil segelas air putih hangat yang diberikan Jovan. "Terima kasih, Om." "Sekarang bagaimana? Apa masih pusing?" Jovan mengambil kepala Zehra, lalu memijatnya dengan lembut. "Aku sudah baikan, Om. Aku pengen tiduran saja." Zehra menatap Jovan antara haru juga tidak enak. "Om, terima kasih banyak." Jovan meraba tangan Zehra. "Untuk apa, Ra?" "Untuk semuanya." Jovan tersenyum tipis mendengar ucapan istri mudanya. "Aku yang seharusnya berterima kasih padamu, Ra. Kamu tahu? Aku belum pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Hidupku seolah bersinar semua setelah tahu aku akan jadi seorang Daddy. Maaf ya jika anakku sedikit nakal karena membuatmu harus seperti ini." Zehra menarik napasnya
Ting! Tong! Jovan dan Laura menoleh pada arah suara. Tak lama dari suara bel, mata Jovan dan Laura terbelalak mendengar suara wanita yang mereka kenal sudah memasuki rumah mereka. Sontak Laura dan Jovan panik karena mereka pikir sang mommy baru akan datang besok. "Jo, La, kalian dimana sih?" "Apa yang akan kita lakukan, Jo?" Jovan sendiri masih bingung dan panik karena mereka belum memberi tahu perjanjian mereka dengan Zehra. "Aku juga bingung, La. Kenapa Mommy datang sekarang? Bukankah Mommy akan datang besok?" Zehra yang hendak mengambil minuman hangat pun berdiri mematung melihat wanita paruh baya yang tengah sibuk dengan handphonenya. "Ya Allah, apa dia mommynya Om Jovan?" Zehra segera memberikan tubuhnya untuk kembali ke kamar, namun, langkahnya terhenti saat wanita paruh baya itu memanggilnya. "Tunggu!" Zehra memejamkan matanya mendengar suara hill yang dikenakan wanita itu semakin mendekatinya. Mau tidak mau, Zehra kembali membalikkan tubuhnya menghadap wan
Laura semakin tidak suka karena Elvira malah perhatian pada Zehra. "Aku tidak rela suamiku terus bersamanya, Mommy El juga kenapa harus perhatian seperti itu sih?" Laura terus bergerutu dalam hatinya. "Jika menunggu Zehra melahirkan, kelamaan. Aku harus mencari cara untuk menyingkirkan bayi itu." "Bagaimana, enak? Apa masih mual?" Zehra tersenyum senang penuh arti pada Elvira. "Nyonya, ini enak sekali. Terima kasih banyak, Nyonya. Perutku sudah tidak terasa mual." Elvira menoleh pada Beti, lalu kembali pada Zehra. "Sebelumnya saya minta maaf, apa kamu ... punya suami?" Jantung Zehra kembali berdetak tak karuan. "Punya, Nyonya. Tapi dia kerja dan tidak bisa pulang kapan saja. Jadi saya ikut Bi Beti dulu karena tidak punya keluarga lagi." "Saya sudah izin sama Nyonya Laura juga Tuan Jovan, Nyonya," sahut Beti. Elvira mengangguk mengerti. "Baiklah, aku hanya berpikir suami mana yang begitu kejam membiarkan istrinya menderita sendiri. Aku masih ingat dulu saat aku hamil Jovan,