"Aarghh!!!" Zehra berteriak sekencang-kencangnya melepaskan sesak di dadanya yang teramat sakit. "Kenapa ini sakit sekali, hiks!" Zehra terus meremas dadanya. Bahkan Zehra begitu tak tahan menahan rasa sakit itu. Air matanya terus mengalir mengingat bayi yang sudah dilahirkannya kini harus ditinggalkan. Zehra juga harus melupakan pria dewasa yang sudah membuatnya jatuh hati. "Maafkan Mommy, Devane, hiks!" Zehra memegang lalu mengecup erat baju bayi laki-laki yang sudah disiapkannya sejak awal. Laura tidak membiarkan Zehra untuk bertemu terlebih dahulu dengan bayinya. Namun, atas izin Jovan, Zehra boleh memberikan nama untuk bayi mereka. Walau Laura menolak keras, pada akhirnya Jovan mempu membuat Laura tidak bisa lagi menolak nama bayi yang di berikan oleh Zehra. "Andrew Devano Robert." Jovan mengelus pipi lembut sang buah hati dengan hati yang teriris. "Anak laki-laki yang kuat dan rendah hati. Daddy harap kamu bisa menjadi pria yang bisa membuat wanitanya bahagia nanti.
"Jangan katakan kamu berubah karena wanita itu, Jo!" "Hentikan, Laura. Jangan menyalahkan orang lain untuk menutupi kesalahanmu. Mungkin aku yang baru sadar jika sebenarnya kamu tidak benar-benar mencintaiku." Laura menggelengkan kepalanya. "Kamu jahat, Jo! Kamu berubah karena wanita itu, bukan?" Elvira menggelengkan kepalanya mendengar Laura menyebut wanita lain. Elvira mengira sikap Jovan berubah karena kepincut wanita lain. Laura pun semakin berakting kembali saat melihat sang ibu mertua melihat mereka bertengkar. "Jo, Apa yang kamu lakukan pada isterimu?" "Mommy." Jovan mengusap wajahnya bingung. Jovan bingung harus bagaimana menjelaskan semuanya pada Elvira. Sebab, Elvira memang sangat menyayangi Laura, juga keadaan memang memojokkan Jovan. "Mom, aku bisa jelaskan." "Apa yang ingin kamu jelaskan, hah? Kamu selingkuh dan menyakiti istrimu, Jo? Kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan padanya? Laura baru saja bertaruh nyawa untuk melahirkan keturunanmu. Tapi i
"Dia sudah pingsan, kita mau bawa dia ke mana?" ujar pria yang sudah membekap Zehra. "Bos bilang terserah, asal tidak meninggalkan jejak," sahut satu pria yang menyamar sebagai supir taksi. "Apa kita mau bawa dia bersenang-senang dulu?" Pria yang membekap Zehra tersenyum penuh arti mendengar pertanyaan dari kawannya. Pria itu itu pun menatap wajah Zehra yang memang terlihat begitu cantik. Senyum penuh arti itu juga terlukis dari bibir pria yang mengendara mobil. "Baiklah, kita akan bersenang-senang terlebih dahulu." Sang supir pun menginjak pedalnya dengan cepat. Zehra masih tak sadarkan diri. Akhirnya mobil itu sampai di jalanan sepi. Dua pria itu turun mengamati sekitar. "Sepertinya aman, Bro." "Ya, aku duluan. Aku sudah tidak tahan melihat kecantikannya." Pria itu melangkahkan kakinya hendak menuju pada Zehra, namun lengannya tercekal oleh sang kawan. "Enggak bisa, aku duluan. Aku yang sudah membuatnya pingsan, jadi aku duluan dong." Setelah perdebatan pendek
"Maaf, Nyonya. Keadaan Tuan Altan semakin memburuk. Dan kondisinya akan semakin memburuk lagi jika tidak segera melakukan operasi donor jantung." "Daddy, hiks!" Zehra menatap sang daddy yang terbaring semakin lemah. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain hanya menangis dan meratapi nasib itu. Zehra menyeka air matanya. "Nyonya, bagaimana? Apa operasinya bisa secepatnya dilakukan? Keadaan Tuan Altan sudah tidak memungkinkan untuk bertahan lagi." "Astaghfirullah, apa yang harus aku lakukan? Semua harta Daddy sudah dibekukan. Darimana aku bisa mendapatkan biaya untuk operasi donor jantung Daddy?" Zehra keluar ruangan sang Dady, lalu duduk di bangku tunggu pasien dengan menyenderkan tubuhnya yang lelah. Dengan pikiran kusutnya, Zehra beranjak mengambil beda pipih miliknya. "Aku coba hubungi Uncle Jack lagi, deh. Semoga Uncle Jack kali ini aktif dan membantuku membiayai operasi Daddy." Sekian detik Zehra kembali menunggu panggilannya diangkat, namun, nyatanya pemilik nome
"Kita ke rumah sakit? Siapa yang sakit, Sayang?" Laura tak menghiraukan pertanyaan dari Jovan. Wajahnya begitu bahagia saat Zehra mengatakan bersedia melakukan perjanjian gila dengannya. Laura langsung membawa Jovan menemui Zehra agar apa yang direncanakan cepat terkabul. "Duduk, Sayang," ucap Laura pada Jovan dengan senyum cerianya. "Ini Zehra. Jadi, aku ...." Jovan begitu marah mendengar ucapan demi ucapan dari mulut Laura. "Kamu gila, Laura!" sentak Jovan, membuat Zehra pun meremas jari-jarinya karena takut mendengar sentakan itu, apalagi saat Jovan menolaknya dengan jelas. "Aku tidak akan pernah melakukannya, Laura. Laura mencekal tangan Jovan untuk menghentikan langkah pria itu. "Honey, tunggu!" Jovan menatap Laura begitu tajam. "Kamu gila, Laura. Kamu lebih rela suamimu menikah lagi daripada kamu merelakan pekerjaanmu dan mengabulkan keinginanku? Kamu tidak mencintaiku, La. Cintamu hanya sebatas ucapan saja!" Laura memeluk Jovan dari belakang saat sang suami henda
"Mommy, Bagaimana keadaan, Daddy?" Dewi, daddy dari Zehra sedikit terkejut karena Zehra tidak jadi dibawa pulang oleh Jovan. "Zehra, kamu tidak jadi ikut suamimu, Nak?" Zehra menghela nafasnya, lalu duduk di samping sang mommy. "Besok mereka ke sini lagi. Tuan Jovan memintaku untuk menemani Mommy dulu malam ini." Dewi mengangguk mengiyakan walau masih belum rela jika sang putri harus menjadi istri kedua dari Jovan. Apalagi saat tahu jika nanti Zehra harus memberikan anaknya pada Laura. Namun, Dewi pun tak bisa berbuat apa-apa untuk melarang sang putri melakukan semua itu karena mereka memang tidak punya pilihan. Zehra merangkul tangan Dewi yang menatapnya begitu sendu. "Sudah, Mommy jangan terlalu banyak berpikir tentangku. Aku ini masih muda, aku hanya cuma menjadi istri kedua sampai melahirkan anak Tuan Jovan. Setelah itu aku bisa bebas hidup dengan jalanku sendiri." "Zehra, hiks!" Dewi kembali memeluk putrinya dengan pilu. "Mommy hanya bisa berdoa, semoga Tuan Jovan m
"Apa Zehra sudah berada di kamarnya?" tanya Laura lagi dengan nada manja pada Jovan. "Ya, dia sudah aku antar ke kamar yang sudah kamu siapkan." "Baguslah, terima kasih karena kamu mendengarkan peemintaanku. Aku mencintaimu, Honey." Laura kembali mengecup bibir Jovan dengan sangat manja. "Oh iya, manager aku telpon, katanya besok pagi aku harus pergi ke Australi untuk melakukan pemotretan yang minggu kemaren aku ceritakan." Mata Jovan terbelalak mendengar ucapan Laura. "Besok pagi? Bukannya kamu baru pulang dari Singapura kemaren, La?" Laura langsung mengapit wajah sang suami. "Mau bagaimana lagi? Ini pekerjaanku dan aku menyukainya." "Tapi aku tidak menyukainya, La," ujar Jovan sedikit menyentak. "Aku merindukanmu, apa kamu tidak merindukanku? Kita baru saja bersama dalam semalam, lalu kamu sudah harus pergi lagi?" Zehra menghela napasnya panjang mendengar percakapan suami istri itu. Kini Zehra mengerti mengapa pernikahannya dengan Jovan harus terjadi. Namun, tetap
Zehra mengerjapkan matanya mendengar suara adzan berkumandang dari sudut kompleks rumah mewah milik Jovan. Karena sudah terbiasa bangun pagi, Zehra pun segera beranjak untuk membersihkan diri dan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Gadis itu tak hentinya mengucap syukur melihat kabar dari sang mommy tentang keadaan Altan yang katanya sudah sadar. "Alhamdulillah, terima kasih ya Robb." Zehra kembali bersujud terlalu haru mendengar kabar Altan. Zehra bahkan sudah melupakan rasa sakit yang kemaren dirasakannya. Bagi gadis berbulu mata lentik itu, keselamatan sang daddy membuatnya lupa akan kesakitan itu. Zehra pun tidak sia-sia merelakan dirinya sebagai istri kontrak Jovan karena kini kondisi sang Daddy sudah semakin membaik. Setelah mengucapkan berbagai syukur, Zehra kaluar kamarnya menuju menuju dapur. "Bibi, apa ada yang bisa aku bantu?" "Nyonya, Nyonya sudah bangun pagi-pagi begini?" Zahra tersenyum tipis pada wanita paruh baya itu. "Saya sudah terbiasa b