Zehra mengerjapkan matanya mendengar suara adzan berkumandang dari sudut kompleks rumah mewah milik Jovan. Karena sudah terbiasa bangun pagi, Zehra pun segera beranjak untuk membersihkan diri dan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Gadis itu tak hentinya mengucap syukur melihat kabar dari sang mommy tentang keadaan Altan yang katanya sudah sadar.
"Alhamdulillah, terima kasih ya Robb." Zehra kembali bersujud terlalu haru mendengar kabar Altan. Zehra bahkan sudah melupakan rasa sakit yang kemaren dirasakannya. Bagi gadis berbulu mata lentik itu, keselamatan sang daddy membuatnya lupa akan kesakitan itu. Zehra pun tidak sia-sia merelakan dirinya sebagai istri kontrak Jovan karena kini kondisi sang Daddy sudah semakin membaik. Setelah mengucapkan berbagai syukur, Zehra kaluar kamarnya menuju menuju dapur. "Bibi, apa ada yang bisa aku bantu?" "Nyonya, Nyonya sudah bangun pagi-pagi begini?" Zahra tersenyum tipis pada wanita paruh baya itu. "Saya sudah terbiasa bangun jam segini, Bi. Lagipula ini kan sudah siang." Wanita itu pun tersenyum pada Zehra. "Nyonya mau saya bikinin minum?" Wanita itu mengulurkan tangannya pada gadis yang memakai pashmina itu. "Oh iya, nama saya Rosa, Nyonya. Anda bisa memanggil saya Ros atau Rosa." Zehra kembali tersenyum mendengar ucapan wanita itu. "Terima kasih, Bibi Rosa. Saya Zehra." Zehra kembali lega karena nyatanya orang-orang di rumah itu menerimanya baik. "Bibi, apa Bibi sudah lama kerja di sini?" "Lumayan sih, Nyonya. Sejak Tuan Jovan menikah dengan Nyonya Laura." Zehra mengangguk mengerti. Gadis itu menoleh pada arah kamar Jovan dan Laura yang berada di lantai atas. Lamunan Zehra pun terhenti mendengar teriakkan dari Jovan pada Laura. "Berhenti, Laura!" Nampak Laura pun sedikit berlari keluar kamarnya dan tidak menghiraukan teriakkan suaminya. Zehra menoleh pada arah Rosa yang juga terdiam menatap apa yang terjadi dengan Jovan dan Laura. Tentu Zehra yakin jika Rosa pasti tahu bagaimana kehidupan rumah tangga Jovan dan Laura selama ini. "Tuan Jovan terlalu mencintai Nyonya Laura, sehingga apapun kesalahan yang dilakukan oleh Nyonya Laura, pasti Tuan Jovan maafkan." Zehra menghela napasnya dalam. Sedikit sesak mendengar ucapan Rosa yang mengatakan bagaimana suaminya begitu mencintai istri pertamanya. Dengan cepat, Zehra sadar diri siapa dirinya yang tidak boleh memiliki perasaan itu. "Bi, apa kebiasaan Tuan Jovan di pagi hari? Maksud saya, apa dia suka minum teh, atau kopi, gitu?" "Tuan sebentar lagi akan turun untuk sarapan karena sebentar lagi harus pergi ke kantor, Nyonya. Jika Nyonya mau, Nyonya bisa menyiapkan sarapan untuk Tuan." "Baiklah, Bi." Tak lama, Jovan pun turun dengan raut marah. Namun, melihat Zehra, Jovan terlihat menghela napasnya dan menepis amarah itu. Zehra pun tersenyum tipis walau ragu. "Tuan saya siapkan sarapannya, ya." Jovan terdiam sejenak. "Jangan panggil aku Tuan, Zehra. Aku bukan tuanmu, aku suamimu." Zehra menatap Jovan bingung. "Tapi--" "Apa kamu juga ingin menjadi istri pembangkang, Zehra?" Jovan menatap Zehra dengan tajam, sedetik kemudian Jovan memalingkan wajahnya. "Maaf, saya tidak bermaksud memarahimu, Zehra." Zehra mengangguki ucapan Jovan pada akhirnya. "Tidak apa-apa, Om suami. Eh, kok om suami, sih?" Jovan mengerutkan keningnya mendengar panggilan Zehra. Sedetik kemudian Jovan terdengar tertawa kecil mendengar panggilan itulah. Jovan mengerti jika mungkin karena usianya dengan Zehra terpaut jauh, sehingga Zehra masih ragu. "Duduklah, Zehra. Temani aku sarapan." Jovan menarik tangan Zehra untuk duduk di sampingnya. Tak ada suara yang keluar dari mulut mereka. Hanya ada suara sentuhan sendok dan garpu dari piring mereka. Zehra sendiri masih gugup harus sarapan pertama kalinya bersama Jovan. "Hari ini aku tidak masuk kantor, apa kamu mau menjenguk daddymu?" Zehra tersenyum lebar mendengar pertanyaan Jovan. "Apa boleh, Om suami?" Lagi, Jovan terdiam mendengar panggilan Zehra. "Kalau kamu tidak nyaman, kamu boleh memanggilku om saja, Zehra. Tidak usah doble-doble seperti itu." Zehra pun tersenyum malu. "Maaf, Om." Setelah sarapan, Jovan membawa Zehra menjenguk sang daddy. Zehra begitu bahagia karena Altan akhirnya sadar. Walau awalnya Altan sangat sedih, pada akhirnya Altan sadar bagaimana putrinya berjuang untuk menyelamatkan dirinya. "Tuan, saya titip putri saya," ujar Altan, yang langsung diangguki oleh Jovan. Zehra memeluk tubuh sang Daddy dengan deraian air mata haru. "Daddy, cepatlah sembuh. Jangan pikirkan apapun selain kesehatan, Daddy. Aku mencintaimu." Tidak banyak hal yang Zehra lakukan di rumah sakit selain hanya melihat keadaan Altan dan memastikan jika Jovan dan Laura memberikan perawatan terbaik untuk sang daddy. Sesampainya di rumah, Zehra kembali ke kamarnya. Namun, Zehra terkejut mendengar suara barang pecah dari kamar Jovan. Zehra takut terjadi sesuatu pada Jovan yang masih dalam keadaan marah pada Laura. "Astaghfirullah, ada apa, ya?" Walau ragu, Zehra melangkahkan kakinya menuju kamar itu. Zehra terkejut karena tangan pria yang berstatus suaminya itu berlumuran darah. Dengan segera Zehra menghampiri Jovan. "Astaghfirullah, apa yang terjadi, Om?" Zehra mencium aroma alkohol dari mulut Jovan yang saat ini tengah menatap kosong ke arah lain. "Om, kenapa harus seperti ini, sih?" Zehra hendak beranjak mengambil alat untuk membersihkan luka Jovan, namun, Jovan menarik tangannya. "Tetaplah di sini, Zehra." Zehra bingung sekaligus takut, sebab, tatapan Jovan tidak biasa. "Tapi, Om--" Zehra terkejut karena tubuhnya ditarik oleh pria dewasa itu ke dalam dekapannya. "Aku selalu kesepian, Zehra. Istriku selalu lebih memilih pekerjaannya, apa aku memang semedihkan itu?" Zehra mendorong tubuh Jovan. "Om, jangan seperti ini." Jovan kembali menarik tubuh Zehra. "Kenapa? Kamu istriku, bukan? Kamu bersedia mengandung dan melahirkan anakku, bukan seperti?" Dada Zehra kembang kempis menahan gejolak bingung serta takut yang menjadi satu. "Om, aku ...." Zehra tidak bisa melanjutkan ucapannya karena bibir Jovan sudah menempel pada bibirnya. Ingin sekali Zehra menolak. Namun, Zehra sadar jika dirinya memang milik Jovan saat ini dan pria itu berkah melakukan apapun padanya termasuk jika Jovan ingin menyentuhnya.Dua minggu berlalu, Zehra akhirnya bisa menikmati perannya sebagai seorang istri dari Jovan. Alam seolah memberikan kesempatan untuk Zehra merasakan kebahagiaan bersama Jovan walau hanya sebagai pasangan kontrak. Selama Zehra tinggal di rumah Jovan dan Laura, Laura semakin sibuk dan jarang pulang. "Kamu berangkat lagi pagi-pagi buta begini, Laura?" tanya Jovan yang merasa bosan bertanya pada kepergian Laura. "Jo, ku mohon jangan berpikiran macam-macam. Aku hanya bekerja, kamu bisa bersama Zehra dulu sementara waktu. Agar Zehra juga bisa cepat hamil. Aku pergi." Jovan ingin sekali merutuki Laura sebagai istri gila. Bahkan Laura seperti tidak ada sedih-sedihnya saat tahu Jovan selalu bersama Zehra. Laura selalu berdalih agar Zehra bisa cepat hamil dan hubungan mereka bisa cepat berakhir. Huek!! Zehra membekap mulutnya karena seperti merasakan sesuatu yang tak biasa dari perutnya. "Astaghfirullah, kenapa rasanya beberapa hari ini mual sekali ya kalau pagi?" Jovan yang m
Huek!! Itulah yang dirasakan Zehra setiap pagi. Namun, wanita muda itu tidak mengeluh sama sekali. Sebab, Jovan selalu ada dan siaga saat Zehra membutuhkannya. "Minum dulu, Ra. Kamu harus banyak minum untuk menggantikan cairan tubuh yang kamu keluarkan." Zehra hanya mengangguk dan mengambil segelas air putih hangat yang diberikan Jovan. "Terima kasih, Om." "Sekarang bagaimana? Apa masih pusing?" Jovan mengambil kepala Zehra, lalu memijatnya dengan lembut. "Aku sudah baikan, Om. Aku pengen tiduran saja." Zehra menatap Jovan antara haru juga tidak enak. "Om, terima kasih banyak." Jovan meraba tangan Zehra. "Untuk apa, Ra?" "Untuk semuanya." Jovan tersenyum tipis mendengar ucapan istri mudanya. "Aku yang seharusnya berterima kasih padamu, Ra. Kamu tahu? Aku belum pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Hidupku seolah bersinar semua setelah tahu aku akan jadi seorang Daddy. Maaf ya jika anakku sedikit nakal karena membuatmu harus seperti ini." Zehra menarik napasnya
Ting! Tong! Jovan dan Laura menoleh pada arah suara. Tak lama dari suara bel, mata Jovan dan Laura terbelalak mendengar suara wanita yang mereka kenal sudah memasuki rumah mereka. Sontak Laura dan Jovan panik karena mereka pikir sang mommy baru akan datang besok. "Jo, La, kalian dimana sih?" "Apa yang akan kita lakukan, Jo?" Jovan sendiri masih bingung dan panik karena mereka belum memberi tahu perjanjian mereka dengan Zehra. "Aku juga bingung, La. Kenapa Mommy datang sekarang? Bukankah Mommy akan datang besok?" Zehra yang hendak mengambil minuman hangat pun berdiri mematung melihat wanita paruh baya yang tengah sibuk dengan handphonenya. "Ya Allah, apa dia mommynya Om Jovan?" Zehra segera memberikan tubuhnya untuk kembali ke kamar, namun, langkahnya terhenti saat wanita paruh baya itu memanggilnya. "Tunggu!" Zehra memejamkan matanya mendengar suara hill yang dikenakan wanita itu semakin mendekatinya. Mau tidak mau, Zehra kembali membalikkan tubuhnya menghadap wan
Laura semakin tidak suka karena Elvira malah perhatian pada Zehra. "Aku tidak rela suamiku terus bersamanya, Mommy El juga kenapa harus perhatian seperti itu sih?" Laura terus bergerutu dalam hatinya. "Jika menunggu Zehra melahirkan, kelamaan. Aku harus mencari cara untuk menyingkirkan bayi itu." "Bagaimana, enak? Apa masih mual?" Zehra tersenyum senang penuh arti pada Elvira. "Nyonya, ini enak sekali. Terima kasih banyak, Nyonya. Perutku sudah tidak terasa mual." Elvira menoleh pada Beti, lalu kembali pada Zehra. "Sebelumnya saya minta maaf, apa kamu ... punya suami?" Jantung Zehra kembali berdetak tak karuan. "Punya, Nyonya. Tapi dia kerja dan tidak bisa pulang kapan saja. Jadi saya ikut Bi Beti dulu karena tidak punya keluarga lagi." "Saya sudah izin sama Nyonya Laura juga Tuan Jovan, Nyonya," sahut Beti. Elvira mengangguk mengerti. "Baiklah, aku hanya berpikir suami mana yang begitu kejam membiarkan istrinya menderita sendiri. Aku masih ingat dulu saat aku hamil Jovan,
"Om, sebaiknya Om cepat ke kamar Nyonya Laura. Aku takut Nyonya Elvira atau Nyonya Laura datang ke sini." Jovan menatap Zehra begitu sendu. "Kamu yakin tidak apa-apa?" Zehra menunduk bingung. Sejujurnya hatinya terus gelisah jika harus seperti itu. Zehra tidak bisa hidup tenang dengan keberadaan Laura atau pun Elvira. "Om, aku rasa sebaiknya aku tidak tinggal di sini. Apalagi Nyonya Elvira mau ke sini terus. Hubungan kita bisa saja tercium oleh Nyonya Elvira nanti, bukan?" Jovan menatap Zehra sejenak. "Kamu benar, Zehra. Aku akan bicarakan ini pada Laura nanti. Sekarang kamu tidurlah." Zehra tersenyum getir merasakan perhatian dari Jovan. Perhatian yang seharusnya tidak membuatnya nyaman. Sebab, kenyamanan itu hanya akan membuatnya semakin sakit hati. "Iya, Om. Terima kasih." Jovan mengelus perut Zehra, lalu membungkukkan tubuhnya mengecup perut itu. "Daddy mohon kamu baik-baik ya di sana. Jangan buat Mommy mu sakit." Zehra menghela napasnya panjang menetralkan
"Berani kamu melanggar perjanjian kita, Zehra!" "Laura!" Jovan menahan tangan Laura yang hendak menampar Zehra. "Apa yang kamu lakukan?" Laura menurunkan kepalan tangannya. Untuk mengatakan jika Zehra mencintai Jovan, Laura yakin itu bukan yang terbaik. Laura malah takut jika Jovan pun memiliki perasaan yang sama dan akan berakibat fatal jika tahu Zehra pun mencintai Jovan. Laura memilih pergi dari villa itu untuk menetralkan emosinya. Jovan menoleh pada Zehra yang terdiam merutuki kecerobohannya karena sampai Laura tahu apa yang dirasakannya. "Zehra, kamu baik-baik saja?" Zehra menepis tangan Jovan yang hendak menyeka air matanya. Zehra tidak ingin perasaannya pada Jovan semakin dalam karena perhatian pria itu padanya. Sebab, semua itu hanya akan membuat hatinya sakit. Walau pada kenyataannya, Zehra tidak akan bisa terus menghindar dari Jovan. "Zehra, ada apa?" Jovan menatap Zehra bingung karena Zehra tidak seperti biasanya. Zehra tersenyum kecut melihat Jovan yang
Jovan semakin membuat Zehra mengeluarkan suara indah memabukkan itu dengan sentuhan yang semakin liar pada bagian tubuh Zehra yang lain. Sungguh Zehra semakin jatuh cinta pada pria dewasa itu. Selain perhatiannya, Jovan juga begitu pandai membuatnya terbuai dalam surga dunia yang diciptakannya. Sejenak pikiran Zehra gamang membayangkan bagaimana nanti dirinya harus melepaskan pria seperti Jovan. Ingin sekali Zehra egois. Namun, Zehra sadar diri karena Jovan pun tidak mencintainya dan hanya melakukan kewajibannya sebagai seorang suami pada Zehra. Walau Jovan dan Zehra hanya menikah kontrak, tapi Jovan memang selalu bersikap adil pada kedua istrinya. "Terima kasih, Zehra. Terima kasih karena kamu sudah membuat pagiku indah," ucap Jovan dengan mengecupi wajah Zehra. "Tolong bangunkan aku di jam 10 nanti, karena jam siang ini aku ada meeting." Zehra hanya mengangguk mengiyakan, setelah itu Zehra melihat Jovan terlelap setelah melepaskan hormon lelahnya. Pandangan Zehra belum teralih
"Keadaan bayinya sangat sehat ya, Nyonya, Tuan. Bayinya juga sudah memasuki trimester akhir dan semuanya dinyatakan bagus." Jovan tersenyum bahagia mendengar penuturan sang dokter. "Terima kasih banyak, Dokter." Jovan menoleh pada Zehra, lalu meraba perut buncit itu dengan sangat bahagia. Sayang, Jovan tidak bisa mendapatkan kebahagiaan itu dari Laura, wanita yang dicintainya. Padahal Jovan berharap jika Laura lah yang mengandung anaknya. Namun, nyatanya Laura lebih mengkhawatirkan keadaan tubuhnya jika harus mengandung anaknya daripada membahagiakan dirinya. "Zehra, terima kasih karena kamu sudah menjaga anakku dengan baik." "Sama-sama, Om. Dia juga anakku, Om." Zehra mengusap lembut perutnya, namun, sedetik kemudian Zehra menghentikan usapan itu saat sadar apa yang akan terjadi padanya nanti. Jovan pun menatap Zehra dengan sendu. Pria dewasa itu tahu jika sebenarnya Zehra tidak rela jika nanti harus merelakan anaknya pada Laura. Jovan sangat mengerti bagaimana perasaan