Dua minggu berlalu, Zehra akhirnya bisa menikmati perannya sebagai seorang istri dari Jovan. Alam seolah memberikan kesempatan untuk Zehra merasakan kebahagiaan bersama Jovan walau hanya sebagai pasangan kontrak. Selama Zehra tinggal di rumah Jovan dan Laura, Laura semakin sibuk dan jarang pulang.
"Kamu berangkat lagi pagi-pagi buta begini, Laura?" tanya Jovan yang merasa bosan bertanya pada kepergian Laura. "Jo, ku mohon jangan berpikiran macam-macam. Aku hanya bekerja, kamu bisa bersama Zehra dulu sementara waktu. Agar Zehra juga bisa cepat hamil. Aku pergi." Jovan ingin sekali merutuki Laura sebagai istri gila. Bahkan Laura seperti tidak ada sedih-sedihnya saat tahu Jovan selalu bersama Zehra. Laura selalu berdalih agar Zehra bisa cepat hamil dan hubungan mereka bisa cepat berakhir. Huek!! Zehra membekap mulutnya karena seperti merasakan sesuatu yang tak biasa dari perutnya. "Astaghfirullah, kenapa rasanya beberapa hari ini mual sekali ya kalau pagi?" Jovan yang masih menatap kepergian Laura pun menolah, lalu menghampiri Zehra. "Ada apa, Zehra?" Jovan terkejut karena Zehra begitu pucat. "Ya Tuhan ... kamu pucat sekali, kita ke dokter." "Tapi, Om. Aku baik-baik saja." Jovan tak menghiraukan ucapan Zehra. Pria itu langsung membawa Zehra ke dokter karena takut terjadi sesuatu pada istri mudanya. Walau berkali-kali Zehra menolak karena merasa itu hanya salah makan yang berakibat lambungnya naik saja. "Tuan tidak perlu khawatir, keadaan Nyonya Zehra baik-baik saja. Ini memang biasa terjadi pada ibu hamil muda." Mendengar ucapan sang dokter, kening Jovan mengerut. "Hamil muda?" "Ya, Nyonya Zehra tengah mengandung. Dan usia kandungannya sudah 4 minggu." "Empat minggu, Dok? Tapi kami baru menikah 2 minggu lalu, bagaimana mungkin saya hamil 4 minggu?" Zehra cemas jika Jovan pun menanyakan hal itu. Jovan pun menoleh pada Zehra karena dirinya juga merasa bingung. "Tolong jelaskan, Dokter." Zehra dan Jovan akhirnya lega setelah mendengarkan penuturan sang dokter. kehamilan Zehra dihitung dari hari terakhir Zehra haid. Jovan juga yakin jika anak yang dikandung Zehra memang anaknya, karena Jovan ingat betul bagaimana dirinya mengambil mahkota milik wanita muda itu. "Zehra, terima kasih." Jovan langsung meraba perut Zehra dengan tidak percaya. "Bertahun-tahun aku memimpikan ini, Zehra. Akhirnya aku akan jadi seorang Daddy, aarghh!!" Jovan berteriak terlalu senang. Zehra pun ikut bahagia karena nyatanya Zehra memang sangat nyaman bersama pria dewasa itu. Selain tutur katanya yang menyejukkan hati, Jovan juga begitu perhatian padanya. Laura yang baru datang pun langsung nyelonong memeluk Zehra memisahkan Jovan dengan madunya. Laura tak rela melihat Jovan begitu bahagia saat tahu Zehra hamil. Dadanya sakit melihat Jovan trus mengecupi wajah Zehra juga perut Zehra yang masih datar. "Selamat ya, Ra. Akhirnya pengorbananku tidak sia-sia. Bukankah kamu juga ingin segera keluar dari kehidupan kami, Ra? Sabar, ya. Hanya tinggal menunggu bulan berarti." Ucapan Laura jelas memukul telak kebahagiaan yang dirasakan Zehra saat ini. Zehra baru sadar jika dirinya tinggal menunggu bulan saja bisa hidup bersama Jovan. Pria yang sudah 2 minggu membuat hidupnya berwarna. "Iya, Nyonya." Jovan ikut menelan salivanya mendengar ucapan penuh penegasan Laura. Jovan tahu jika istrinya sudah berkorban menahan sakit hati menikahkan dirinya dengan Zehra agar dirinya bisa punya anak. Namun, bukankah itu memang keputusan gila Laura yang tidak ingin mengandung anaknya? "Baiklah, Nyonya. Saya siapkan resep obat untuk Anda, ya." Zehra mengangguk. "Iya, Dokter. Terima kasih banyak." Zehra meremas jari-jarinya melihat Laura yang terus menggenggam tangan Jovan. Rasa cemburu yang harus selalu Zehra tahan ketika momen itu dilihatnya. Gadis itu merasa ada yang tidak beres pada hatinya karena selalu saja sakit hati melihat itu. Padahal, Zehra terus menegaskan pada dirinya jika dirinya tidak boleh jatuh cinta pada Jovan seperti perjanjiannya dengan Laura. "Ya Allah, apa aku sungguh mencintai Om Jovan?" Zehra memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing, untuk tangan kekar Jovan dengan cepat meraih tubuhnya. "Ra, kamu baik-baik saja?" Zehra melihat jelas jika saat ini Jovan begitu khawatir pada keadaannya. "Aku tidak apa-apa, Om. Aku hanya pusing." Jovan menggelengkan kepalanya membawa Zehra kembali ke tempat tidur. "Tidak, Zehra. Kamu harus dirawat, kamu pucat sekali." Laura mengepalkan tangannya melihat perhatian Jovan pada Zehra. "Honey, bukankah itu biasa terjadi pada ibu hamil muda? Jadi kamu tidak perlu khawatir seperti itu." Jovan menoleh pada Laura dengan tatapan tai suka. "Apa maksudmu, Laura? Ini biasa? Lalu kenapa kamu tidak ingin yang hal biasa ini kamu rasakan?" Ucapan Jovan membuat Laura terdiam seribu bahasa. Laura semakin tak suka karena Zehra berhasil mengambil perhatian Jovan. Namun, Laura sadar jika semua itu karenanya. "Bagiku, Zehra luar biasa. Dia bahkan bersedia merasakan hal tak nyaman seperti ini karena mengandung anakku." Laura semakin tak terima. "Jangan lupa jika aku juga sudah berkorban, Jo! Aku berkorban merasakan sakit hati mengingat kamu menyentuhnya. Apa kamu tidak berpikir bagaimana perasaanku, Jo?" Jovan bangkit dari duduknya, lalu menatap Laura semakin tajam. "Seharusnya kamu tanya pada dirimu sendiri sebelum kamu memintaku menikah dengan Zehra, Laura!" Zehra hanya bisa memejamkan matanya mendengar pertengkaran demi pertengkaran diantara Jovan dengan Laura. Zehra ingin sekali segera pergi dari keributan itu. Namun, sanggupkah Zehra merelakan anak dan suaminya untuk Laura? Perasaan itu lah yang membuat Zehra dilema, karena nyatanya Zehra sudah mencintai Jovan.Huek!! Itulah yang dirasakan Zehra setiap pagi. Namun, wanita muda itu tidak mengeluh sama sekali. Sebab, Jovan selalu ada dan siaga saat Zehra membutuhkannya. "Minum dulu, Ra. Kamu harus banyak minum untuk menggantikan cairan tubuh yang kamu keluarkan." Zehra hanya mengangguk dan mengambil segelas air putih hangat yang diberikan Jovan. "Terima kasih, Om." "Sekarang bagaimana? Apa masih pusing?" Jovan mengambil kepala Zehra, lalu memijatnya dengan lembut. "Aku sudah baikan, Om. Aku pengen tiduran saja." Zehra menatap Jovan antara haru juga tidak enak. "Om, terima kasih banyak." Jovan meraba tangan Zehra. "Untuk apa, Ra?" "Untuk semuanya." Jovan tersenyum tipis mendengar ucapan istri mudanya. "Aku yang seharusnya berterima kasih padamu, Ra. Kamu tahu? Aku belum pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Hidupku seolah bersinar semua setelah tahu aku akan jadi seorang Daddy. Maaf ya jika anakku sedikit nakal karena membuatmu harus seperti ini." Zehra menarik napasnya
Ting! Tong! Jovan dan Laura menoleh pada arah suara. Tak lama dari suara bel, mata Jovan dan Laura terbelalak mendengar suara wanita yang mereka kenal sudah memasuki rumah mereka. Sontak Laura dan Jovan panik karena mereka pikir sang mommy baru akan datang besok. "Jo, La, kalian dimana sih?" "Apa yang akan kita lakukan, Jo?" Jovan sendiri masih bingung dan panik karena mereka belum memberi tahu perjanjian mereka dengan Zehra. "Aku juga bingung, La. Kenapa Mommy datang sekarang? Bukankah Mommy akan datang besok?" Zehra yang hendak mengambil minuman hangat pun berdiri mematung melihat wanita paruh baya yang tengah sibuk dengan handphonenya. "Ya Allah, apa dia mommynya Om Jovan?" Zehra segera memberikan tubuhnya untuk kembali ke kamar, namun, langkahnya terhenti saat wanita paruh baya itu memanggilnya. "Tunggu!" Zehra memejamkan matanya mendengar suara hill yang dikenakan wanita itu semakin mendekatinya. Mau tidak mau, Zehra kembali membalikkan tubuhnya menghadap wan
Laura semakin tidak suka karena Elvira malah perhatian pada Zehra. "Aku tidak rela suamiku terus bersamanya, Mommy El juga kenapa harus perhatian seperti itu sih?" Laura terus bergerutu dalam hatinya. "Jika menunggu Zehra melahirkan, kelamaan. Aku harus mencari cara untuk menyingkirkan bayi itu." "Bagaimana, enak? Apa masih mual?" Zehra tersenyum senang penuh arti pada Elvira. "Nyonya, ini enak sekali. Terima kasih banyak, Nyonya. Perutku sudah tidak terasa mual." Elvira menoleh pada Beti, lalu kembali pada Zehra. "Sebelumnya saya minta maaf, apa kamu ... punya suami?" Jantung Zehra kembali berdetak tak karuan. "Punya, Nyonya. Tapi dia kerja dan tidak bisa pulang kapan saja. Jadi saya ikut Bi Beti dulu karena tidak punya keluarga lagi." "Saya sudah izin sama Nyonya Laura juga Tuan Jovan, Nyonya," sahut Beti. Elvira mengangguk mengerti. "Baiklah, aku hanya berpikir suami mana yang begitu kejam membiarkan istrinya menderita sendiri. Aku masih ingat dulu saat aku hamil Jovan,
"Om, sebaiknya Om cepat ke kamar Nyonya Laura. Aku takut Nyonya Elvira atau Nyonya Laura datang ke sini." Jovan menatap Zehra begitu sendu. "Kamu yakin tidak apa-apa?" Zehra menunduk bingung. Sejujurnya hatinya terus gelisah jika harus seperti itu. Zehra tidak bisa hidup tenang dengan keberadaan Laura atau pun Elvira. "Om, aku rasa sebaiknya aku tidak tinggal di sini. Apalagi Nyonya Elvira mau ke sini terus. Hubungan kita bisa saja tercium oleh Nyonya Elvira nanti, bukan?" Jovan menatap Zehra sejenak. "Kamu benar, Zehra. Aku akan bicarakan ini pada Laura nanti. Sekarang kamu tidurlah." Zehra tersenyum getir merasakan perhatian dari Jovan. Perhatian yang seharusnya tidak membuatnya nyaman. Sebab, kenyamanan itu hanya akan membuatnya semakin sakit hati. "Iya, Om. Terima kasih." Jovan mengelus perut Zehra, lalu membungkukkan tubuhnya mengecup perut itu. "Daddy mohon kamu baik-baik ya di sana. Jangan buat Mommy mu sakit." Zehra menghela napasnya panjang menetralkan
"Berani kamu melanggar perjanjian kita, Zehra!" "Laura!" Jovan menahan tangan Laura yang hendak menampar Zehra. "Apa yang kamu lakukan?" Laura menurunkan kepalan tangannya. Untuk mengatakan jika Zehra mencintai Jovan, Laura yakin itu bukan yang terbaik. Laura malah takut jika Jovan pun memiliki perasaan yang sama dan akan berakibat fatal jika tahu Zehra pun mencintai Jovan. Laura memilih pergi dari villa itu untuk menetralkan emosinya. Jovan menoleh pada Zehra yang terdiam merutuki kecerobohannya karena sampai Laura tahu apa yang dirasakannya. "Zehra, kamu baik-baik saja?" Zehra menepis tangan Jovan yang hendak menyeka air matanya. Zehra tidak ingin perasaannya pada Jovan semakin dalam karena perhatian pria itu padanya. Sebab, semua itu hanya akan membuat hatinya sakit. Walau pada kenyataannya, Zehra tidak akan bisa terus menghindar dari Jovan. "Zehra, ada apa?" Jovan menatap Zehra bingung karena Zehra tidak seperti biasanya. Zehra tersenyum kecut melihat Jovan yang
Jovan semakin membuat Zehra mengeluarkan suara indah memabukkan itu dengan sentuhan yang semakin liar pada bagian tubuh Zehra yang lain. Sungguh Zehra semakin jatuh cinta pada pria dewasa itu. Selain perhatiannya, Jovan juga begitu pandai membuatnya terbuai dalam surga dunia yang diciptakannya. Sejenak pikiran Zehra gamang membayangkan bagaimana nanti dirinya harus melepaskan pria seperti Jovan. Ingin sekali Zehra egois. Namun, Zehra sadar diri karena Jovan pun tidak mencintainya dan hanya melakukan kewajibannya sebagai seorang suami pada Zehra. Walau Jovan dan Zehra hanya menikah kontrak, tapi Jovan memang selalu bersikap adil pada kedua istrinya. "Terima kasih, Zehra. Terima kasih karena kamu sudah membuat pagiku indah," ucap Jovan dengan mengecupi wajah Zehra. "Tolong bangunkan aku di jam 10 nanti, karena jam siang ini aku ada meeting." Zehra hanya mengangguk mengiyakan, setelah itu Zehra melihat Jovan terlelap setelah melepaskan hormon lelahnya. Pandangan Zehra belum teralih
"Keadaan bayinya sangat sehat ya, Nyonya, Tuan. Bayinya juga sudah memasuki trimester akhir dan semuanya dinyatakan bagus." Jovan tersenyum bahagia mendengar penuturan sang dokter. "Terima kasih banyak, Dokter." Jovan menoleh pada Zehra, lalu meraba perut buncit itu dengan sangat bahagia. Sayang, Jovan tidak bisa mendapatkan kebahagiaan itu dari Laura, wanita yang dicintainya. Padahal Jovan berharap jika Laura lah yang mengandung anaknya. Namun, nyatanya Laura lebih mengkhawatirkan keadaan tubuhnya jika harus mengandung anaknya daripada membahagiakan dirinya. "Zehra, terima kasih karena kamu sudah menjaga anakku dengan baik." "Sama-sama, Om. Dia juga anakku, Om." Zehra mengusap lembut perutnya, namun, sedetik kemudian Zehra menghentikan usapan itu saat sadar apa yang akan terjadi padanya nanti. Jovan pun menatap Zehra dengan sendu. Pria dewasa itu tahu jika sebenarnya Zehra tidak rela jika nanti harus merelakan anaknya pada Laura. Jovan sangat mengerti bagaimana perasaan
"Om, kok Om di sini?" Jovan tersenyum manis mendengar pertanyaan yang selalu terlontar dari istri mudanya. Dan pertanyaan itu seolah Zehra sadar diri jika dirinya bukan pemilik Jovan seutuhnya. Entah mengapa hati pria dewasa itu semakin tersentuh oleh kedewasaan Zehra. "Aku merindukanmu, Zehra." Zehra menatap Jovan begitu dalam. Begitu bahagia hati Zehra mendengar ucapan Jovan yang mengatakan jika pria itu merindukannya. Namun, Zehra tidak ingin terlalu ke geeran karena biasanya Jovan memang bilang seperti itu, tapi nyatanya cinta pria itu hanya untuk Laura, istrinya. "Tapi bukankah seharusnya Om masih di kantor?" Jovan meraih pinggang Zehra, lalu menarik tubuhnya hingga wajah mereka begitu dekat. "Sudah kukatakan aku merindukanmu, Zehra." "Tapi--" Zehra tak bisa lagi mengatakan apapun karena Jovan sudah menempelkan bibirnya pada bibir tipis Zehra. Jovan terus mendalami apa yang dilakukannya pada benda seksi itu. Pria itu memang begitu tergoda akan tubuh Zehra yan