Share

MOAM# 06. Dilema

Dua minggu berlalu, Zehra akhirnya bisa menikmati perannya sebagai seorang istri dari Jovan. Alam seolah memberikan kesempatan untuk Zehra merasakan kebahagiaan bersama Jovan walau hanya sebagai pasangan kontrak. Selama Zehra tinggal di rumah Jovan dan Laura, Laura semakin sibuk dan jarang pulang.

"Kamu berangkat lagi pagi-pagi buta begini, Laura?" tanya Jovan yang merasa bosan bertanya pada kepergian Laura.

"Jo, ku mohon jangan berpikiran macam-macam. Aku hanya bekerja, kamu bisa bersama Zehra dulu sementara waktu. Agar Zehra juga bisa cepat hamil. Aku pergi."

Jovan ingin sekali merutuki Laura sebagai istri gila. Bahkan Laura seperti tidak ada sedih-sedihnya saat tahu Jovan selalu bersama Zehra. Laura selalu berdalih agar Zehra bisa cepat hamil dan hubungan mereka bisa cepat berakhir.

Huek!!

Zehra membekap mulutnya karena seperti merasakan sesuatu yang tak biasa dari perutnya. "Astaghfirullah, kenapa rasanya beberapa hari ini mual sekali ya kalau pagi?"

Jovan yang masih menatap kepergian Laura pun menolah, lalu menghampiri Zehra. "Ada apa, Zehra?"

Jovan terkejut karena Zehra begitu pucat. "Ya Tuhan ... kamu pucat sekali, kita ke dokter."

"Tapi, Om. Aku baik-baik saja."

Jovan tak menghiraukan ucapan Zehra. Pria itu langsung membawa Zehra ke dokter karena takut terjadi sesuatu pada istri mudanya. Walau berkali-kali Zehra menolak karena merasa itu hanya salah makan yang berakibat lambungnya naik saja.

"Tuan tidak perlu khawatir, keadaan Nyonya Zehra baik-baik saja. Ini memang biasa terjadi pada ibu hamil muda."

Mendengar ucapan sang dokter, kening Jovan mengerut. "Hamil muda?"

"Ya, Nyonya Zehra tengah mengandung. Dan usia kandungannya sudah 4 minggu."

"Empat minggu, Dok? Tapi kami baru menikah 2 minggu lalu, bagaimana mungkin saya hamil 4 minggu?" Zehra cemas jika Jovan pun menanyakan hal itu.

Jovan pun menoleh pada Zehra karena dirinya juga merasa bingung. "Tolong jelaskan, Dokter."

Zehra dan Jovan akhirnya lega setelah mendengarkan penuturan sang dokter. kehamilan Zehra dihitung dari hari terakhir Zehra haid. Jovan juga yakin jika anak yang dikandung Zehra memang anaknya, karena Jovan ingat betul bagaimana dirinya mengambil mahkota milik wanita muda itu.

"Zehra, terima kasih." Jovan langsung meraba perut Zehra dengan tidak percaya. "Bertahun-tahun aku memimpikan ini, Zehra. Akhirnya aku akan jadi seorang Daddy, aarghh!!"

Jovan berteriak terlalu senang. Zehra pun ikut bahagia karena nyatanya Zehra memang sangat nyaman bersama pria dewasa itu. Selain tutur katanya yang menyejukkan hati, Jovan juga begitu perhatian padanya.

Laura yang baru datang pun langsung nyelonong memeluk Zehra memisahkan Jovan dengan madunya. Laura tak rela melihat Jovan begitu bahagia saat tahu Zehra hamil. Dadanya sakit melihat Jovan trus mengecupi wajah Zehra juga perut Zehra yang masih datar.

"Selamat ya, Ra. Akhirnya pengorbananku tidak sia-sia. Bukankah kamu juga ingin segera keluar dari kehidupan kami, Ra? Sabar, ya. Hanya tinggal menunggu bulan berarti."

Ucapan Laura jelas memukul telak kebahagiaan yang dirasakan Zehra saat ini. Zehra baru sadar jika dirinya tinggal menunggu bulan saja bisa hidup bersama Jovan. Pria yang sudah 2 minggu membuat hidupnya berwarna.

"Iya, Nyonya."

Jovan ikut menelan salivanya mendengar ucapan penuh penegasan Laura. Jovan tahu jika istrinya sudah berkorban menahan sakit hati menikahkan dirinya dengan Zehra agar dirinya bisa punya anak. Namun, bukankah itu memang keputusan gila Laura yang tidak ingin mengandung anaknya?

"Baiklah, Nyonya. Saya siapkan resep obat untuk Anda, ya."

Zehra mengangguk. "Iya, Dokter. Terima kasih banyak."

Zehra meremas jari-jarinya melihat Laura yang terus menggenggam tangan Jovan. Rasa cemburu yang harus selalu Zehra tahan ketika momen itu dilihatnya. Gadis itu merasa ada yang tidak beres pada hatinya karena selalu saja sakit hati melihat itu. Padahal, Zehra terus menegaskan pada dirinya jika dirinya tidak boleh jatuh cinta pada Jovan seperti perjanjiannya dengan Laura.

"Ya Allah, apa aku sungguh mencintai Om Jovan?" Zehra memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing, untuk tangan kekar Jovan dengan cepat meraih tubuhnya.

"Ra, kamu baik-baik saja?"

Zehra melihat jelas jika saat ini Jovan begitu khawatir pada keadaannya. "Aku tidak apa-apa, Om. Aku hanya pusing."

Jovan menggelengkan kepalanya membawa Zehra kembali ke tempat tidur. "Tidak, Zehra. Kamu harus dirawat, kamu pucat sekali."

Laura mengepalkan tangannya melihat perhatian Jovan pada Zehra. "Honey, bukankah itu biasa terjadi pada ibu hamil muda? Jadi kamu tidak perlu khawatir seperti itu."

Jovan menoleh pada Laura dengan tatapan tai suka. "Apa maksudmu, Laura? Ini biasa? Lalu kenapa kamu tidak ingin yang hal biasa ini kamu rasakan?"

Ucapan Jovan membuat Laura terdiam seribu bahasa. Laura semakin tak suka karena Zehra berhasil mengambil perhatian Jovan. Namun, Laura sadar jika semua itu karenanya.

"Bagiku, Zehra luar biasa. Dia bahkan bersedia merasakan hal tak nyaman seperti ini karena mengandung anakku."

Laura semakin tak terima. "Jangan lupa jika aku juga sudah berkorban, Jo! Aku berkorban merasakan sakit hati mengingat kamu menyentuhnya. Apa kamu tidak berpikir bagaimana perasaanku, Jo?"

Jovan bangkit dari duduknya, lalu menatap Laura semakin tajam. "Seharusnya kamu tanya pada dirimu sendiri sebelum kamu memintaku menikah dengan Zehra, Laura!"

Zehra hanya bisa memejamkan matanya mendengar pertengkaran demi pertengkaran diantara Jovan dengan Laura. Zehra ingin sekali segera pergi dari keributan itu. Namun, sanggupkah Zehra merelakan anak dan suaminya untuk Laura? Perasaan itu lah yang membuat Zehra dilema, karena nyatanya Zehra sudah mencintai Jovan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status