Share

MOAM# 04. Aku tidak sanggup

"Apa Zehra sudah berada di kamarnya?" tanya Laura lagi dengan nada manja pada Jovan.

"Ya, dia sudah aku antar ke kamar yang sudah kamu siapkan."

"Baguslah, terima kasih karena kamu mendengarkan peemintaanku. Aku mencintaimu, Honey." Laura kembali mengecup bibir Jovan dengan sangat manja. "Oh iya, manager aku telpon, katanya besok pagi aku harus pergi ke Australi untuk melakukan pemotretan yang minggu kemaren aku ceritakan."

Mata Jovan terbelalak mendengar ucapan Laura. "Besok pagi? Bukannya kamu baru pulang dari Singapura kemaren, La?"

Laura langsung mengapit wajah sang suami. "Mau bagaimana lagi? Ini pekerjaanku dan aku menyukainya."

"Tapi aku tidak menyukainya, La," ujar Jovan sedikit menyentak. "Aku merindukanmu, apa kamu tidak merindukanku? Kita baru saja bersama dalam semalam, lalu kamu sudah harus pergi lagi?"

Zehra menghela napasnya panjang mendengar percakapan suami istri itu. Kini Zehra mengerti mengapa pernikahannya dengan Jovan harus terjadi. Namun, tetap saja, bagi Zehra keinginan Laura termasuk hal gila. Bahkan Zehra tidak percaya ada wanita seperti Laura yang lebih rela suaminya menikah lagi daripada dirinya harus hamil.

Zehra merebahkan tubuhnya di kasur besar miliknya sekarang di rumah Jovan. Gadis itu menutup rapat pintu kamarnya dan tidak peduli dengan apa yang terjadi pada suami istri itu. Zehra lebih baik istirahat daripada harus ikut gila dengan apa yang terjadi pada Jovan dan Laura.

Tok! Tok! Tok!

Mata Zehra perlahan terbuka mendengar ketukan pintu. Dengan masih terkantuk-kantuk, Zehra beranjak untuk membuka pintu. Nampak seorang wanita paruh baya tersenyum tipis pada gadis keturunan Turki itu.

"Nyonya, maaf menganggu waktu Anda. Tuan Jovan meminta saya mengajak Anda makan malam."

Zehra menoleh pada arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul delapan malam. Mungkin karena dirinya kurang tidur dalam beberapa hari terakhir, sehingga Zehra masih merasakan kantuk itu walau hari belum malam. Zehra pun mengangguk dan keluar kamarnya setelah membersihkan wajahnya.

"Nyonya, Tuan." Zehra menundukkan wajahnya tidak berani menatap kebersamaan Jovan dengan Laura.

"Zehra, apa kamu sudah tidur?"

Zehra tersenyum tipis dan mengangguk. "Saya ketiduran, Tuan."

Entah mengapa Zehra merasa jika Jovan adalah pria baik dan hangat. Terlihat dari caranya berbicara, juga caranya memperlakukan Laura. Zehra tidak mengerti mengapa hatinya merasa nyaman mendengar pria itu berbicara.

"Duduklah, kamu juga belum makan, bukan?"

Zehra menoleh pada Laura yang saat ini terlihat tidak terlalu bersahabat. Entah karena pertengkaran tadi dengan Jovan atau apa, yang jelas Zehra tidak melihat raut bahagia dari wajah wanita itu seperti saat dirinya dimintanya menikah dengan Jovan. Zehra pun duduk dengan ragu.

"Terima kasih, Tuan."

Jovan menoleh pada Zehra dengan senyum tipisnya. "Jangan panggil saya Tuan, Zehra. Bukankah kamu sekarang isteriku?"

Laura membelalakkan matanya mendengar ucapan Jovan. "Jo, apa maksudmu?"

Jovan pun menoleh pada Laura yang tidak habis-habisnya membuat Jovan harus bersabar. "Apa sih, La? Zehra istriku, bukan?"

"Tapi dia hanya istri kontrak, Jo. Jangan samakan panggilan aku dengannya, dong."

Jovan menyimpan sendoknya, lalu menoleh pada Laura dengan tatapan tajamnya. "Apa kamu pernah memikirkan hal ini sebelumnya? Sebelum kamu menyuruhku menikah dengan Zehra, La?"

"Seharusnya kamu memikirkan ini sebelumnya, Laura."

Suasana kembali tegang karena nyatanya Laura tidak rela jika Jovan memperlakukan Zehra dengan hangat. Ingin sekali Zehra pergi dari tempat itu. Namun, melihat sikap Jovan yang lembut, Zehra tak ingin membuat pria itu semakin marah.

"Tuan, tidak apa-apa kok aku panggil Anda Tuan."

"Tidak, Zehra. Kamu tetap istriku walau kamu hanya istri kontrakku, tapi aku harus memperlakukanmu dengan baik sebab wibawaku sebagai seorang suami."

Jovan bangkit dari duduknya. "Kali ini kamu sudah keterlaluan, La."

Laura menatap Zehra dengan tidak suka. Sorot matanya terlihat begitu menyesal karena harus menikahkan gadis itu dengan suaminya. Namun, nasi sudah menjadi bubur, mau tidak mau Laura harus menerima Zehra sebagai madunya.

"Kamu masih ingat posisimu juga perjanjian kita Zehra? Setelah kamu melahirkan anak suamiku, kamu harus pergi dan tidak boleh menginginkan mereka. Apalagi sampai kamu bermimpi menjadi maduku lebih lama lagi."

Zehra tak menyahuti ucapan Laura. Gadis itu hanya beristighfar karena apa yang dikatakan oleh sang mommy benar adanya. Tidak mudah menjadi istri kedua, karena batinlah yang menjadi taruhannya.

"Ya Robb, apa aku akan sanggup?" Zehra menatap kepergian Laura yang mengejar Jovan ke kamar mereka di lantai atas. "Sepertinya aku tidak sanggup, ya Robb."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status