"Apa Zehra sudah berada di kamarnya?" tanya Laura lagi dengan nada manja pada Jovan.
"Ya, dia sudah aku antar ke kamar yang sudah kamu siapkan." "Baguslah, terima kasih karena kamu mendengarkan peemintaanku. Aku mencintaimu, Honey." Laura kembali mengecup bibir Jovan dengan sangat manja. "Oh iya, manager aku telpon, katanya besok pagi aku harus pergi ke Australi untuk melakukan pemotretan yang minggu kemaren aku ceritakan." Mata Jovan terbelalak mendengar ucapan Laura. "Besok pagi? Bukannya kamu baru pulang dari Singapura kemaren, La?" Laura langsung mengapit wajah sang suami. "Mau bagaimana lagi? Ini pekerjaanku dan aku menyukainya." "Tapi aku tidak menyukainya, La," ujar Jovan sedikit menyentak. "Aku merindukanmu, apa kamu tidak merindukanku? Kita baru saja bersama dalam semalam, lalu kamu sudah harus pergi lagi?" Zehra menghela napasnya panjang mendengar percakapan suami istri itu. Kini Zehra mengerti mengapa pernikahannya dengan Jovan harus terjadi. Namun, tetap saja, bagi Zehra keinginan Laura termasuk hal gila. Bahkan Zehra tidak percaya ada wanita seperti Laura yang lebih rela suaminya menikah lagi daripada dirinya harus hamil. Zehra merebahkan tubuhnya di kasur besar miliknya sekarang di rumah Jovan. Gadis itu menutup rapat pintu kamarnya dan tidak peduli dengan apa yang terjadi pada suami istri itu. Zehra lebih baik istirahat daripada harus ikut gila dengan apa yang terjadi pada Jovan dan Laura. Tok! Tok! Tok! Mata Zehra perlahan terbuka mendengar ketukan pintu. Dengan masih terkantuk-kantuk, Zehra beranjak untuk membuka pintu. Nampak seorang wanita paruh baya tersenyum tipis pada gadis keturunan Turki itu. "Nyonya, maaf menganggu waktu Anda. Tuan Jovan meminta saya mengajak Anda makan malam." Zehra menoleh pada arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul delapan malam. Mungkin karena dirinya kurang tidur dalam beberapa hari terakhir, sehingga Zehra masih merasakan kantuk itu walau hari belum malam. Zehra pun mengangguk dan keluar kamarnya setelah membersihkan wajahnya. "Nyonya, Tuan." Zehra menundukkan wajahnya tidak berani menatap kebersamaan Jovan dengan Laura. "Zehra, apa kamu sudah tidur?" Zehra tersenyum tipis dan mengangguk. "Saya ketiduran, Tuan." Entah mengapa Zehra merasa jika Jovan adalah pria baik dan hangat. Terlihat dari caranya berbicara, juga caranya memperlakukan Laura. Zehra tidak mengerti mengapa hatinya merasa nyaman mendengar pria itu berbicara. "Duduklah, kamu juga belum makan, bukan?" Zehra menoleh pada Laura yang saat ini terlihat tidak terlalu bersahabat. Entah karena pertengkaran tadi dengan Jovan atau apa, yang jelas Zehra tidak melihat raut bahagia dari wajah wanita itu seperti saat dirinya dimintanya menikah dengan Jovan. Zehra pun duduk dengan ragu. "Terima kasih, Tuan." Jovan menoleh pada Zehra dengan senyum tipisnya. "Jangan panggil saya Tuan, Zehra. Bukankah kamu sekarang isteriku?" Laura membelalakkan matanya mendengar ucapan Jovan. "Jo, apa maksudmu?" Jovan pun menoleh pada Laura yang tidak habis-habisnya membuat Jovan harus bersabar. "Apa sih, La? Zehra istriku, bukan?" "Tapi dia hanya istri kontrak, Jo. Jangan samakan panggilan aku dengannya, dong." Jovan menyimpan sendoknya, lalu menoleh pada Laura dengan tatapan tajamnya. "Apa kamu pernah memikirkan hal ini sebelumnya? Sebelum kamu menyuruhku menikah dengan Zehra, La?" "Seharusnya kamu memikirkan ini sebelumnya, Laura." Suasana kembali tegang karena nyatanya Laura tidak rela jika Jovan memperlakukan Zehra dengan hangat. Ingin sekali Zehra pergi dari tempat itu. Namun, melihat sikap Jovan yang lembut, Zehra tak ingin membuat pria itu semakin marah. "Tuan, tidak apa-apa kok aku panggil Anda Tuan." "Tidak, Zehra. Kamu tetap istriku walau kamu hanya istri kontrakku, tapi aku harus memperlakukanmu dengan baik sebab wibawaku sebagai seorang suami." Jovan bangkit dari duduknya. "Kali ini kamu sudah keterlaluan, La." Laura menatap Zehra dengan tidak suka. Sorot matanya terlihat begitu menyesal karena harus menikahkan gadis itu dengan suaminya. Namun, nasi sudah menjadi bubur, mau tidak mau Laura harus menerima Zehra sebagai madunya. "Kamu masih ingat posisimu juga perjanjian kita Zehra? Setelah kamu melahirkan anak suamiku, kamu harus pergi dan tidak boleh menginginkan mereka. Apalagi sampai kamu bermimpi menjadi maduku lebih lama lagi." Zehra tak menyahuti ucapan Laura. Gadis itu hanya beristighfar karena apa yang dikatakan oleh sang mommy benar adanya. Tidak mudah menjadi istri kedua, karena batinlah yang menjadi taruhannya. "Ya Robb, apa aku akan sanggup?" Zehra menatap kepergian Laura yang mengejar Jovan ke kamar mereka di lantai atas. "Sepertinya aku tidak sanggup, ya Robb."Zehra mengerjapkan matanya mendengar suara adzan berkumandang dari sudut kompleks rumah mewah milik Jovan. Karena sudah terbiasa bangun pagi, Zehra pun segera beranjak untuk membersihkan diri dan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Gadis itu tak hentinya mengucap syukur melihat kabar dari sang mommy tentang keadaan Altan yang katanya sudah sadar. "Alhamdulillah, terima kasih ya Robb." Zehra kembali bersujud terlalu haru mendengar kabar Altan. Zehra bahkan sudah melupakan rasa sakit yang kemaren dirasakannya. Bagi gadis berbulu mata lentik itu, keselamatan sang daddy membuatnya lupa akan kesakitan itu. Zehra pun tidak sia-sia merelakan dirinya sebagai istri kontrak Jovan karena kini kondisi sang Daddy sudah semakin membaik. Setelah mengucapkan berbagai syukur, Zehra kaluar kamarnya menuju menuju dapur. "Bibi, apa ada yang bisa aku bantu?" "Nyonya, Nyonya sudah bangun pagi-pagi begini?" Zahra tersenyum tipis pada wanita paruh baya itu. "Saya sudah terbiasa b
Dua minggu berlalu, Zehra akhirnya bisa menikmati perannya sebagai seorang istri dari Jovan. Alam seolah memberikan kesempatan untuk Zehra merasakan kebahagiaan bersama Jovan walau hanya sebagai pasangan kontrak. Selama Zehra tinggal di rumah Jovan dan Laura, Laura semakin sibuk dan jarang pulang. "Kamu berangkat lagi pagi-pagi buta begini, Laura?" tanya Jovan yang merasa bosan bertanya pada kepergian Laura. "Jo, ku mohon jangan berpikiran macam-macam. Aku hanya bekerja, kamu bisa bersama Zehra dulu sementara waktu. Agar Zehra juga bisa cepat hamil. Aku pergi." Jovan ingin sekali merutuki Laura sebagai istri gila. Bahkan Laura seperti tidak ada sedih-sedihnya saat tahu Jovan selalu bersama Zehra. Laura selalu berdalih agar Zehra bisa cepat hamil dan hubungan mereka bisa cepat berakhir. Huek!! Zehra membekap mulutnya karena seperti merasakan sesuatu yang tak biasa dari perutnya. "Astaghfirullah, kenapa rasanya beberapa hari ini mual sekali ya kalau pagi?" Jovan yang m
Huek!! Itulah yang dirasakan Zehra setiap pagi. Namun, wanita muda itu tidak mengeluh sama sekali. Sebab, Jovan selalu ada dan siaga saat Zehra membutuhkannya. "Minum dulu, Ra. Kamu harus banyak minum untuk menggantikan cairan tubuh yang kamu keluarkan." Zehra hanya mengangguk dan mengambil segelas air putih hangat yang diberikan Jovan. "Terima kasih, Om." "Sekarang bagaimana? Apa masih pusing?" Jovan mengambil kepala Zehra, lalu memijatnya dengan lembut. "Aku sudah baikan, Om. Aku pengen tiduran saja." Zehra menatap Jovan antara haru juga tidak enak. "Om, terima kasih banyak." Jovan meraba tangan Zehra. "Untuk apa, Ra?" "Untuk semuanya." Jovan tersenyum tipis mendengar ucapan istri mudanya. "Aku yang seharusnya berterima kasih padamu, Ra. Kamu tahu? Aku belum pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Hidupku seolah bersinar semua setelah tahu aku akan jadi seorang Daddy. Maaf ya jika anakku sedikit nakal karena membuatmu harus seperti ini." Zehra menarik napasnya
Ting! Tong! Jovan dan Laura menoleh pada arah suara. Tak lama dari suara bel, mata Jovan dan Laura terbelalak mendengar suara wanita yang mereka kenal sudah memasuki rumah mereka. Sontak Laura dan Jovan panik karena mereka pikir sang mommy baru akan datang besok. "Jo, La, kalian dimana sih?" "Apa yang akan kita lakukan, Jo?" Jovan sendiri masih bingung dan panik karena mereka belum memberi tahu perjanjian mereka dengan Zehra. "Aku juga bingung, La. Kenapa Mommy datang sekarang? Bukankah Mommy akan datang besok?" Zehra yang hendak mengambil minuman hangat pun berdiri mematung melihat wanita paruh baya yang tengah sibuk dengan handphonenya. "Ya Allah, apa dia mommynya Om Jovan?" Zehra segera memberikan tubuhnya untuk kembali ke kamar, namun, langkahnya terhenti saat wanita paruh baya itu memanggilnya. "Tunggu!" Zehra memejamkan matanya mendengar suara hill yang dikenakan wanita itu semakin mendekatinya. Mau tidak mau, Zehra kembali membalikkan tubuhnya menghadap wan
Laura semakin tidak suka karena Elvira malah perhatian pada Zehra. "Aku tidak rela suamiku terus bersamanya, Mommy El juga kenapa harus perhatian seperti itu sih?" Laura terus bergerutu dalam hatinya. "Jika menunggu Zehra melahirkan, kelamaan. Aku harus mencari cara untuk menyingkirkan bayi itu." "Bagaimana, enak? Apa masih mual?" Zehra tersenyum senang penuh arti pada Elvira. "Nyonya, ini enak sekali. Terima kasih banyak, Nyonya. Perutku sudah tidak terasa mual." Elvira menoleh pada Beti, lalu kembali pada Zehra. "Sebelumnya saya minta maaf, apa kamu ... punya suami?" Jantung Zehra kembali berdetak tak karuan. "Punya, Nyonya. Tapi dia kerja dan tidak bisa pulang kapan saja. Jadi saya ikut Bi Beti dulu karena tidak punya keluarga lagi." "Saya sudah izin sama Nyonya Laura juga Tuan Jovan, Nyonya," sahut Beti. Elvira mengangguk mengerti. "Baiklah, aku hanya berpikir suami mana yang begitu kejam membiarkan istrinya menderita sendiri. Aku masih ingat dulu saat aku hamil Jovan,
"Om, sebaiknya Om cepat ke kamar Nyonya Laura. Aku takut Nyonya Elvira atau Nyonya Laura datang ke sini." Jovan menatap Zehra begitu sendu. "Kamu yakin tidak apa-apa?" Zehra menunduk bingung. Sejujurnya hatinya terus gelisah jika harus seperti itu. Zehra tidak bisa hidup tenang dengan keberadaan Laura atau pun Elvira. "Om, aku rasa sebaiknya aku tidak tinggal di sini. Apalagi Nyonya Elvira mau ke sini terus. Hubungan kita bisa saja tercium oleh Nyonya Elvira nanti, bukan?" Jovan menatap Zehra sejenak. "Kamu benar, Zehra. Aku akan bicarakan ini pada Laura nanti. Sekarang kamu tidurlah." Zehra tersenyum getir merasakan perhatian dari Jovan. Perhatian yang seharusnya tidak membuatnya nyaman. Sebab, kenyamanan itu hanya akan membuatnya semakin sakit hati. "Iya, Om. Terima kasih." Jovan mengelus perut Zehra, lalu membungkukkan tubuhnya mengecup perut itu. "Daddy mohon kamu baik-baik ya di sana. Jangan buat Mommy mu sakit." Zehra menghela napasnya panjang menetralkan
"Berani kamu melanggar perjanjian kita, Zehra!" "Laura!" Jovan menahan tangan Laura yang hendak menampar Zehra. "Apa yang kamu lakukan?" Laura menurunkan kepalan tangannya. Untuk mengatakan jika Zehra mencintai Jovan, Laura yakin itu bukan yang terbaik. Laura malah takut jika Jovan pun memiliki perasaan yang sama dan akan berakibat fatal jika tahu Zehra pun mencintai Jovan. Laura memilih pergi dari villa itu untuk menetralkan emosinya. Jovan menoleh pada Zehra yang terdiam merutuki kecerobohannya karena sampai Laura tahu apa yang dirasakannya. "Zehra, kamu baik-baik saja?" Zehra menepis tangan Jovan yang hendak menyeka air matanya. Zehra tidak ingin perasaannya pada Jovan semakin dalam karena perhatian pria itu padanya. Sebab, semua itu hanya akan membuat hatinya sakit. Walau pada kenyataannya, Zehra tidak akan bisa terus menghindar dari Jovan. "Zehra, ada apa?" Jovan menatap Zehra bingung karena Zehra tidak seperti biasanya. Zehra tersenyum kecut melihat Jovan yang
Jovan semakin membuat Zehra mengeluarkan suara indah memabukkan itu dengan sentuhan yang semakin liar pada bagian tubuh Zehra yang lain. Sungguh Zehra semakin jatuh cinta pada pria dewasa itu. Selain perhatiannya, Jovan juga begitu pandai membuatnya terbuai dalam surga dunia yang diciptakannya. Sejenak pikiran Zehra gamang membayangkan bagaimana nanti dirinya harus melepaskan pria seperti Jovan. Ingin sekali Zehra egois. Namun, Zehra sadar diri karena Jovan pun tidak mencintainya dan hanya melakukan kewajibannya sebagai seorang suami pada Zehra. Walau Jovan dan Zehra hanya menikah kontrak, tapi Jovan memang selalu bersikap adil pada kedua istrinya. "Terima kasih, Zehra. Terima kasih karena kamu sudah membuat pagiku indah," ucap Jovan dengan mengecupi wajah Zehra. "Tolong bangunkan aku di jam 10 nanti, karena jam siang ini aku ada meeting." Zehra hanya mengangguk mengiyakan, setelah itu Zehra melihat Jovan terlelap setelah melepaskan hormon lelahnya. Pandangan Zehra belum teralih