"Mommy, Bagaimana keadaan, Daddy?"
Dewi, daddy dari Zehra sedikit terkejut karena Zehra tidak jadi dibawa pulang oleh Jovan. "Zehra, kamu tidak jadi ikut suamimu, Nak?" Zehra menghela nafasnya, lalu duduk di samping sang mommy. "Besok mereka ke sini lagi. Tuan Jovan memintaku untuk menemani Mommy dulu malam ini." Dewi mengangguk mengiyakan walau masih belum rela jika sang putri harus menjadi istri kedua dari Jovan. Apalagi saat tahu jika nanti Zehra harus memberikan anaknya pada Laura. Namun, Dewi pun tak bisa berbuat apa-apa untuk melarang sang putri melakukan semua itu karena mereka memang tidak punya pilihan. Zehra merangkul tangan Dewi yang menatapnya begitu sendu. "Sudah, Mommy jangan terlalu banyak berpikir tentangku. Aku ini masih muda, aku hanya cuma menjadi istri kedua sampai melahirkan anak Tuan Jovan. Setelah itu aku bisa bebas hidup dengan jalanku sendiri." "Zehra, hiks!" Dewi kembali memeluk putrinya dengan pilu. "Mommy hanya bisa berdoa, semoga Tuan Jovan memperlakukanmu dengan baik. Mommy hanya bisa mengatakan ... kamu harus kuat. Tidak mudah menjadi istri kedua, Nak." Zehra tersenyum tipis mendengar ucapan sang mommy Zehra pun mendorong tubuh Dewi dengan pelan. "Hey, apa maksud Mommy? Itu kan jika aku mencintai Tuan Jovan, he he." Dewi menatap wajah sang putri dengan kalut. Entah mengapa firasatnya sebagai seorang ibu sedikit khawatir pada nasib putrinya. Dewi takut jika ternyata baik Zehra maupun Jovan akan memiliki kenyamanan satu sama lain yang membuat mereka sulit untuk memilih dan terjebak pada cinta yang rumit. "Moms,, aku ini hanyalah istri kontrak. Tuan Jovan tidak mungkin mencintaiku karena dia begitu mencintai istrinya. Begitupun dengan aku yang sama sekali belum mengenal siapa pria itu." "Bagaimana jika ternyata nanti kalian nyaman satu sama lain? Cinta akan datang seiring berjalannya kebersamaan, Zehra. Mommy--" "Sstt!! Sudah ah. Sekarang Mommy istirahat ya. Semoga besok Daddy sudah sadar." Pada akhirnya Dewi tidak ingin membuat sang putri semakin khawatir pada nasib pernikahan kontraknya. Sebagai seorang ibu, mungkin Dewi hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik untuk putrinya. Sesungguhnya, karena setiap ujian dan cobaan akan ada hikmah indah di baliknya. "Mom, Mommy istirahatlah di sofa itu, biar aku yang jaga Daddy." Zehra duduk di samping sang daddy, lalu mengecupi punggung tangan dan memeluk tangan itu dengan pejaman matanya yang sudah lelah. Zehra akhirnya terlelap sampai gadis itu tidak sadar hari sudah berganti dengan cepat karena mungkin kondisi tubuhnya yang sudah lelah. Zehra menghabiskan waktunya dengan terus berada di sisi sang daddy sambil menunggu Jovan menjemputnya. "Daddy, aku sayang Daddy. Cepat sembuh, ya. I love you, Dad." Dewi ikut memeluk tubuh sang putri dengan masih tidak percaya karena sebentar lagi Zehra harus pergi ke rumah Jovan. "Daddy juga sangat menyayangimu, Nak. Terima kasih karena sudah menyelamatkan Daddy." Zehra mengangguki ucapan Dewi, lalu menarik tubuh sang mommy ke dalam dekapannya bersama tangan Altan. "Aku sayang kalian." Suara ketukan pintu membuyarkan kesedihan Zahra. Dewi segera beranjak dan membuka pintu itu. Nampak pria gagah nan tampan yang sudah berstatus suami Zehra itu tengah tersenyum tipis pada Zehra dan beralih pada Altan. "Tuan Jovan sudah datang, Zehra." Mendengar nama suaminya, Zehra menoleh dan menghampiri Jovan lalu mengecup punggung tangannya. "Tuan." Jovan menoleh pada Altan. "Bagaimana keadaan daddymu?" "Semalam sudah sadar. Tapi, Daddy kembali tidur karena kondisinya memang belum stabil," ujar Zehra yang langsung diangguki oleh Jovan, seketika Zehra pun menundukkan wajah saat Jovan menatapnya. "Apa kamu keberatan jika aku membawamu malam ini?" Zehra mengangkat wajahnya, lalu menoleh pada Dewi. Tangannya meremas jari-jari lentiknya cemas, tapi, walau bagaimanapun Zehra harus siap, bukan? Setelah beberapa detik, akhirnya Zehra mengangguk. Zehra pamit pada Dewi dan Altan yang masih menggunakan alat-alat medis. Pikiran Zehra masih gamang. Selama dalam perjalanan pun, tak ada yang ingin dikatakan oleh gadis itu. "Maaf, Zehra. Aku membawamu ke rumahku, bersama Laura," ucap Jovan saat baru sampai di depan sebuah rumah mewah miliknya. Zehra membelalakkan matanya. "Apa?" Jovan ke luar mobil lalu membukakan pintu Zehra. "Aku harap kamu bisa mengerti." Pada akhirnya Zehra menyadari posisinya. Jovan mencintai istrinya. Mana mungkin pria itu akan lebih memilih mengabulkan permintaannya daripada keinginan istri yang dicintainya. "Ya Allah, kenapa ini sedikit menyakitkan?" batin Zehra yang baru saja memasuki kehidupan Jovan dan Laura. Bagaimana nanti jika Zehra harus menyaksikan semua yang dilakukan oleh sepasang suami istri itu? "Honey, kalian sudah datang?" Laura langsung menghamburkan pelukannya pada Jovan, yang juga langsung dihujani kecupan penuh cinta dari sang suami. Zehra merutuki dirinya yang malah harus melihat adegan itu sehingga dirinya harus merasakan kecanggungan diantara mereka. Zehra pun memalingkan wajahnya agar tidak melihat kembali adegan yang menyesakkan itu. Gadis itu harus sadar diri tentang posisinya di rumah itu."Apa Zehra sudah berada di kamarnya?" tanya Laura lagi dengan nada manja pada Jovan. "Ya, dia sudah aku antar ke kamar yang sudah kamu siapkan." "Baguslah, terima kasih karena kamu mendengarkan peemintaanku. Aku mencintaimu, Honey." Laura kembali mengecup bibir Jovan dengan sangat manja. "Oh iya, manager aku telpon, katanya besok pagi aku harus pergi ke Australi untuk melakukan pemotretan yang minggu kemaren aku ceritakan." Mata Jovan terbelalak mendengar ucapan Laura. "Besok pagi? Bukannya kamu baru pulang dari Singapura kemaren, La?" Laura langsung mengapit wajah sang suami. "Mau bagaimana lagi? Ini pekerjaanku dan aku menyukainya." "Tapi aku tidak menyukainya, La," ujar Jovan sedikit menyentak. "Aku merindukanmu, apa kamu tidak merindukanku? Kita baru saja bersama dalam semalam, lalu kamu sudah harus pergi lagi?" Zehra menghela napasnya panjang mendengar percakapan suami istri itu. Kini Zehra mengerti mengapa pernikahannya dengan Jovan harus terjadi. Namun, tetap
Zehra mengerjapkan matanya mendengar suara adzan berkumandang dari sudut kompleks rumah mewah milik Jovan. Karena sudah terbiasa bangun pagi, Zehra pun segera beranjak untuk membersihkan diri dan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Gadis itu tak hentinya mengucap syukur melihat kabar dari sang mommy tentang keadaan Altan yang katanya sudah sadar. "Alhamdulillah, terima kasih ya Robb." Zehra kembali bersujud terlalu haru mendengar kabar Altan. Zehra bahkan sudah melupakan rasa sakit yang kemaren dirasakannya. Bagi gadis berbulu mata lentik itu, keselamatan sang daddy membuatnya lupa akan kesakitan itu. Zehra pun tidak sia-sia merelakan dirinya sebagai istri kontrak Jovan karena kini kondisi sang Daddy sudah semakin membaik. Setelah mengucapkan berbagai syukur, Zehra kaluar kamarnya menuju menuju dapur. "Bibi, apa ada yang bisa aku bantu?" "Nyonya, Nyonya sudah bangun pagi-pagi begini?" Zahra tersenyum tipis pada wanita paruh baya itu. "Saya sudah terbiasa b
Dua minggu berlalu, Zehra akhirnya bisa menikmati perannya sebagai seorang istri dari Jovan. Alam seolah memberikan kesempatan untuk Zehra merasakan kebahagiaan bersama Jovan walau hanya sebagai pasangan kontrak. Selama Zehra tinggal di rumah Jovan dan Laura, Laura semakin sibuk dan jarang pulang. "Kamu berangkat lagi pagi-pagi buta begini, Laura?" tanya Jovan yang merasa bosan bertanya pada kepergian Laura. "Jo, ku mohon jangan berpikiran macam-macam. Aku hanya bekerja, kamu bisa bersama Zehra dulu sementara waktu. Agar Zehra juga bisa cepat hamil. Aku pergi." Jovan ingin sekali merutuki Laura sebagai istri gila. Bahkan Laura seperti tidak ada sedih-sedihnya saat tahu Jovan selalu bersama Zehra. Laura selalu berdalih agar Zehra bisa cepat hamil dan hubungan mereka bisa cepat berakhir. Huek!! Zehra membekap mulutnya karena seperti merasakan sesuatu yang tak biasa dari perutnya. "Astaghfirullah, kenapa rasanya beberapa hari ini mual sekali ya kalau pagi?" Jovan yang m
Huek!! Itulah yang dirasakan Zehra setiap pagi. Namun, wanita muda itu tidak mengeluh sama sekali. Sebab, Jovan selalu ada dan siaga saat Zehra membutuhkannya. "Minum dulu, Ra. Kamu harus banyak minum untuk menggantikan cairan tubuh yang kamu keluarkan." Zehra hanya mengangguk dan mengambil segelas air putih hangat yang diberikan Jovan. "Terima kasih, Om." "Sekarang bagaimana? Apa masih pusing?" Jovan mengambil kepala Zehra, lalu memijatnya dengan lembut. "Aku sudah baikan, Om. Aku pengen tiduran saja." Zehra menatap Jovan antara haru juga tidak enak. "Om, terima kasih banyak." Jovan meraba tangan Zehra. "Untuk apa, Ra?" "Untuk semuanya." Jovan tersenyum tipis mendengar ucapan istri mudanya. "Aku yang seharusnya berterima kasih padamu, Ra. Kamu tahu? Aku belum pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Hidupku seolah bersinar semua setelah tahu aku akan jadi seorang Daddy. Maaf ya jika anakku sedikit nakal karena membuatmu harus seperti ini." Zehra menarik napasnya
Ting! Tong! Jovan dan Laura menoleh pada arah suara. Tak lama dari suara bel, mata Jovan dan Laura terbelalak mendengar suara wanita yang mereka kenal sudah memasuki rumah mereka. Sontak Laura dan Jovan panik karena mereka pikir sang mommy baru akan datang besok. "Jo, La, kalian dimana sih?" "Apa yang akan kita lakukan, Jo?" Jovan sendiri masih bingung dan panik karena mereka belum memberi tahu perjanjian mereka dengan Zehra. "Aku juga bingung, La. Kenapa Mommy datang sekarang? Bukankah Mommy akan datang besok?" Zehra yang hendak mengambil minuman hangat pun berdiri mematung melihat wanita paruh baya yang tengah sibuk dengan handphonenya. "Ya Allah, apa dia mommynya Om Jovan?" Zehra segera memberikan tubuhnya untuk kembali ke kamar, namun, langkahnya terhenti saat wanita paruh baya itu memanggilnya. "Tunggu!" Zehra memejamkan matanya mendengar suara hill yang dikenakan wanita itu semakin mendekatinya. Mau tidak mau, Zehra kembali membalikkan tubuhnya menghadap wan
Laura semakin tidak suka karena Elvira malah perhatian pada Zehra. "Aku tidak rela suamiku terus bersamanya, Mommy El juga kenapa harus perhatian seperti itu sih?" Laura terus bergerutu dalam hatinya. "Jika menunggu Zehra melahirkan, kelamaan. Aku harus mencari cara untuk menyingkirkan bayi itu." "Bagaimana, enak? Apa masih mual?" Zehra tersenyum senang penuh arti pada Elvira. "Nyonya, ini enak sekali. Terima kasih banyak, Nyonya. Perutku sudah tidak terasa mual." Elvira menoleh pada Beti, lalu kembali pada Zehra. "Sebelumnya saya minta maaf, apa kamu ... punya suami?" Jantung Zehra kembali berdetak tak karuan. "Punya, Nyonya. Tapi dia kerja dan tidak bisa pulang kapan saja. Jadi saya ikut Bi Beti dulu karena tidak punya keluarga lagi." "Saya sudah izin sama Nyonya Laura juga Tuan Jovan, Nyonya," sahut Beti. Elvira mengangguk mengerti. "Baiklah, aku hanya berpikir suami mana yang begitu kejam membiarkan istrinya menderita sendiri. Aku masih ingat dulu saat aku hamil Jovan,
"Om, sebaiknya Om cepat ke kamar Nyonya Laura. Aku takut Nyonya Elvira atau Nyonya Laura datang ke sini." Jovan menatap Zehra begitu sendu. "Kamu yakin tidak apa-apa?" Zehra menunduk bingung. Sejujurnya hatinya terus gelisah jika harus seperti itu. Zehra tidak bisa hidup tenang dengan keberadaan Laura atau pun Elvira. "Om, aku rasa sebaiknya aku tidak tinggal di sini. Apalagi Nyonya Elvira mau ke sini terus. Hubungan kita bisa saja tercium oleh Nyonya Elvira nanti, bukan?" Jovan menatap Zehra sejenak. "Kamu benar, Zehra. Aku akan bicarakan ini pada Laura nanti. Sekarang kamu tidurlah." Zehra tersenyum getir merasakan perhatian dari Jovan. Perhatian yang seharusnya tidak membuatnya nyaman. Sebab, kenyamanan itu hanya akan membuatnya semakin sakit hati. "Iya, Om. Terima kasih." Jovan mengelus perut Zehra, lalu membungkukkan tubuhnya mengecup perut itu. "Daddy mohon kamu baik-baik ya di sana. Jangan buat Mommy mu sakit." Zehra menghela napasnya panjang menetralkan
"Berani kamu melanggar perjanjian kita, Zehra!" "Laura!" Jovan menahan tangan Laura yang hendak menampar Zehra. "Apa yang kamu lakukan?" Laura menurunkan kepalan tangannya. Untuk mengatakan jika Zehra mencintai Jovan, Laura yakin itu bukan yang terbaik. Laura malah takut jika Jovan pun memiliki perasaan yang sama dan akan berakibat fatal jika tahu Zehra pun mencintai Jovan. Laura memilih pergi dari villa itu untuk menetralkan emosinya. Jovan menoleh pada Zehra yang terdiam merutuki kecerobohannya karena sampai Laura tahu apa yang dirasakannya. "Zehra, kamu baik-baik saja?" Zehra menepis tangan Jovan yang hendak menyeka air matanya. Zehra tidak ingin perasaannya pada Jovan semakin dalam karena perhatian pria itu padanya. Sebab, semua itu hanya akan membuat hatinya sakit. Walau pada kenyataannya, Zehra tidak akan bisa terus menghindar dari Jovan. "Zehra, ada apa?" Jovan menatap Zehra bingung karena Zehra tidak seperti biasanya. Zehra tersenyum kecut melihat Jovan yang