"Kita ke rumah sakit? Siapa yang sakit, Sayang?"
Laura tak menghiraukan pertanyaan dari Jovan. Wajahnya begitu bahagia saat Zehra mengatakan bersedia melakukan perjanjian gila dengannya. Laura langsung membawa Jovan menemui Zehra agar apa yang direncanakan cepat terkabul. "Duduk, Sayang," ucap Laura pada Jovan dengan senyum cerianya. "Ini Zehra. Jadi, aku ...." Jovan begitu marah mendengar ucapan demi ucapan dari mulut Laura. "Kamu gila, Laura!" sentak Jovan, membuat Zehra pun meremas jari-jarinya karena takut mendengar sentakan itu, apalagi saat Jovan menolaknya dengan jelas. "Aku tidak akan pernah melakukannya, Laura. Laura mencekal tangan Jovan untuk menghentikan langkah pria itu. "Honey, tunggu!" Jovan menatap Laura begitu tajam. "Kamu gila, Laura. Kamu lebih rela suamimu menikah lagi daripada kamu merelakan pekerjaanmu dan mengabulkan keinginanku? Kamu tidak mencintaiku, La. Cintamu hanya sebatas ucapan saja!" Laura memeluk Jovan dari belakang saat sang suami hendak kembali pergi. "Justru karena aku terlalu mencintaimu, Jo. Aku tidak mau kehilanganmu. Aku mohon, Honey. Aku melakukan ini karena aku terlalu mencintaimu. Aku bisa saja pergi meninggalkanmu, bukan? Tapi aku tidak melakukannya karena aku mencintaimu." Laura masih memeluk Jovan. "Atau jangan-jangan memang kamu yang sudah tidak mencintaiku, Jo?" Jovan memejamkan matanya karena sang istri selalu bisa memutar balikkan fakta. Zehra sendiri hanya bisa terdiam menyaksikan bagaimana ungkapan cinta dari sepasang suami istri itu. Entah apa sebenarnya kekurangan sepasang suami istri itu, karena Zehra merasa tidak melihat sedikitpun kekurangan dari keduanya, kecuali hanya Laura yang tidak ingin mengandung. "Katakan padaku, apa kamu sudah tidak mencintaiku, Jo?" tanya Laura lagi yang kini sudah melonggarkan pelukannya pada Jovan. "Kamu tahu bukan, bagaimana Mommy terus memojokkan aku karena aku belum juga hamil? Aku mencintaimu, Honey. Tapi kamu juga tahu arti karir ini untukku, bukan?" Laura sedikit mendorong tubuh Jovan, lalu merangkul tangannya. "Honey, pernikahan ini hanya pernikahan kontrak agar kamu bisa memiliki keturunan dari darah dagingmu. Setelah Zehra melahirkan bayi itu, kalian bercerai dan hidup kita akan semakin bahagia karena keinginanmu tercapai dan aku tetap pada karirku." Laura menoleh pada Zehra yang hanya masih menunduk. Ditariknya kembali tangan Jovan agar mau duduk dan mendengarkan tujuannya. Tatapan Jovan pun kini tertuju pada Zehra. "Kamu masih muda, apa yang bisa kamu harapkan dari perjanjian konyol ini?" Zehra menarik nafasnya dalam tanpa ingin menatap wajah Jovan. "Aku butuh uang, Tuan. Daddy ku harus segera melakukan operasi donor jantung. Jika tidak, maka nyawanya ...." Jovan ikut menarik napas walau Zehra tidak melanjutkan ucapannya. "Siapa namamu?" "Namanya Zehra, Honey," sahut Laura yang kini sudah sumringah lagi karena yakin Jovan sudah menyetujui keinginannya. "Daddynya jatuh sakit karena tekanan dari berbagai pihak. Dia putri Altan." Jovan sedikit terbelalak mengetahui siapa gadis yang ada di depannya. "Kamu putri Altan?" Zehra menyeka air mata yang kembali tiba-tiba mengalir ketika mengingat keadaan sang ayah. "Ya, apa Anda pun jijik padaku, Tuan? Seperti halnya semua orang termasuk saudara-saudara Daddy dan Mommynya yang langsung pergi meninggalkan kami karena kasus yang Daddy hadapi?" Rahang Jovan mengeras mendengar penuturan pilu dari Zehra. Pria itu pun menoleh pada Laura, lalu kembali menatap Zehra. Rasa iba itu begitu Jovan rasakan karena tahu bagaimana kelanjutan kasus Altan yang memang rumit. "Apa kamu tidak memikirkan masa depanmu? Kamu nanti--" "Anda tidak perlu memikirkan masa depanku, Tuan. Aku sudah siap dengan segala konsekuensinya yang terpenting bagiku adalah, nyawa Daddy." Tidak ada yang ingin Jovan katakan karena Jovan bisa mengerti apa yang dirasakan gadis muda itu. "Aku hanya kasihan padamu. Kamu masih muda." "Jadi, bagaimana? Kamu setuju, Honey?" Jovan ingin sekali menolak keinginan Laura. Jovan masih menimbang nasib Zehra nanti setelah melahirkan anaknya. Zehra akan jadi janda dan harus merelakan anaknya pada Laura. Akan tetapi, tidak Jovan pungkiri jika dirinya ingin sekali memiliki anak yang tidak bisa diberikan Laura karena karirnya. "Zehra, kamu yakin dengan keputusanmu? Kamu harus rela melepaskan anakmu pada istriku nanti." Zehra tak langsung menyahuti pertanyaan dari pria dewasa itu. Sebab, hatinya pun telah bertanya pada dirinya sendiri. Akankah Zehra rela memberikan anak yang dikandungnya pada Laura? Lalu, bagaimana nanti nasibnya sebagai janda? Jika untuk tidak jatuh cinta pada Jovan, mungkin masih bisa Zehra tangani, tapi merelakan anaknya pada Laura? "Insya Allah aku siap dengan semua itu, Tuan. Asal Daddy bisa kembali sembuh dan hutang-hutang Daddy selesai." Setelah semua orang setuju dengan semua persyaratannya, Jovan dan Laura pun mengurus segala urusan Altan. Tak ada yang ingin dilakukan Zehra selain bahagia karena akhirnya sang daddy bisa diselamatkan. Dan itu artinya sebentar lagi Zehra akan menjadi istri kedua dengan pernikahan di atas kertas. Mereka juga melakukan beberapa perundingan, Jovan tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti keinginan sang istri. Pernikahan Jovan dengan Zehra pun akhirnya terlaksana. Pernikahan mereka hanya dihadiri oleh orang-orang penting dan orang terdekat Jovan saja. Bahkan, wali nikah Zehra dialihkan pada wali hakim sebab keadaan Altan yang belum memungkinkan. "Zehra, malam ini kamu ikut kami pulang. Besok kamu boleh kembali ke rumah sakit," ujar Laura setelah Jovan dan Zehra sudah sah menjadi suami istri. Zehra menoleh pada Jovan, lalu pada Laura. "Apa aku akan tinggal bersama kalian? Maksudku, aku tidak mau hidup seatap dalam dua keluarga. Aku tidak ingin membuat hubungan kita begitu canggung dan tertekan, Nyonya." Mendengar ucapan Zehra, Laura sedikit marah. "Apa maksudmu, Zehra? Kamu tidak ingin tinggal bersama kami? Jangan mengada-ada kamu!" Zehra menoleh pada Jovan yang masih diam tak menolak juga tak menyetujui permintaannya. "Aku minta maaf, Tuan. Aku rasa agar pikiranku tetap waras, aku tidak bisa hidup seatap dengan istri pertama Anda. Aku sadar akan statusku, tapi aku tidak ingin ada hati yang tersakiti baik aku maupun Nyonya Laura." Laura hendak kembali menolak keinginan Zehra, tapi Jovan menghentikannya dengan menyetujui ucapan Zehra. "Kamu benar, Zehra. Kalian memang tidak bisa hidup satu atap." Laura menggelengkan kepalanya tidak menyetujui. "Jo, apa maksudmu? Kamu tidak ingin aku tahu apa yang kalian lakukan di belakangku? Ini tidak mungkin, Jo. Kamu suamiku dan aku berhak tahu apa yang kamu lakukan dengan Zehra." Zehra memejamkan matanya semakin gila mendengar ucapan wanita itu. Dia yang meminta suaminya menikah lagi, tapi dia juga tidak rela jika suaminya hidup dengan istrinya yang lain. Sungguh Zehra tidak percaya jika ada istri seperti Laura di dunia ini. "Tapi, Nyo--" "Tidak, Zehra! Kamu hanya istri kontrak bagi suamiku, jadi kamu harus tahu batasanmu!" Zehra meremas jari-jarinya mendengar ucapan penuh penegasan itu. "Ya Robb, baru segini saja rasanya begitu sakit. Bagaimana mungkin aku ...." Zehra tak sanggup meneruskan gumamannya karena semua itu terlalu menyesakkan, walau nyatanya Zehra tidak akan bisa lari dari hal menyesakkan itu."Mommy, Bagaimana keadaan, Daddy?" Dewi, daddy dari Zehra sedikit terkejut karena Zehra tidak jadi dibawa pulang oleh Jovan. "Zehra, kamu tidak jadi ikut suamimu, Nak?" Zehra menghela nafasnya, lalu duduk di samping sang mommy. "Besok mereka ke sini lagi. Tuan Jovan memintaku untuk menemani Mommy dulu malam ini." Dewi mengangguk mengiyakan walau masih belum rela jika sang putri harus menjadi istri kedua dari Jovan. Apalagi saat tahu jika nanti Zehra harus memberikan anaknya pada Laura. Namun, Dewi pun tak bisa berbuat apa-apa untuk melarang sang putri melakukan semua itu karena mereka memang tidak punya pilihan. Zehra merangkul tangan Dewi yang menatapnya begitu sendu. "Sudah, Mommy jangan terlalu banyak berpikir tentangku. Aku ini masih muda, aku hanya cuma menjadi istri kedua sampai melahirkan anak Tuan Jovan. Setelah itu aku bisa bebas hidup dengan jalanku sendiri." "Zehra, hiks!" Dewi kembali memeluk putrinya dengan pilu. "Mommy hanya bisa berdoa, semoga Tuan Jovan m
"Apa Zehra sudah berada di kamarnya?" tanya Laura lagi dengan nada manja pada Jovan. "Ya, dia sudah aku antar ke kamar yang sudah kamu siapkan." "Baguslah, terima kasih karena kamu mendengarkan peemintaanku. Aku mencintaimu, Honey." Laura kembali mengecup bibir Jovan dengan sangat manja. "Oh iya, manager aku telpon, katanya besok pagi aku harus pergi ke Australi untuk melakukan pemotretan yang minggu kemaren aku ceritakan." Mata Jovan terbelalak mendengar ucapan Laura. "Besok pagi? Bukannya kamu baru pulang dari Singapura kemaren, La?" Laura langsung mengapit wajah sang suami. "Mau bagaimana lagi? Ini pekerjaanku dan aku menyukainya." "Tapi aku tidak menyukainya, La," ujar Jovan sedikit menyentak. "Aku merindukanmu, apa kamu tidak merindukanku? Kita baru saja bersama dalam semalam, lalu kamu sudah harus pergi lagi?" Zehra menghela napasnya panjang mendengar percakapan suami istri itu. Kini Zehra mengerti mengapa pernikahannya dengan Jovan harus terjadi. Namun, tetap
Zehra mengerjapkan matanya mendengar suara adzan berkumandang dari sudut kompleks rumah mewah milik Jovan. Karena sudah terbiasa bangun pagi, Zehra pun segera beranjak untuk membersihkan diri dan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Gadis itu tak hentinya mengucap syukur melihat kabar dari sang mommy tentang keadaan Altan yang katanya sudah sadar. "Alhamdulillah, terima kasih ya Robb." Zehra kembali bersujud terlalu haru mendengar kabar Altan. Zehra bahkan sudah melupakan rasa sakit yang kemaren dirasakannya. Bagi gadis berbulu mata lentik itu, keselamatan sang daddy membuatnya lupa akan kesakitan itu. Zehra pun tidak sia-sia merelakan dirinya sebagai istri kontrak Jovan karena kini kondisi sang Daddy sudah semakin membaik. Setelah mengucapkan berbagai syukur, Zehra kaluar kamarnya menuju menuju dapur. "Bibi, apa ada yang bisa aku bantu?" "Nyonya, Nyonya sudah bangun pagi-pagi begini?" Zahra tersenyum tipis pada wanita paruh baya itu. "Saya sudah terbiasa b
Dua minggu berlalu, Zehra akhirnya bisa menikmati perannya sebagai seorang istri dari Jovan. Alam seolah memberikan kesempatan untuk Zehra merasakan kebahagiaan bersama Jovan walau hanya sebagai pasangan kontrak. Selama Zehra tinggal di rumah Jovan dan Laura, Laura semakin sibuk dan jarang pulang. "Kamu berangkat lagi pagi-pagi buta begini, Laura?" tanya Jovan yang merasa bosan bertanya pada kepergian Laura. "Jo, ku mohon jangan berpikiran macam-macam. Aku hanya bekerja, kamu bisa bersama Zehra dulu sementara waktu. Agar Zehra juga bisa cepat hamil. Aku pergi." Jovan ingin sekali merutuki Laura sebagai istri gila. Bahkan Laura seperti tidak ada sedih-sedihnya saat tahu Jovan selalu bersama Zehra. Laura selalu berdalih agar Zehra bisa cepat hamil dan hubungan mereka bisa cepat berakhir. Huek!! Zehra membekap mulutnya karena seperti merasakan sesuatu yang tak biasa dari perutnya. "Astaghfirullah, kenapa rasanya beberapa hari ini mual sekali ya kalau pagi?" Jovan yang m
Huek!! Itulah yang dirasakan Zehra setiap pagi. Namun, wanita muda itu tidak mengeluh sama sekali. Sebab, Jovan selalu ada dan siaga saat Zehra membutuhkannya. "Minum dulu, Ra. Kamu harus banyak minum untuk menggantikan cairan tubuh yang kamu keluarkan." Zehra hanya mengangguk dan mengambil segelas air putih hangat yang diberikan Jovan. "Terima kasih, Om." "Sekarang bagaimana? Apa masih pusing?" Jovan mengambil kepala Zehra, lalu memijatnya dengan lembut. "Aku sudah baikan, Om. Aku pengen tiduran saja." Zehra menatap Jovan antara haru juga tidak enak. "Om, terima kasih banyak." Jovan meraba tangan Zehra. "Untuk apa, Ra?" "Untuk semuanya." Jovan tersenyum tipis mendengar ucapan istri mudanya. "Aku yang seharusnya berterima kasih padamu, Ra. Kamu tahu? Aku belum pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Hidupku seolah bersinar semua setelah tahu aku akan jadi seorang Daddy. Maaf ya jika anakku sedikit nakal karena membuatmu harus seperti ini." Zehra menarik napasnya
Ting! Tong! Jovan dan Laura menoleh pada arah suara. Tak lama dari suara bel, mata Jovan dan Laura terbelalak mendengar suara wanita yang mereka kenal sudah memasuki rumah mereka. Sontak Laura dan Jovan panik karena mereka pikir sang mommy baru akan datang besok. "Jo, La, kalian dimana sih?" "Apa yang akan kita lakukan, Jo?" Jovan sendiri masih bingung dan panik karena mereka belum memberi tahu perjanjian mereka dengan Zehra. "Aku juga bingung, La. Kenapa Mommy datang sekarang? Bukankah Mommy akan datang besok?" Zehra yang hendak mengambil minuman hangat pun berdiri mematung melihat wanita paruh baya yang tengah sibuk dengan handphonenya. "Ya Allah, apa dia mommynya Om Jovan?" Zehra segera memberikan tubuhnya untuk kembali ke kamar, namun, langkahnya terhenti saat wanita paruh baya itu memanggilnya. "Tunggu!" Zehra memejamkan matanya mendengar suara hill yang dikenakan wanita itu semakin mendekatinya. Mau tidak mau, Zehra kembali membalikkan tubuhnya menghadap wan
Laura semakin tidak suka karena Elvira malah perhatian pada Zehra. "Aku tidak rela suamiku terus bersamanya, Mommy El juga kenapa harus perhatian seperti itu sih?" Laura terus bergerutu dalam hatinya. "Jika menunggu Zehra melahirkan, kelamaan. Aku harus mencari cara untuk menyingkirkan bayi itu." "Bagaimana, enak? Apa masih mual?" Zehra tersenyum senang penuh arti pada Elvira. "Nyonya, ini enak sekali. Terima kasih banyak, Nyonya. Perutku sudah tidak terasa mual." Elvira menoleh pada Beti, lalu kembali pada Zehra. "Sebelumnya saya minta maaf, apa kamu ... punya suami?" Jantung Zehra kembali berdetak tak karuan. "Punya, Nyonya. Tapi dia kerja dan tidak bisa pulang kapan saja. Jadi saya ikut Bi Beti dulu karena tidak punya keluarga lagi." "Saya sudah izin sama Nyonya Laura juga Tuan Jovan, Nyonya," sahut Beti. Elvira mengangguk mengerti. "Baiklah, aku hanya berpikir suami mana yang begitu kejam membiarkan istrinya menderita sendiri. Aku masih ingat dulu saat aku hamil Jovan,
"Om, sebaiknya Om cepat ke kamar Nyonya Laura. Aku takut Nyonya Elvira atau Nyonya Laura datang ke sini." Jovan menatap Zehra begitu sendu. "Kamu yakin tidak apa-apa?" Zehra menunduk bingung. Sejujurnya hatinya terus gelisah jika harus seperti itu. Zehra tidak bisa hidup tenang dengan keberadaan Laura atau pun Elvira. "Om, aku rasa sebaiknya aku tidak tinggal di sini. Apalagi Nyonya Elvira mau ke sini terus. Hubungan kita bisa saja tercium oleh Nyonya Elvira nanti, bukan?" Jovan menatap Zehra sejenak. "Kamu benar, Zehra. Aku akan bicarakan ini pada Laura nanti. Sekarang kamu tidurlah." Zehra tersenyum getir merasakan perhatian dari Jovan. Perhatian yang seharusnya tidak membuatnya nyaman. Sebab, kenyamanan itu hanya akan membuatnya semakin sakit hati. "Iya, Om. Terima kasih." Jovan mengelus perut Zehra, lalu membungkukkan tubuhnya mengecup perut itu. "Daddy mohon kamu baik-baik ya di sana. Jangan buat Mommy mu sakit." Zehra menghela napasnya panjang menetralkan