Bunyi alarm menjerit ke seluruh penjuru kamar. Teriakkan benda pipihku itu mengejutkan dari indahnya mimpi dalam tidur. Sengaja kupasang alarm setiap menjelang waktu sholat, agar bisa mempersiapkan diri sebelum menghadap sang pencipta. Perlahan kaki ini menuruni ranjang. Bergegas ke kamar mandi. Rutinitas pertama yang selalu mengawali hariku, adalah mandi sebelum subuh. Selain menyehatkan, mandi sebelum subuh juga di contohkan Rasullullah dan sangat di cintai Allah. Meski aku bukanlah seorang yang alim, tapi sebisa mungkin aku mengamalkan apa yang di contohkan Nabi yang aku tau. Menjalankan fardhu dua rakaat dengan segenap rasa. Kulangit kan doa kepada sang penulis takdir. Jika memang Mas Bagas hanyalah takdir sementara untukku. Maka mudahkanlah jalanku untuk mengakhiri takdir ini, dan mendapatkan takdir sesungguhnya. Sayup-sayup kudengan lantunan ayat suci Al Qur'an dari arah luar . Aku tahu itu adalah Mbak Nabila. Kakak iparku itu ternyata bukan hanya cantik bak bidadari, tapi ju
"Loh, Mbak Dewi. Kok sendiri, Pak Bagas mana?" tanya Riko, teman kerja Mas Bagas. Begitulah semua teman kantor Mas Bagas, mereka memanggilku Mbak sementara dengan Mas Bagas mereka memanggil Bapak. Disampingnya berdiri seorang wanita dengan gamis merah muda, dipadankan dengan jilbab segi empat warna senada. Wanita itu istri Riko, kami pernah beberapa kali bertemu. Ia tersenyum padaku dan Sandra. Sejenak aku terdiam, bingung mau menjawab apa. Masalah rumah tanggaku dan Mas Bagas belum ada yang tau. "Oh, ada kok." Bukan aku yang menjawab tapi Sandra. Sahabatku itu memberikan senyum palsunya. Riko memandangku dan Sandra bergantian. Laki-laki berkaca mata putih itu memperlihatkan ekspresi bingung. Namun mungkin tak mau memperpanjang. Jadi ia hanya membulatkan mulutnya membentuk huruf O. "Ya, udah, duluan ya," ucapnya kemudian. Serempak aku dan Sandra mengangguk. Riko berjalan menggandeng tangan istrinya. Meski sudah lama menikah tapi belum juga di beri momongan. Namun, tak lantas
"Ups, maaf! Nggak sengaja!" ucap Sandra mengejek. Ingin tertawa jingkrak melihat wajah Alika. Puas sekali rasanya. Itulah, ingin berbuat jahat malah berbalik padanya. Aku ketawa senang dalam hati. "Apa sih masalahku dengan kamu? Kenapa kamu selalu saja ikut campur, hah!" bentak Lika seraya mendorong bahu Sandra. "Loh, aku kan sudah bilang gak sengaja. Gitu aja lebay. Yuk, Wi, kita cari Mas Diki. Lama-lama di sini bisa ..." ucap Sandra tergantung, tangannya dimiringkan di jidatnya. "Yang, tunggu!" Mas Bagas melangkah lebar mengejarku dan Sandra. Pria itu meninggalkan istri sirinya yang sedang mengumpat sendiri. Bodo amat! Aku tak peduli. Tanpa berpaling aku terus saja mengikuti Sandra yang sedang menyeretku. Mas Bagas bisa menggapai tangan dan menghentikan langkahku. "Apa sih, Gas," ucap Sandra jengkel, karena Mas Bagas menghalangi jalan kami. "Sandra, aku mau ngomong sama Dewi sebentar," pintanya pada Sandra. Sandra hendak protes menolak permintaan Mas Bagas, tapi segera ku c
POV Alika"Perempuan sialan! Sinting!" Mulutku terus saja memaki, mengeluarkan semua umpat kotor. Sudah seperti orang tidak waras. Mengomel sendiri, jadi pusat perhatian semua tamu. Malu rasanya sampai ke tulang sum-sum. Ingin pulang, meninggalkan acara, tapi takut nanti kecolongan. Jadilah aku terpaksa tetap bertahan walau baju basah bagian depan. Mana belang lagi, karena yang ditumpain sirup bukan air putih. Melangkahkan kaki dengan tergesa-gesa. Mata ini liar mencari di mana Mas Bagas dan Dewi. Aku harus selalu berada dekat Mas Bagas. Jangan samapi Mas Bagas berduan dengan Dewi. Bisa-bisa ia mempengaruhi Mas Bagas agar akulah yang dicerai. Bisa saja 'kan? Di depanku, Dewi pura-pura nggak mau, tapi di belakang mana ada yang tau. "Aku memaafkan mu, bukan berarti kembali dan menerima Alika, iya kan, mas!" Masih sempat aku dengar omongan Dewi. Gawat! Kenapa aku merasa ucapan Dewi seolah ancaman untukku. Wanita itu sudah memaafkan Mas Bagas. Bisa aja ia juga membatalkan gugatannya.
Setelah sampai, lekas aku turun membuka pagar dan langsung berjalan menuju pintu utama. Tanpa menutup kembali pagarnya. Biar saja Mas Bagas tutup sendiri, ini adalah bentuk protesku pada pria menyebalkan itu. Mengeluarkan kunci dari dalam tas lalu membuka pintu, lagi-lagi tanpa menunggu Mas Bagas, aku menerobos masuk. Siapa suruh tadi di acara belain Dewi. Seharusnya 'kan dia belain aku, Dewi loh sudah ninggalin dia, sebentar lagi akan digugat cerai. Apalagi mau diharapkan! Lebih baik menghargai orang yang sekarang mau bertahan, iaitu aku. "Dek, bikinin kopi ya. Mas lagi suntuk ini, pengen ngopi," suruhnya. Ku hela nafas panjang lalu menyentaknya kasar. Sabar Lika ... sabar. Tahan, kamu masih perlu bersabar sedikit lagi. Kalau brankas sudah terbuka dan menguasai isinya, baru tunjukkan taringmu. Pasti Bagas tak akan bisa berkutik lagi. Aku mensugesti diri sendiri. Kuletakkan tas jinjing di sofa dan melangkah menuju dapur. Membuatkan pesanan Mas Bagas. Sebenarnya masih kesal pada
Aku mendengus kesal. "Liat aja Mas, aku nggak akan membiarkan Dewi kembali masuk ke hatimu. Akan kuusir perempuan itu pergi jauh." Ku kepalkan tangan mengurangi amarah. Gagas kulangkahkan kaki ke luar kamar. Aku akan membersihkan diri di kamar mandi luar. Karena jika Mas Bagas yang dikamar mandi pasti lama sekali. Menunggunya hanya akan membuang waktu saja. Hari ini aku memanjakan Mas Bagas. Mulai dari memanjakan perutnya dan juga birahinya. Karena hari ini Mas Bagas tak ke kantor, akan kubuat hari ini, hari kami berdua, yang lain nyewa. Apalagi Dewi! Wanita itu mah lewat! Hari ini, akan kubuat Mas Bagas sedikitpun tidak mengingatnya. Akan kuusir cantik wanita itu untuk selamanya. Setelah selesai menggosok gigi dan mencuci muka. Kuikat asal rambutku ke atas kepala, hingga membentuk seperti punuk unta. Gagas kakiku melangkah ke luar dari kamar mandi lalu menuju dapur. Ingin membuat sarapan nikmat buat suamiku. Langkah awal dari mencuri perhatian Mas Bagas. Meski sebenarnya masih ke
"Mari, Bu ... silakan ikut kami," ucap Bapak polisi lagi. Karena aku menolak maka terpaksa keduanya menarik tanganku paksa. "Mas, tolongin Mas. Aku nggak mau masuk penjara," ucapku panik. "Pak, saya nggak bersalah. Lepasin, pak!" bentakku mulai memberontak. Tapi kedua polisi itu tidak memperdulikan pemberontakanku. Keduanya terus menyeret masuk ke dalam mobil polisi. "Mas ...." teriakku sebelum betul-betul masuk ke dalam mobil, dan pintu ditutup dengan kencang oleh pak polisi. Sepanjang jalan, aku terus saja memaki Dewi dalam hati. Meski semua perkataan kotor kuucapkan, tak seimbang dengan apa yang telah perempuan sialan itu lakukan padaku. Air mata akhirnya keluar, meski sedari tadi kutahan untuk tidak jatuh. Hatiku sakit atas semua ini. Dewi benar-benar telah menguras kesabaranku. Wanita itu datang merampas kebahagianku, lalu menjadikanku pembantu di rumah suamiku sendiri. Masih tidak puas, sekarang ia melaporkanku karena telah meracuninya. Padahal itu adalah bentuk perlawana
"Hmmm." Hanya itu yang keluar dari mulut Mas Bagas. Suamiku itu sedang asyik dengan gawainya tanpa peduli pertanyaanku. Entah apa yang membuatnya fokus pada benda canggihnya itu, tapi itu membuat hatiku dongkol luar biasa."Mas, kok hmm sih jawabanmu?" sewotku. Panas hati rasanya melihat tanggapan Mas Bagas. Apa dia pikir bisa enak-enak santai, jika semua masih di tangan Dewi. "Aku ketar–ketir, tanggapanmu cuma hmm," ucapku lagi. Jengkel rasanya pada suamiku ini. Bisa-bisanya dia santai."Sabarlah, Dek. Ini masih pagi loh." Mas Bagas mengangkat wajahnya menatapku. Kubalas tatapannya dengan raut wajah sinis. Apa katanya ... pagi? Sudah hampir jam sepuluh dia bilang pagi. Dasar lelet!"Ini sudah hampir jam sepuluh loh, Mas! Mau tunggu di usir dulu baru gerak?" sentakku. Mas Bagas mendengus kesal."Iya, iya .... bawel," ucapnya lalu mengotak–atik HP miliknya. Kuputar bola mata malas. Mas Bagas memang harus di dikte. Suamiku ini, sepertinya masih ogah-ogahan. Aku tidak mau ambil resiko