Aku dan Mbak Nabila sedang berkutat di dapur. Jarum jam menunjukkan pukul 11:15, sudah siang. Di meja makan sudah terhidang beberapa macam masakan, hasil olahan wanita cantik yang menjadi kakak iparku itu, aku hanya membantu. Ternyata, selain cantik, Mbak Nabila juga pintar memasak, dan nanti mengajakku membuat kue. Di pasar tadi, kakak iparku itu, membeli bahan kue, yang akan menjadi bahan percobaan kami nanti.Seharian ini aku hanya mau di rumah saja. Rasanya malas mau kemana-mana. Hari ini akanku habiskan waktu bersama Mbak Nabila.Jeritan ponsel di atas kulkas menghentikan gerakan tangan yang sedang mengelap kompor. Setelah selesai menata makanan aku dan Mbak Nabila membersihkan tempat kami memasak. Kata Mbak Nabila, setelah selesai memasak atau makan, biasakan membersihkan tempatnya, karena jika tidak, itu akan menjadi tempat jin bersarang. Sebenarnya aku juga begitu, membersihkan dahulu setelah selesai, tapi kadang-kadang lalai juga, selalu menumpuknya di wastafel baru nanti ak
Cerai adalah satu kata yang sangat angker, namun aku harus kuat menghadapinya. Hubungan yang sudah tidak sehat akan sangat sakit jika mencoba bertahan. Ibarat gigi, jika ada salah satu yang sakit dan berlubang, maka pilihannya hanya satu. Cabut! Karena, jika tidak, ia akan menyakiti seisi mulut, dan bahkan akan menjalar ke seluruh anggota tubuh akan merasakan efeknya. "Kamu pasti bisa lalui semuanya." Mbak Nabila mengelus pundakku. Sekian menit bersitegang dengan Mas Bagas dan Alika, tanpa sadar kakak iparku itu sudah berdiri di belakangku.Aku tersenyum tipis menanggapinya. Aku yakin bisa menghadapinya, walau kuakui sangat sulit, tapi aku pasti bisa. Hidupku bukan hanya tentang Mas Bagas. Jika bahagiaku bukan bersamanya, maka aku akan melepaskannya dan mencari bahagiaku sendri.Berpisah dari Mas Bagas, tak menjadikan duniaku serta merta berhenti. Aku masih mudah, hidupku masih panjang. Aku tak menyesali pernikahanku dengan Mas Bagas. Aku yakin, ini semua ada campur tangan Tuhan, d
"Sayang!" panggilnya, namun tak kujawab. "Apa sudah tiada kesempatan? Aku sangat mencintaimu!" ucapnya lagi. Terdengar tulus, tapi aku takkan luluh. Kemana cintanya saat ia menghadirkan madu diantara kami. Madu busuk pula!"Kalau cinta, kamu tidak akan berkhianat, Mas! Kamu menyakitiku luar dalam, depan belakang, Mas! Kamu mendua, dan membawanya masuk ke dalam rumah tangga kita. Apakah itu yang dinamakan cinta? Bullshit! Cintamu omong kosong," ucapku panjang lebar. Semua rasa di dalam dada Kukeluarkan. "Kita harus ketemu, Sayang! Kamu tidak bisa buat Mas begini!"Lucu sekali! Kemarin-kemarin ke mana aja. Kenapa baru sekarang!"Kita ketemu di pengadilan, Mas! Satu minggu lagi." Tanpa menunggu jawaban kututup telpon sepihak."Sayang–" Masih sempat kudengar suara Mas Bagas memanggilku, tapi hatiku sudah beku. Mungkin aku bisa memaafkan, tapi untuk kembali, itu takkan pernah terjadi. Meskipun Mas Bagas memohon menangis darah sekalipun!Perbuatannya menghadirkan Alika dalam rumah tangga k
Apa? Alika anaknya tante Widya? Tapi kenapa selama ini aku tak pernah tau. Aku memang tau Mas Andi mempunyai seorang adik, yang sedang kuliah di luar kota, tapi aku sama sekali tak menyangka kalau itu adalah Alika. Selama menjalin hubungan, Mas Andi jarang bercerita tentang adiknya. "Apa Tante! Alika anaknya Tante? Adiknya Mas Andi?" Aku masih bingung. Heran apa sebenarnya yang terjadi. Kenapa tante Widya bilang, jika aku ingin menghancurkan Alika. Bukankah Alika yang telah menghancurkan hidupku. Dengan masuk dan merusak rumah tanggaku dengan Mas Bagas. Dendam apa sebenarnya yang dipelihara oleh keluarga Mas Andi padaku. Tuhan ... ada rahasia apa sebenarnya ini.Sulit untuk memahami semua teka-teki ini. Semua yang menimpaku secara bertubi-tubi, apakah memang sudah dirancang, tapi apa pemicu dari dendam mereka. Meski telah berpikir berkali-kali, tetap aku tidak tahu jawabannya."Iya, Alika anakku! Alika dan Andi adalah anak-anakku yang telah kau hancurkan. Dulu Andi kau khianati, dan
"Apa Mas Bagas mengenal Mas Andi?" ucapku Pelan nyaris tak terdengar. Seketika Alika tertawa nyaring. "Jangan pura pura bego kamu Dewi. Mas Bagas itu teman Mas Andi," ucap Alika yang seketika membuat aku menatapnya tak percaya."Te–te–man?" Aku mengulang ucapan Alika. Bagaimana aku bisa tidak tahu? Apa semua ini ulah Mas Bagas? Ya Tuhan ... apa yang terjadi? Kenapa aku tidak pernah tau, Mas Bagas dan Mas Andi saling kenal. Berteman pula! Lutut terasa lemas, semua persendian rasanya bagai lepas dari tempatnya. Aku takut menghadapi kenyataan bahwa Mas Bagaslah dalang dari semua dendam Alika dan ibunya. "Kamu nggak pa-pa, Wi?" tanya Sandra, seraya menahan tubuhku dari belakang. Kulihat Alika menyungging senyum seakan mengejek. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban pertanyaan Sandra. "Ayo kita pulang, Ra," ucapku pada Sandra. Pelan Sandra menuntunku menuju pintu keluar. Hatiku hancur seiring kaki melangkah. Bayangan Mas Andi dan Mas Bagas bergantian muncul di pelupuk mata. Tuhan
"Kebohongan apa, Yang? Ak–aku nggak–""Nggak usah banyak alasan, Mas! Aku sudah tau semuanya! Aku tau kamu dalang di balik ini! Aku hanya ingin tau, apa motifmu, Mas! Kenapa kamu tega memfitnahku!" Cepat kupotong ucapan Mas Bagas. "Nggak usah bertele-tele, Mas! langsung ke intinya! Apa maksud fitnahanmu itu?" sambungku lagi."Sayang, Mas bisa jelaskan!" Aku mengangguk."Iya Mas, jelaskan semua!""Sayang, aku sangat mencintaimu." Mas Bagas menjeda ucapannya. Pria itu menarik napasnya kasar. "Pertama kali aku melihatmu, aku jatuh cinta pada pandang pertama, tapi aku harus menerima kenyataan jika kamu adalah kekasih temanku. Setiap hari aku mencoba agar cinta itu tak tumbuh, namun semakin kucoba cinta itu semakin mekar hingga mengalahkan logikaku." Mas Bagas menjeda ucapannya lagi, lalu menarik nafas dalam. "Pikiranku buntu, yang aku pikirkan bagaimana caranya bisa mendapatkanmu. Hingga aku mengambil langkah mendekati Alika. Namun sia-sia, tetap saja tak ada jalan untuk dekat denganmu.
"Selama ini saya bersabar menerimamu, semua karena Bagas yang meminta! Saya diam dan mencoba berpikir bahwa kamu memang jodoh anakku walaupun sebenarnya saya sakit hati! Sekarang, dengan nggak tau dirinya, kamu mau menceraikan anak saya! Kamu pikir kamu siapa, hah?" Ibu mertua memotong ucapanku dengan bentakan dan kata-kata yang sungguh menggores hati."Kuperingatkan padamu, Dewi! Jika memang kamu mau bercerai, pergilah! Tapi jangan membawa apapun juga! Faham!" ucapnya lagi. Aku hanya diam tak menanggapi. Percuma, meskipun tau Mas Bagas salah, Mama pasti akan membelanya. Itulah orang tua."Ingat itu!" ucapnya lagi lalu memutus sepihak panggilan. Aku beristighfar berulang kali."Sabar, Dewi! Dia orang tua, nggak usah di peduliin." Aku membujuk hati biar tidak merasa sakit. Memang apa yang mereka lalukan padaku sangat menyakitkan, tapi aku akan membalasnya dengan caraku sendiri. Diam dan meninggalkan itu adalah caraku. Jika aku bertindak bar-bar, dan mencaci–maki, maka apa bedanya aku
Sejenak hening hingga tiba-tiba Mas Bagas berlutut di depanku."Mas kamu apa-apaan sih! Ayo bangun, bikin malu!" ucapku penuh penekanan. Rasanya muak melihat kelakuan suamiku ini. Kemarin-kemarin ngapain aja? Kalau memang tak mau berpisah, kenapa tidak dari kemarin dia melakukan seperti ini."Nggak, Sayang! Aku nggak mau bangun sampai kamu maafin aku!" ucap Mas Bagas berlinang air mata. Kulirik sekitar, beberapa pasang mata melihat kami sambil bisik-bisik. Ada juga yang memilih cuek."Mas, duduklah! Katanya mau ngomong!" ucapku kesal menatapnya sekejap, lalu membuang muka. Entah kenapa, tak ada rasa simpati melihat Mas Bagas berlutut. Yang ada, rasa marah, rasa muak, rasa benci, rasa malu, semua bercampur jadi satu. Rasa-rasa seperti ingin meledak, namun sebisa mungkin kutahan.Kulirik Mas Bagas mengangkat tubuhnya lalu menghempaskan di sampingku. Aku menggeser sedikit badan, memberi jarak karena Mas Bagas duduk terlalu mepet, membuat aku merasa risih. Pria itu hanya melihat, tanpa ko