Sejenak hening hingga tiba-tiba Mas Bagas berlutut di depanku."Mas kamu apa-apaan sih! Ayo bangun, bikin malu!" ucapku penuh penekanan. Rasanya muak melihat kelakuan suamiku ini. Kemarin-kemarin ngapain aja? Kalau memang tak mau berpisah, kenapa tidak dari kemarin dia melakukan seperti ini."Nggak, Sayang! Aku nggak mau bangun sampai kamu maafin aku!" ucap Mas Bagas berlinang air mata. Kulirik sekitar, beberapa pasang mata melihat kami sambil bisik-bisik. Ada juga yang memilih cuek."Mas, duduklah! Katanya mau ngomong!" ucapku kesal menatapnya sekejap, lalu membuang muka. Entah kenapa, tak ada rasa simpati melihat Mas Bagas berlutut. Yang ada, rasa marah, rasa muak, rasa benci, rasa malu, semua bercampur jadi satu. Rasa-rasa seperti ingin meledak, namun sebisa mungkin kutahan.Kulirik Mas Bagas mengangkat tubuhnya lalu menghempaskan di sampingku. Aku menggeser sedikit badan, memberi jarak karena Mas Bagas duduk terlalu mepet, membuat aku merasa risih. Pria itu hanya melihat, tanpa ko
"Hey ... dengar ya perempuan lakor. Kamu it–" "Aku bukan pelakor! Wanita di sebelahmu itu yang merebut Mas Bagas dariku," ucap Alika berteriak memotong ucapan Sandra. Sedetik kemudian Sandra tertawa."Alika ... Alika. Kamu itu bodoh sekali. Tanya sama suami rebutanmu itu, apa yang dia lakukan untuk mendapatkan Dewi! Kamu dengar 'kan kemarin apa dia bilang? Belum lupa ingatan 'kan? Dia yang telah merekayasa semuanya! Se–mu–a–nya! Lagian laki-laki bangsa* kok di rebutin. Ayo, Wi. Sebentar lagi nomer antrianmu! Lama-lama di sini kita bisa ketularan sinting!" Sandra menarik tanganku meninggalkan Alika dan Mas Bagas. Aku mendengus sebal."Siapa juga yang ngerebutin," lirihku nggak terima. Sandra mendelik, aku mendesah pelan.Tinggal beberapa langkah masuk ke dalam gedung pengadilan, kuhentikan langkahku lalu berbalik melangkah kembali mendekati Mas Bagas dan madu busuknya."Cepat keluar dari rumah itu, karena rumah itu sudah kujual dan pembelinya mau menempati segera." Mas Bagas menatapku
Ku parkir mobilku di parkiran yang dikhususkan buat pengunjung pantai. Mumpung belum terlalu siang, aku ingin menghirup udara. Mengabarkan pada angin, menyuruhnya membawa pergi jauh semua kenangan bersama Mas Bagas.Mataku liar menyapu keliling, mencari gazebo yang di sediakan untuk pengunjung beristirahat. Spontan bibir tertarik melihat ada gazebo yang kosong. Hari ini bukan hari libur, makanya pengunjung tidak begitu ramai. Hanya beberapa pasang muda–mudi, serta beberapa pasang suami istri bersama anak mereka. Perlahan kaki melangkah mendekati gazebo, namun baru beberapa langkah keluar dari mobil, sebuah mobil tiba-tiba lewat dan menginjak genangan air yang mengenai baju yang melekat di badan. Bukannya turun dan meminta maaf, mobil itu malah berjalan keluar dari parkiran. Dengan hati dongkol, mata ini melihat ke nomer plat, lalu mengcopynya di otak."Awas kalau sampai ketemu! Dasar orang kaya minim akhlak!" desisku sebal. Kulanjutkan langkah menuju gazebo dengan perasa sebal. Kuk
"Datang pun kau!" desisku, lalu segera membuka pintu mobil dan meloncat turun. Menyeret langkah besar menuju mobil sebelah."Hei, Mas!" teriakku lantang. Spontan pria yang hendak membuka pintu mobilnya itu menghentikan gerakan tangannya, lalu membalikan badan menghadapku.Astaga ... mataku membulat sempurna, melihat sosok pria di depanku ini. Kutelan cairan dalam mulut dengan susah payah, tangan bergerak sendiri menggaruk kepalaku yang tertutup pasmina hitam. Konyol!"Iya, Mba. Ada apa?" tanyanya seraya menyungging senyum manis, namun terlihat ngeri di mataku. Detak jantung berpacu dengan cepat, tapi setengah mati kusembunyikan. Kutarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan demi menetralkan rasa. Aku tidak mengenal pria ini, jadi untuk apa aku merasa takut. Lagian di sini tempat ramai, tinggal teriak jika nanti dia mau ngapa-nagapin. Yang penting aku menghindari kontak mata dengannya, biar tidak terkena jika seandainya dia ingin menghipnotis."Mas 'kan yang tadi nabrak genang
"Sini, Wi," ucap Mbak Nabila kala melihatku keluar dari kamar. Wanita itu berucap sambil melambaikan tangannya. Kuseret langkah kaki mendekat dengan seulas senyum."Dingin banget ya, Mbak," ucapku melabuhkan badan di atas sofa."Iya ... mataharinya malu-malu mau keluar." Mbak Nabila melepas kaca mata yang tergantung di kedua kupingnya, lalu meletakkan di atas meja samping mushaf. "Hujannya awet ini kayaknya," sambungnya lagi."Iya Mbak, bikin lapar." Kuanggukkan kepala seraya kedua tangan mengelus perut.Wanita cantik yang masih memakai mukenah duduk di sampingku itu tersenyum. "Enak makan in*o*ie kuah ini," balasnya dengan bibir masih mengulas senyum. "Yuk bikin!" ajaknya seraya berdiri. kuikuti langkah kakak iparku itu menuju dapur.Kami membuat dua mangkuk mie kuah campur telor dan sawi, lalu di tambah beberapa cabe rawit yang di iris tipis. Hem ... nikmat sekali."Mas Fiqri mana, Mbak?" tanyaku saat sudah duduk di meja makan siap menyantap semangkuk mie kuah. Aku baru mengingat k
"Mbak Nabila mana, Wi," tanya Sandra."Di kamar. Tadi setelah antar Mas Fiqri, Mbak Nabila masuk lagi ke kamar." "Istri kakakmu itu baik ya, Wi. Cantik, Soleha lagi," ucap Sandra memuji kakak iparku. Kuanggukkan kepala tanda setuju dengan ucapan Sandra. Mbak Nabila memang cantik dan baik, beruntung sekali Mas Fiqri."Iya, Ra. Beruntung sekali Mas Fiqri." Kusungging senyum di bibir. "Bukan sekadar Mas Fiqri, aku jauh lebih beruntung mendapatkan mereka berdua, Ra. Entah bagaimana aku jika mereka nggak ada. Mereka hadir di saat yang tepat," sambungku lagi masih dengan senyuman. Namun kali ini senyumanku bercampur luka. Luka demi luka yang Mas Bagas torehkan bak film berputar, menari-nari di kelopak mata."Sabar, Wi. Jangan sedih. Jangan di ingat lagi ... kamu sudah merdeka sekarang." Sandra menatapku sendu. Aku tau, sahabatku itu, dapat merasakan lukaku. "Nggak kok, siapa yang sedih." Kupejamkan mata, untuk mengusir air mata. "Yuk sholat dulu baru kita jalan," ucapku lagi, saat menden
"Tolong, Mas. Tolong bawa istrimu pergi dari sini sebelum aku mengusirnya," ucapku pada Mas Bagas, menunjukkan keseriusan lewatkan tatapan."Nggak ya! Ini tuh rumah suamiku! Aku nggak mau pergi dari sini," sambar Alika, sudah kayak bensin kena percikan api. "Mas, aku nggak mau. Dewi yang harus pergi," rengek perempuan itu lagi pada Mas Bagas. Kuputar bola mata jengah melihat tingkahnya."Tapi, Sayang ... rumah ini, rumah kita berdua. Kamu nggak boleh menjualnya tanpa persetujuanku. Bagaimanapun, ini masuk harta gono–gini, Sayang." Aku tertawa kecil mendengar ucapannya."Betul, Mas! Betul apa katamu. Rumah ini, rumah kita berdua. Jadi yang berhak tinggal di sini, ya ... hanya kita berdua! Orang lain tidak ada tempat di sini, apalagi hanya istri siri!" ucapku diiringi lirikan sinis pada Alika."Meskipun istri siri, tapi aku adalah istri satu-satunya sekarang! Jadi aku berhak tinggal di sini, karna ini rumah suamiku." Dasar pelakor muka tembok."Nggak tahu malu," cibir Sandra. Sahabatku
"Mas!" sentak Alika. Wanita itu melototi suaminya, namun Mas Bagas abai.Aku berpikir sejenak. Tak ada salahnya aku bicara sebentar dengannya. Mungkin untuk yang terakhir kali. Aku menoleh pada Sandra, meminta pendapat. Sahabatku itu mengangguk tanda mengiyakan."Baiklah, Mas. Mari bicara."Alika menarik kasar lengan suaminya. "Mas, kamu apa-apaan sih! Kalau mau ngomong, di sini aja. Biar aku dengar sekalian""Bentar aja. Mas harus ngomong sama Dewi. Berdua!" ucap Mas Bagas. Nada mantan suamiku itu terdengar tegas. Pria itu melepas paksa tangan istrinya, membuat mantan maduku itu murka, tapi tetap tak membuat luntur niat Mas Bagas bicara denganku.Aku berjalan ke taman samping rumah, Mas Bagas mengikuti dari belakang. Biasanya di sini, aku dan Mas Bagas akan menghabiskan waktu sore di saat pria itu libur kerja. Hanya sekedar menikmati teh, atau sekedar duduk-duduk sore. Namun semua itu hanya tinggal kenangan. Hancur seiring pengkhianatan yang Mas Bagas lakukan."Sayang–""Maaf, Mas. T