"Datang pun kau!" desisku, lalu segera membuka pintu mobil dan meloncat turun. Menyeret langkah besar menuju mobil sebelah."Hei, Mas!" teriakku lantang. Spontan pria yang hendak membuka pintu mobilnya itu menghentikan gerakan tangannya, lalu membalikan badan menghadapku.Astaga ... mataku membulat sempurna, melihat sosok pria di depanku ini. Kutelan cairan dalam mulut dengan susah payah, tangan bergerak sendiri menggaruk kepalaku yang tertutup pasmina hitam. Konyol!"Iya, Mba. Ada apa?" tanyanya seraya menyungging senyum manis, namun terlihat ngeri di mataku. Detak jantung berpacu dengan cepat, tapi setengah mati kusembunyikan. Kutarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan demi menetralkan rasa. Aku tidak mengenal pria ini, jadi untuk apa aku merasa takut. Lagian di sini tempat ramai, tinggal teriak jika nanti dia mau ngapa-nagapin. Yang penting aku menghindari kontak mata dengannya, biar tidak terkena jika seandainya dia ingin menghipnotis."Mas 'kan yang tadi nabrak genang
"Sini, Wi," ucap Mbak Nabila kala melihatku keluar dari kamar. Wanita itu berucap sambil melambaikan tangannya. Kuseret langkah kaki mendekat dengan seulas senyum."Dingin banget ya, Mbak," ucapku melabuhkan badan di atas sofa."Iya ... mataharinya malu-malu mau keluar." Mbak Nabila melepas kaca mata yang tergantung di kedua kupingnya, lalu meletakkan di atas meja samping mushaf. "Hujannya awet ini kayaknya," sambungnya lagi."Iya Mbak, bikin lapar." Kuanggukkan kepala seraya kedua tangan mengelus perut.Wanita cantik yang masih memakai mukenah duduk di sampingku itu tersenyum. "Enak makan in*o*ie kuah ini," balasnya dengan bibir masih mengulas senyum. "Yuk bikin!" ajaknya seraya berdiri. kuikuti langkah kakak iparku itu menuju dapur.Kami membuat dua mangkuk mie kuah campur telor dan sawi, lalu di tambah beberapa cabe rawit yang di iris tipis. Hem ... nikmat sekali."Mas Fiqri mana, Mbak?" tanyaku saat sudah duduk di meja makan siap menyantap semangkuk mie kuah. Aku baru mengingat k
"Mbak Nabila mana, Wi," tanya Sandra."Di kamar. Tadi setelah antar Mas Fiqri, Mbak Nabila masuk lagi ke kamar." "Istri kakakmu itu baik ya, Wi. Cantik, Soleha lagi," ucap Sandra memuji kakak iparku. Kuanggukkan kepala tanda setuju dengan ucapan Sandra. Mbak Nabila memang cantik dan baik, beruntung sekali Mas Fiqri."Iya, Ra. Beruntung sekali Mas Fiqri." Kusungging senyum di bibir. "Bukan sekadar Mas Fiqri, aku jauh lebih beruntung mendapatkan mereka berdua, Ra. Entah bagaimana aku jika mereka nggak ada. Mereka hadir di saat yang tepat," sambungku lagi masih dengan senyuman. Namun kali ini senyumanku bercampur luka. Luka demi luka yang Mas Bagas torehkan bak film berputar, menari-nari di kelopak mata."Sabar, Wi. Jangan sedih. Jangan di ingat lagi ... kamu sudah merdeka sekarang." Sandra menatapku sendu. Aku tau, sahabatku itu, dapat merasakan lukaku. "Nggak kok, siapa yang sedih." Kupejamkan mata, untuk mengusir air mata. "Yuk sholat dulu baru kita jalan," ucapku lagi, saat menden
"Tolong, Mas. Tolong bawa istrimu pergi dari sini sebelum aku mengusirnya," ucapku pada Mas Bagas, menunjukkan keseriusan lewatkan tatapan."Nggak ya! Ini tuh rumah suamiku! Aku nggak mau pergi dari sini," sambar Alika, sudah kayak bensin kena percikan api. "Mas, aku nggak mau. Dewi yang harus pergi," rengek perempuan itu lagi pada Mas Bagas. Kuputar bola mata jengah melihat tingkahnya."Tapi, Sayang ... rumah ini, rumah kita berdua. Kamu nggak boleh menjualnya tanpa persetujuanku. Bagaimanapun, ini masuk harta gono–gini, Sayang." Aku tertawa kecil mendengar ucapannya."Betul, Mas! Betul apa katamu. Rumah ini, rumah kita berdua. Jadi yang berhak tinggal di sini, ya ... hanya kita berdua! Orang lain tidak ada tempat di sini, apalagi hanya istri siri!" ucapku diiringi lirikan sinis pada Alika."Meskipun istri siri, tapi aku adalah istri satu-satunya sekarang! Jadi aku berhak tinggal di sini, karna ini rumah suamiku." Dasar pelakor muka tembok."Nggak tahu malu," cibir Sandra. Sahabatku
"Mas!" sentak Alika. Wanita itu melototi suaminya, namun Mas Bagas abai.Aku berpikir sejenak. Tak ada salahnya aku bicara sebentar dengannya. Mungkin untuk yang terakhir kali. Aku menoleh pada Sandra, meminta pendapat. Sahabatku itu mengangguk tanda mengiyakan."Baiklah, Mas. Mari bicara."Alika menarik kasar lengan suaminya. "Mas, kamu apa-apaan sih! Kalau mau ngomong, di sini aja. Biar aku dengar sekalian""Bentar aja. Mas harus ngomong sama Dewi. Berdua!" ucap Mas Bagas. Nada mantan suamiku itu terdengar tegas. Pria itu melepas paksa tangan istrinya, membuat mantan maduku itu murka, tapi tetap tak membuat luntur niat Mas Bagas bicara denganku.Aku berjalan ke taman samping rumah, Mas Bagas mengikuti dari belakang. Biasanya di sini, aku dan Mas Bagas akan menghabiskan waktu sore di saat pria itu libur kerja. Hanya sekedar menikmati teh, atau sekedar duduk-duduk sore. Namun semua itu hanya tinggal kenangan. Hancur seiring pengkhianatan yang Mas Bagas lakukan."Sayang–""Maaf, Mas. T
POV BagasHari ini, adalah hari paling suram dalam hidupku. Hubunganku dengan Dewi benar-benar telah berakhir. Mahligai rumah tangga yang dua tahun lebih kami bina, akhirnya usai juga semua kerana kebodohanku. Istana megah yang dulu selalu menjadi tempat ternyaman bagiku pulang, kini tak lagi menjadi milikku.Meskipun aku mencoba untuk mempertahankan, tapi Dewi tetap tidak mau kembali. Aku tau aku salah, telah menyakiti Dewi, menghadirkan madu diantara kami, namun bukan kah setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan kedua?Tak kusangka, pertemuanku kembali dengan Alika membawa dampak buruk dalam rumah tanggaku dan Dewi, wanita yang benar-benar aku cintai. Wanita yang dengan susah payah ku dapatkan, bahkan aku sanggup membohongi temanku sendiri. Demi mengambilnya menjadi milikku.Sekarang, di sinilah aku. Di rumah Mama, bersama Alika, yang terus saja menyalahkan Dewi. Begitu pun Mama, wanita yang melahirkanku itu tidak terima, Dewi mengambil semua harta yang kami miliki. Menurutnya
"Kita tidak butuh persetujuannya, Mas. Kita nikah siri aja. Saat dia tau nanti, mau tidak mau dia harus siap di madu, jika tidak ... hush." Kutatap Alika tajam yang sedang mengerak-gerakkan tangannya seakan sedang mengusir."Tidak, Alika! Aku tidak akan menceraikan Dewi! Faham kamu!""Ok, Mas! Kalau kamu nggak mau tanggungjawab. Aku akan membunuh anak ini, dan kamu yang harus bertanggungjawab. Kamu telah membunuh darah dagingmu sendiri!" ucap Alika terlihat kesal. Tuhan ... apa yang harus aku lakukan? "Dan ingat, Mas! Bisa saja kamu selamanya tidak akan pernah punya anak! Ingat karma, Mas, jika kamu tega membunuh anakmu," sambungnya lagi di tengah kegundahanku. "Baiklah. Ok, kita menikah siri." Akhirnya aku kalah. Aku harus menikahi Alika demi anak di perutnya. Bayi itu tidak bersalah, kamilah yang bersalah.Alika tersenyum bahagia. "Nah, gitu dong, Mas. Yang namanya darah itu lebih kental daripada air. Apalagi ini darah dagingmu, siapa tau laki-laki, 'kan penerusmu kelak." Tak kuta
"Nggak sabaran amat sih," ucap Sandra menatapku nakal. Dasar!"Apaan sih, Ra. Ayo ... cepetan ngomongnya." Aku mencabik mulut merajuk. Lama-lama bisa mati penasaran."Nggak penting-penting amat sih, Wi. Soal cuti akhir tahun. Mas Diki, ke Singapura kerja, Wi," ucap Sandra seraya melipat tangannya di atas meja."Bagus dong. Sekalian liburan akhir tahun di sana," balasku menatap Sandra. Heran, mau ke luar kota kok nggak semangat. Harusnya kan senang bisa liburan bersama suami."Apanya yang bagus, Wi. Mas Diki tuh di sana kerja, bukan liburan. Malas aku ikut. Yang ada nanti aku bosan, hanya menunggu di hotel. Malas ah.""Kan bisa pas Mas Diki nggak ada kerjaan, sambil jalan-jalan sama kamu.""Mas Diki tuh full di sana, Wi, selama seminggu. Selesai langsung balik Jakarta.""Lah terus." Aku menautkan kedua alis, masih belum bisa mencerna maksud ucapan Sandra. "Gini, Wi. Aku tuh rencana mau ke Bali liburan akhir tahun nanti.""Ya ... pergilah, Ra. Kok ribet amat sih. Lagian masih lama j