"Mas!" sentak Alika. Wanita itu melototi suaminya, namun Mas Bagas abai.Aku berpikir sejenak. Tak ada salahnya aku bicara sebentar dengannya. Mungkin untuk yang terakhir kali. Aku menoleh pada Sandra, meminta pendapat. Sahabatku itu mengangguk tanda mengiyakan."Baiklah, Mas. Mari bicara."Alika menarik kasar lengan suaminya. "Mas, kamu apa-apaan sih! Kalau mau ngomong, di sini aja. Biar aku dengar sekalian""Bentar aja. Mas harus ngomong sama Dewi. Berdua!" ucap Mas Bagas. Nada mantan suamiku itu terdengar tegas. Pria itu melepas paksa tangan istrinya, membuat mantan maduku itu murka, tapi tetap tak membuat luntur niat Mas Bagas bicara denganku.Aku berjalan ke taman samping rumah, Mas Bagas mengikuti dari belakang. Biasanya di sini, aku dan Mas Bagas akan menghabiskan waktu sore di saat pria itu libur kerja. Hanya sekedar menikmati teh, atau sekedar duduk-duduk sore. Namun semua itu hanya tinggal kenangan. Hancur seiring pengkhianatan yang Mas Bagas lakukan."Sayang–""Maaf, Mas. T
POV BagasHari ini, adalah hari paling suram dalam hidupku. Hubunganku dengan Dewi benar-benar telah berakhir. Mahligai rumah tangga yang dua tahun lebih kami bina, akhirnya usai juga semua kerana kebodohanku. Istana megah yang dulu selalu menjadi tempat ternyaman bagiku pulang, kini tak lagi menjadi milikku.Meskipun aku mencoba untuk mempertahankan, tapi Dewi tetap tidak mau kembali. Aku tau aku salah, telah menyakiti Dewi, menghadirkan madu diantara kami, namun bukan kah setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan kedua?Tak kusangka, pertemuanku kembali dengan Alika membawa dampak buruk dalam rumah tanggaku dan Dewi, wanita yang benar-benar aku cintai. Wanita yang dengan susah payah ku dapatkan, bahkan aku sanggup membohongi temanku sendiri. Demi mengambilnya menjadi milikku.Sekarang, di sinilah aku. Di rumah Mama, bersama Alika, yang terus saja menyalahkan Dewi. Begitu pun Mama, wanita yang melahirkanku itu tidak terima, Dewi mengambil semua harta yang kami miliki. Menurutnya
"Kita tidak butuh persetujuannya, Mas. Kita nikah siri aja. Saat dia tau nanti, mau tidak mau dia harus siap di madu, jika tidak ... hush." Kutatap Alika tajam yang sedang mengerak-gerakkan tangannya seakan sedang mengusir."Tidak, Alika! Aku tidak akan menceraikan Dewi! Faham kamu!""Ok, Mas! Kalau kamu nggak mau tanggungjawab. Aku akan membunuh anak ini, dan kamu yang harus bertanggungjawab. Kamu telah membunuh darah dagingmu sendiri!" ucap Alika terlihat kesal. Tuhan ... apa yang harus aku lakukan? "Dan ingat, Mas! Bisa saja kamu selamanya tidak akan pernah punya anak! Ingat karma, Mas, jika kamu tega membunuh anakmu," sambungnya lagi di tengah kegundahanku. "Baiklah. Ok, kita menikah siri." Akhirnya aku kalah. Aku harus menikahi Alika demi anak di perutnya. Bayi itu tidak bersalah, kamilah yang bersalah.Alika tersenyum bahagia. "Nah, gitu dong, Mas. Yang namanya darah itu lebih kental daripada air. Apalagi ini darah dagingmu, siapa tau laki-laki, 'kan penerusmu kelak." Tak kuta
"Nggak sabaran amat sih," ucap Sandra menatapku nakal. Dasar!"Apaan sih, Ra. Ayo ... cepetan ngomongnya." Aku mencabik mulut merajuk. Lama-lama bisa mati penasaran."Nggak penting-penting amat sih, Wi. Soal cuti akhir tahun. Mas Diki, ke Singapura kerja, Wi," ucap Sandra seraya melipat tangannya di atas meja."Bagus dong. Sekalian liburan akhir tahun di sana," balasku menatap Sandra. Heran, mau ke luar kota kok nggak semangat. Harusnya kan senang bisa liburan bersama suami."Apanya yang bagus, Wi. Mas Diki tuh di sana kerja, bukan liburan. Malas aku ikut. Yang ada nanti aku bosan, hanya menunggu di hotel. Malas ah.""Kan bisa pas Mas Diki nggak ada kerjaan, sambil jalan-jalan sama kamu.""Mas Diki tuh full di sana, Wi, selama seminggu. Selesai langsung balik Jakarta.""Lah terus." Aku menautkan kedua alis, masih belum bisa mencerna maksud ucapan Sandra. "Gini, Wi. Aku tuh rencana mau ke Bali liburan akhir tahun nanti.""Ya ... pergilah, Ra. Kok ribet amat sih. Lagian masih lama j
Sandra mengangguk seraya menggapai tasnya di atas meja. "Ayo, Wi." Aku dan Sandra melangkah meninggalkan Alika dan Mas Bagas yang masih berdebat. Sehingga satu ucapan menghentikan langkahku dan Sandra."Dewi kembalilah!" Kubalikkan badan menghadap pasangan yang masih berdiri di belakangku, begitupun dengan Sandra."Semua yang terjadi diantara kita, akibat ulah Alika. Dia telah menipuku demi menghancurkan rumah tangga kita. Dia pura-pura hamil," ucap Mas Bagas menatapku lembut. Tatapan yang dulu membuat aku jatuh cinta. Namun tidak sekarang. Tatapan itu hanya butiran debu bagiku. Tak ada artinya lagi."Maaf, Mas! Aku tidak ingin kembali bersamamu. Aku tak pernah menyesal, pernah menikah denganmu, tapi berpisah darimu adalah sesuatu yang amat kusyukuri." Ucapanku membuat laki-laki itu menggeleng, tapi tidak dengan istrinya. Alika menatapku bak singa lapar."Ayo, Ra." Kugandeng tangan Sandra membawanya keluar dari kafe."Dewi ...." Masih bisa kudengar suara Mas Bagas memanggil namaku, t
"Dewi, berhenti!" ucapnya yang membuat aku spontan menolehkan kepala. Pria itu menelan air liur, terlihat sekali gugup di wajahnya. "Apa?" tanyaku memicingkan mata."Apa." Laki-laki itu balik bertanya. Pura-pura bodoh."Barusan kamu manggil apa?" Pria itu menggaruk leher, kikuk."Nggak ... a–ku nggak manggil apa-apa," ucapnya tergagap, khas orang lagi berbohong."Aku dengar, kamu manggil namaku. Tau dari mana namaku?" Kutatap lekat kedua netranya. "Nggak ada, Mbak. Mbak salah dengar. Aku hanya bilang, sebaiknya jangan masuk kantor. Izin aja," ucapnya mengelak, tapi aku yakin tadi tidak salah dengar. Kubalikkan badan, dan berlalu dari hadapan pria itu masuk ke parkiran kantor. Seiring kaki melangkah, otakku terus berputar. Siapa laki-laki itu sebenarnya. Kenapa dia selalu muncul secara tiba-tiba. Ini bukanlah satu kebetulan.Hurf! Kuhela nafas kasar. Meski pikiranku berusaha mengingat, apakah pernah mengenal pria aneh itu di masa lalu, tapi tetap tidak ada dalam memori. Aku yakin t
"Mbak Dewi." Aku menoleh ke asal suara. Ternyata Ibu Irma tetangga sebelah yang memanggil. Wanita berusia empat puluh tahunan itu, menyembulkan kepalanya di tembok pembatas antara rumahnya dengan rumahku."Eh, Bu Irma. Ada apa Bu," tanyaku basa–basi."Tumben jam segini sudah pulang, Mbak. Biasanya sore baru sampai rumah." Kubalas pertanyaannya hanya dengan senyum kecil. "Kenapa tuh jidatnya?" tanyanya lagi tanpa menunggu jawaban pertanyaan sebelumnya."Ini ... tadi jatuh Bu di kantor. Makanya saya pulang awal," bohongku padanya. Iya kali aku bilang ingin di tabrak orang. Belum tentu juga kejadiannya seperti itu. "Ya Allah Mbak Dewi. Hati-hati toh, Mbak." Lagi-lagi aku hanya membalas dengan senyuman. "Eh, iya, Mbak. Tadi ada orang datang ke rumah Mbak." Kali ini aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Bu Irma."Orang? Siapa, Bu? Sandra?" tanyaku merasa heran. Pasalnya hanya Sandra yang selalu datang ke rumah ini."Bukan, Mbak. Bukan Mbak Sandra. Saya juga nggak tau siapa. Orangnya me
"Nggak kok, Mbak. Ini 'kan tempat umum saya nggak ngikutin kamu kok," jawabnya pelan. Akhirnya setelah pertanyaan beruntun dariku, pria ini mau bicara juga."Setiap kali saya ada di mana, pasti kamu juga ada. Apa itu nggak ngikutin!" ucapku sinis."Kamunya aja yang ge-eran," balasnya yang mampu membuat mataku serasa ingin meloncat ke luar. Tak ada lagi kata 'Mbak' di depan namaku. Benar-benar orang yang aneh. Dasar nyebelin."Apa? kege-eran? Halo Bambang, ngapain ge-er sama kamu. Nggak ada untungnya. Ge-er itu, sama Nicolas Saputra, Shah Rukh Khan, lah ini .... sama kamu, yang mukanya pas-pasan di bawah rata-rata," sewotku. Enak aja, bilang aku ge-er sama dia. Padahal memang benar dia yang selalu ada di mana aku ada. Apa itu namanya kalau tidak ngikutin. Dasar siluman!"Sadis amat sih ngomongnya. Jangan galak-galak lho." Kuputar bola mata jengah. Aku serius malah di bawa bercanda."Kamu tuh ya. Jangan ikuti saya la–""Loh ... Pak Rayhan? Kok ada di sini? Mau kemana, Pak?" tanya Sandra