"Hmm," balasku malas. Suamiku itu kemudian menarik kursi lalu menghempaskan panta* nya dengan kasar. Sepertinya ia merasa perubahanku. Selama ini, aku selalu menunggu dan melayaninya di meja makan, tapi kali ini semua itu tidak akan terjadi. "Makan, Mas," ucapku santai. Sengaja aku tidak melihat kerahnya, tapi tetap melirik lewat ekor mata. Mas Bagas menghentakkan nafasnya kasar. Seperti ingin protes, tapi ditahan olehnya. Perlahan tangan lelaki itu membalikkan piring dan mengisinya dengan nasi dan aneka lauk yang dimasak oleh istri keduanya. Selama dua tahun perkawinan, aku selalu melayani semua kebutuhannya dengan baik, tapi semua itu tiada artinya. Lelaki itu tetap berselingkuh, dan menghadirkan madu diantara kami. Madu busuk pula. Aku bukan mengingkari poligami, karena itu adalah syariat islam, dan Rasulullah melakukannya dengan niat ibadah. Namun, poligami yang dilakukan Mas Bagas, semua karena nafsu belaka. Bahkan mungkin mereka telah berzina sebelum hubungan mere
"Hah! Di rumah sakit! Ngapain, Wi?" Ucap Sandra memotong ucapanku. Sandra memang seperti itu. Panikan orangnya, kadang malah terlalu over. "Nanti aku cerita, Ra. Kamu bisa ke rumah sakit?" tanyaku pelan. Sekarang aku hanya ingin bertemu Sandra dan memberitahu segalanya. Aku harus segera mendapatkan tanda tangan Mas Bagas, agar bisa mengusir mereka berdua dari rumahku tanpa masalah. Perbuatan Alika kali ini sangat keterlaluan, dia bisa saja membunuhku. "Ok, ok. Aku kesana sekarang. Kamu di rumah sakit mana." Sandra langsung memutuskan sambungan telpon, setelah aku memberitahu nama rumah sakit tempatku di rawat. "Makasih ya, Mbak," ucapku pada Mbak perawat, seraya mengulurkan ponselnya kembali. "Sama-sama, Bu. Kalau gitu saya permisi ya, Bu," ucapnya lalu melangkah pergi meninggalkan senyum manis. Ku anggukkan kepala dan membalas senyuman suster cantik nan baik hati itu. Kusandarkan belakang ke sandaran ranjang. Mencoba mengingat kembali kejadian sebelum aku tak
"Sekarang teruskan saja aktingmu. Pura-pura aja nggak tau, sambil kumpulin bukti. Seiring kamu cari bukti, buat surat perjanjian. Siapa yang berkhianat maka tak ada harta gono–gini saat bercerai. Semua jatuh ke tangan yang diselingkuhi," ucap Sandra membuka pikiranku. Benar kata sahabatku itu, aku ingin lihat, jika Mas Bagas Miskin Alika masih mau sama dia. " Tapi, bagaimana caranya, Ra? Mas Bagas pasti nggak mau tanda tangan jika tau isinya. Lah wong dia memang selingkuh." "Itu urusan gampang! Nanti aku minta tolong Mas Dika supaya bisa dapat tanda tangan Bagas. Sekarang mereka lagi ada proyek barang, Bagas nggak akan curiga." Seketika mataku berbinar. Senangnya bukan main, semoga saja semuanya berhasil. Tunggulah, Mas. Kau yang membuat aku jadi jahat begini. Setengah mati aku menjaga kesetiaan hanya untukmu, ternyata seenak jidatmu menipuku. Bahkan kau membawa selingkuhanmu ke rumahku, dan sekarang nyawaku hampir saja melayang akibat ulahnya. Akan kubalas setiap luka yang
"Ke–ke–keracunan ...." jawabnya terpotong-potong. Gugup terlihat jelas di wajah tampannya. Suaranya bergetar, mengulang ucapanku. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Aku tahu gugupnya hanya ingin menyembunyikan kesalahan, bukan karena rasa khawatir atau kaget. Aku sangat yakin Mas Bagas tau, jika Alikka memang telah meracuniku. "Sudahlah, Mas! Percuma juga ngomong sama kamu! Toh, aku nggak penting juga 'kan," ucapku, lalu memejamkan mata kembali. Rasa benci mendominasi otak, ingin rasanya men–smackdonw pria kadal ini. "Sayang, kamu ngomong apa sih? Tentu saja kamu itu penting buatku," ucap Mas Bagas. Lelaki itu membelai kepalaku yang tetap memejamkan mata. Belaiannya sama sekali tidak membuatku merasa nyaman. Hatiku sudah tawar, sejak tahu ia membagi cintanya dengan Lika. Setiap sentuhannya membuat aku merasa jijik, membayangkan, jika tangan itu juga membelai wanita busuk itu. "Sudahlah, Mas! Baik kamu berangkat kerja aja, aku mau istirahat." Aku menyisihkan ta
Jam menunjukkan pukul setengah enam sore, saat mobil Mas Fiqri tiba di depan rumahku. Sengaja Mas Fiqri memarkirkan mobilnya di pinggir jalan karena memang berniat langsung pulang setelah mengantarku. Keadaan rumah terlihat sepi, tapi di teras mobil Mas Bagas sudah terparkir. Menandakan pemiliknya sedang berada dirumah. Lagi-lagi hatiku merasa perih. Aku di rumah sakit sendirian, tidak ada yang menemani. Mas Bagas malah lebih memilih pulang ke rumah menghabiskan waktu bersama madu busuknya, membiarkanku sendirian. Sungguh tega kamu Mas! "Assalamualaikum," salamku, tapi tak mendapat sahutan dari dalam. Saat hendak membuka pintu, ternyata tak dikunci. Aku segera menyerat langkah masuk ke dalam rumah. Seketika terlintas di kepala, ingin memergoki kelakuan Mas Bagas dan Lika saat aku tak ada di rumah. Pasti mereka lagi asyik, hingga tak menyadari kedatanganku. Langkah lebar, segera ku aktifkan ponsel di tangan, ingin merekam semua kejadian nanti. Siapa tau bisa dijadikan buk
Meski ragu, tapi akhirnya si Bibik melakukan juga apa yang kusuruh. wanita renta itu segera menyeret langkahnya menuju kamar Lika. Lagi-lagi Mas Bagas dan Alika terperangah. Mungkin keduanya bingung, harus berbuat apa, dan bagaimana aku bisa tahu rahasia mereka berdua. Bahagia sekali bisa melihat wajah kaget keduanya. Siapa suruh berani bermain api, 'kan terbakar sendiri akhirnya. "Mas, aku nggak mau keluar dari rumah ini, Mas," Lakukan sesuatu!" ucap Alika pada suami sirinya. Madu busuk itu merengek persis anak kecil minta jajan. Ingin rasanya tertawa jahat melihat ketakutan Lika. Tadi aja sok-sokan, berasa Nyonya. Kamu salah memilih lawan Alika Putri. Aku bukanlah tipe istri yang diam bila ditindas suami. Cinta memang diperlukan dalam sebuah hubungan, tapi cinta bukan jaminan mencapai kebahagian. Meski tanpa Mas Bagas, aku bisa menggapai bahagiaku sendiri. Silahkan kau miliki dia sepenuhnya. Aku lepas tangan. Ku katakan bye bye. "Sa–sayang ... kita bisa bicarakan ini b
"Berhenti, Dewi! Sekali saja kau melangkah keluar maka ..." Mas Bagas tak melanjutkan ucapannya. Kubalikkan badan demi melihat laki-laki yang sebentar lagi akan ku gugat cerai itu. Setelah kejadian ini, hatiku mantap untuk berpisah darinya. Tiada lagi keraguan. "Maka apa, Mas? Ayo lanjutkan ucapanmu. Kenapa berhenti," ucapku menantangnya. Pria itu menelan ludahnya, terlihat dari jakunnya yang naik turun. "Ok. Biar aku yang lanjutkan. Maka kau akan menalakku, itu 'kan lanjutannya, Mas? silahkan saja!" Kuteruskan langkah yang sempat berhenti. Langkah kakiku ini, adalah awal dari kehancuran kalian. Lihat saja! "Dewi, tunggu! Sayang ... Yang jangan pergi. Jangan begini, Yang! Jangan tinggalin Mas." Dasar pecundan*! Dia pikir ancamannya mempan. Tidak lagi sekarang, aku bahkan sudah siap ditalak olehnya. Dengan sedikit berlari Mas Bagas menyeret kaki mendekat. Pria itu melepas pegangannya pada madu busuknya, mencoba mencegahku, tapi aku tak peduli. Tekatku sudah bulat, har
Bab 22"Dewi ...." Mas Bagas memanggil namaku, sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya. Kulihat dari balik kaca, laki-laki itu menatap sendu ke arah mobil Mas Fiqri. Selamat tinggal, Mas! Hubungan ini sudah benar-benar berakhir. Kuhela nafas panjang setelah duduk menyandarkan belakang ke sandaran kursi mobil. Hari ini sangat melelahkan, penuh drama dan menguras emosi. Pertengkaran dengan Mas Bagas dan Alika bukan saja membuatku sakit, namun juga lelah jiwa dan raga. Aku tidak menyalahkan takdir atas retaknya pernikahanku. Mungkin Tuhan ingin menaikan levelku dengan adanya ujian ini. Layaknya anak sekolah yang harus menghadapi ujian agar bisa naik kelas. Bukan kecewa karena tersingkirkan, tapi kecewa karena tiada kejujuran dalam pernikahan yang mati-matian kujaga segenap jiwa. Perih yang terlalu dalam kurasakan karena pengkhianatan Mas Bagas. Dua tahun menjalin ikatan, tak ada angin tak ada badai tapi kapal pernikahan yang baru saja berlayar karam di lau