Share

BAB 5

“Pertemuan ini ditunda, bawahannya bilang jika kolega kita mendadak ada urusan.” Ucap pak Farhan begitu Anya masuk ke ruangan yang sudah di pesan.

Anya yang memang dalam pikiran kalut sedikit bersyukur dengan penundaan ini.

“Apakah saya boleh cuti siang ini pak?” Tanya Anya dengan serius.

Pak Farhan mengangguk mengerti, terlebih melihat apa yang terjadi tadi. “Baiklah, tenangkan pikiranmu dulu. Kamu boleh cuti setengah hari.” Ucap pak Farhan.

Anya mengangguk lalu memesan taxi untuk kembali ke rumah, dia harus segera mendapatkan penjelasan dari Dimas sekarang.

Begitu sampai di rumah, betapa terkejutnya dia jika Dimas masih membawa wanita itu dan lebih menyakitkannya lagi adalah ketika ibu mertuanya yang tampak menyambut selingkuhan suaminya dengan sangat baik.

“Untunglah kamu pulang, buatkan minum untuk mereka.” Titah Regina tanpa ada empati dan malam mengelus perut wanita itu dengan penuh kasih.

Anya mengepalkan tangannya dengan kuat, kesabarannya sudah berada di puncak.

“Mas, jelaskan apa maksudnya ini.” Nada suara Anya berubah menjadi dingin.

Selama ini dia hanya menjadi wanita lemah lembut dan tak berani membantah, tapi sekarang tak ada Anya yang dulu lemah lembu dan penurut.

Dimas berdiri dari sofa, mencoba mendekati Anya dengan raut wajah penuh kecemasan. "Anya, dengarkan aku dulu. Ini semua hanya kesalahpahaman."

Wanita yang berada di samping Dimas, yang Anya kenal sebagai mantan kekasih suaminya, tersenyum sinis. "Kesalahpahaman? Jangan berpura-pura lagi, Mas. Sudah waktunya mba Anya tahu yang sebenarnya." 

Regina, yang sedari tadi menyaksikan dengan senyum puas, menambahkan, "Sudah waktunya Anya tahu posisinya, Dimas. Kita butuh cucu, dan jika Anya tidak bisa memberikannya, maka kita harus mencari solusi lain, seperti sekarang ini."

Anya menatap ibu mertuanya dengan mata berapi-api. "Bu, ini pernikahanku dan Dimas. Bukan urusan ibu untuk mencampuri."

Regina terbelalak mendengar Anya berbicara dengan nada setajam itu. "Kamu berani bicara seperti itu padaku?" 

Anya menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya meskipun hatinya bergejolak. "Mas, apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa hubunganmu dengan dia?" tanya Anya sambil menatap Dimas dengan penuh kesedihan.

Dimas tampak bingung, tidak tahu harus menjawab apa. "Anya, aku hanya... aku hanya ingin memastikan kita bisa punya anak. Dan jika kamu tidak bisa memberikannya..."

"Jadi kamu berpikir solusinya adalah dengan berselingkuh?" potong Anya dengan suara bergetar, tidak bisa menahan air matanya lagi.

Wanita di samping Dimas, yang tampak menikmati situasi ini, menambahkan, "Mba Anya, jika kamu tak bisa memberikan keturunan untuk mas Dimas, kamu harus terima jika dia memiliki keturunan dari rahim lain. Dan sekarang aku hamil anak mas Dimas, jadi mba Anya harus menerimanya dengan lapang hati dan intropeksi diri.”

“Anggun benar, dia sudah mengandung cucuku. Lihat dia hanya berhubungan dengan anakku sebulan dan langsung jadi. Tidak sepertimu.” Sinis Regina.

Dimas mengusap wajahnya lalu memegang tangan Anya, “Anya, maafkan aku. Aku tidak akan menceraikanmu. Hanya saja izinkan aku menikahi Anggun karena dia sudah hamil anakku.”

Anya menatap Dimas dengan tatapan tak percaya. Tangannya bergetar hebat saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut suaminya. Hatinya serasa remuk mendengar pengkhianatan dan ketidakadilan yang diterimanya.

"Mas... kamu pikir ini adil?" Anya bertanya dengan suara yang hampir hilang. "Kamu pikir aku bisa menerima semua ini begitu saja? Bagaimana kamu bisa melakukan ini padaku?"

Dimas berusaha meraih tangan Anya lagi, namun Anya mundur, menjauh dari sentuhan suaminya. "Anya, ini bukan tentang adil atau tidak. Ini tentang kita memiliki keturunan. Aku tidak ingin kehilanganmu, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan kebutuhan untuk punya anak."

Regina tersenyum puas, merasa kemenangan sudah di tangan. "Sudah jelas kan, Anya? Ini demi kebaikan keluarga kita. Terimalah ini dengan lapang hati."

Anya menggeleng, air mata mengalir deras di pipinya. "Kalian... kalian semua menganggap aku hanya sebagai alat untuk menghasilkan keturunan. Padahal pernikahan itu bukan hanya tentang memiliki anak. Ini tentang cinta, kepercayaan, dan kesetiaan."

Anggun, yang dari tadi tampak menikmati setiap detik penderitaan Anya, menambahkan, "Mba Anya, kamu harus kuat. Terima kenyataan bahwa mas Dimas akan menikahi aku juga."

Anya mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri meskipun hatinya terasa hancur. "Kalian semua telah mengkhianatiku. Aku tidak bisa hidup dalam kebohongan dan penghinaan seperti ini. Jika ini yang kalian inginkan, maka aku tidak bisa lagi berada di sini."

Dimas tampak panik, "Anya, tunggu! Jangan pergi. Kita bisa bicarakan ini baik-baik."

Namun, Anya tidak mendengarkan. Dia berjalan keluar dari rumah dengan langkah tegas, meninggalkan semua di belakangnya. 

Rasanya begitu menyesakkan, suaminya yang membawa madu dan ibu mertuanya yang sangat mendukung ketidakadilan ini.

Dia terus berlari bahkan tak sadar dia sudah sampai di jalan raya, matanya yang sembab membuat pusat perhatian tapi Anya tidak peduli.

Dia segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor seseorang.

Cukup lama orang itu mengangkat hingga akhirnya sambungan suara terhubung.

“Halo, Anya?” Suara Felisha terdengar diseberang sana.

“Fel.. Apa kamu di rumah?” Tanya Anya dengan suara serak.

“Aku sedang di rumah sakit, sebentar lagi akan pulang.” Ucap Felisha.

“Kamu tidak apa-apa kan?” Tanya Felisha karena mendengar sedikit isakan yang keluar dari mulut Anya.

Anya berusaha mengendalikan isak tangisnya agar tidak terlalu terdengar oleh Felisha. "Fel... aku butuh tempat untuk tinggal sementara. Aku tidak bisa lagi di rumah itu. Tolong... aku tidak tahu harus ke mana."

Felisha merasakan keputusasaan dalam suara sahabatnya dan segera merespons dengan penuh perhatian. "Tentu, Anya. Kamu bisa tinggal di rumahku. Aku akan pulang secepatnya. Kamu bisa langsung menuju rumahku, aku akan beri tahu satpam untuk membukakan pintu. Tenang saja, semuanya akan baik-baik saja."

Anya mengucapkan terima kasih dengan suara yang hampir hilang dan menutup telepon. Dengan langkah berat, dia memutuskan untuk berjalan ke rumah Felisha yang tidak terlalu jauh dari situ. 

Setibanya di rumah Felisha, dia disambut oleh satpam yang sudah diberi instruksi untuk membukakan pintu. "Silakan masuk, non Anya. non Felisha sudah mengabari saya," katanya dengan ramah.

Anya mengangguk lemah dan memasuki rumah yang terasa sangat tenang dan nyaman dibandingkan dengan rumahnya sendiri. Dia duduk di sofa dan memeluk dirinya sendiri, mencoba meredakan kepedihan yang terasa begitu mendalam.

Tak lama kemudian, pintu depan terbuka dan Felisha masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. "Anya!" Dia segera menghampiri dan memeluk sahabatnya erat-erat. "Apa yang terjadi? Ceritakan padaku."

Anya, yang merasa sedikit lebih tenang di pelukan sahabatnya, mulai menceritakan semua yang terjadi—pengkhianatan Dimas, perlakuan ibu mertuanya, dan kehadiran Anggun. Air matanya mengalir deras saat dia menceritakan bagaimana suaminya ingin menikahi wanita lain dan bagaimana dia merasa sangat tidak dihargai.

Felisha mendengarkan dengan sabar, memberikan waktu bagi Anya untuk menumpahkan semua perasaannya. Setelah Anya selesai bercerita, Felisha menghela napas panjang dan berkata, "Anya, kamu tidak pantas diperlakukan seperti ini. Kamu berhak mendapatkan kebahagiaan. Aku ada di sini untukmu, kita akan melewati ini bersama."

Anya mengangguk pelan, merasakan sedikit ketenangan dari dukungan sahabatnya. "Terima kasih, Fel. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang."

Felisha tersenyum lembut, "Langkah pertama adalah kamu butuh waktu untuk dirimu sendiri. Istirahatlah dulu di sini. Kita bisa bicarakan langkah selanjutnya besok. Kamu tidak sendiri dalam menghadapi ini."

Anya mengangguk, dia sangat hancur saat ini. Dia masih tak percaya dengan Dimas yang membawa wanita di rumah tangga mereka.

Dia mengurung dirinya di kamar Felisha, dan sahabatnya itu sangat mengerti dirinya jika dia sedang tak ingin di ganggu saat ini.

Panggilan dan spam pesan dari Dimas tidak dia hiraukan, bahkan dia hanya menatap ke arah ponsel yang menyala itu tanpa berniat untuk mengangkatnya.

Namun, ada nomor asing yang memanggilnya juga. Anya yakin jika bukan nomor Dimas yang menelponnya terlebih dia melihat foto profil yang menelepon adalah nomor ayah mertuanya.

Dia berniat untuk mengabaikannya, namun satu pesan dari pria itu membuatnya mengangkatnya.

“Dimana?” Tanya David dengan nada dingin.

“Ada apa, ayah? Aku sedang berada di rumah teman.” Ucap Anya dengan pelan.

“Share lokasimu sekarang. selesaikan masalahmu.” Ucap David dengan tegas.

Anya yang mendengar itu langsung melihat ponsel yang sudah mati tersebut, dia menghela nafasnya.

Dia berniat untuk kembali kesana menyelesaikan masalah ini, kabur dan bersembunyi juga bukan solusi terbaik.

Hingga saat dia keluar kamar, Felisha menghampiri Anya.

“Udah mau pergi ya? Ada pria di depan pintu, apakah kerabatmu?” Tanya Felisha yang memang kebetulan ingin memanggil Anya tadi.

Anya sedikit terkejut saat tahu ayah mertuanya benar-benar menjemputnya secepat ini.

“Iya. Aku pergi dulu.” Ucap Anya dengan buru-buru, tapi Felisha menahannya.

“Bawa ini.” Felisha menyerahkan hasil lab Dimas.

Anya mengangguk, tapi sebelum dia mencapai pintu dia sempat membuka hasil lab karena sangat penasaran.

Tapi begitu membaca hasilnya, dia mematung hingga raut wajahnya berubah pucat pasi.

“Dimas mandul?!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status