Share

BAB 4

Anya terdiam di kamar, sambil melihat jam yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari.

Setelah tadi dia memergoki Dimas tengah berteleponan dengan seseorang, pria itu pergi entah kemana.

Sudah sampai selarut ini Dimas pergi tanpa ada kabar, hingga Anya tertidur dan berharap ketika dia bangun, Dimas sudah berada di sampingnya.

Tapi, siapa sangka jika sampai pagi menjelang Dimas bahkan tak kembali. Tak ada jejak juga pria itu tertidur di sampingnya.

“Kemana, Mas Dimas?” Gumam Anya.

Gedoran pintu diluar kamar mengejutkannya, disana dia juga mendengar teriakan ibu mertuanya yang cukup keras.

“Sudah siang begini masih tidur, pantas saja anakku malas bersamamu.”

Pagi-pagi dia sudah mendengar omelan ibu mertuanya begitu ia membuka pintu kamar. Anya hanya diam,

dan kemudian menguncir rambutnya yang panjang lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan.

Jam masih menunjukkan lima pagi, tapi ibu mertuanya selalu saja mencari kesalahannya disini.

Dengan cekatan Anya memotong sayur untuk dibuat sup dan menggoreng ayam, dia hanya memasak makanan yang cepat disajikan.

Ibu mertuanya duduk sambil memakan kacang-kacangan di meja sambil menonton televisi gosip pagi.

Anya menghela nafasnya, dia berharap ibu mertuanya segera kembali rumahnya dan pergi.

“Masak apa?”

Anya tersentak saat tiba-tiba, David berada di sampingnya.

“A-ayah. Itu… Aku memasak sup dan ayam goreng. Apakah ayah ingin makanan lain?” Tanya Anya dengan gugup.

David hanya melirik ke arah panci diatas kompor yang masih menyala lalu menata kembali ke arah Anya.

“Dimana Asih?” Tanya David karena heran menantunya yang menyiapkan sarapan sendiri.

“Itu, mba Asih memang hanya datang ketika ada acara besar. Sudah biasa kok, ayah. Apakah ayah ingin aku buatkan kopi?” Tanya Anya segera.

David mengangguk dan duduk di meja makan. Anya segera menyiapkan kopi panas untuk pria itu, kata Dimas ayah mertuanya itu sangat menjaga gulanya sehingga dia sedikit menambahkan gula disana.

Tapi entah mengapa Anya merasa saat dia menyiapkan kopi, David menatap ke arahnya. Anya benar-benar tertekan karena merasa seperti dia membuat kesalahan.

Dia segera menghidangkan kopi itu dan kembali ke arah kompor untuk melanjutkan memasak.

“Kenapa tidak pakai pembantu?” Suara David kembali terdengar, Anya berbalik dan bingung harus menjawab apa.

Meskipun gajinya cukup untuk membayar pembantu, tapi Dimas dan ibu mertuanya ingin dia mengurus rumah sendiri.

“Biar nyaman saja, ayah.” Jawab Anya dengan seadanya dan tak ingin menimbulkan masalah baru dan melanjutkan acara memasaknya.

“Sudah matang?” Regina masuk ke ruang makan dengan tenang, disana dia melihat suaminya yang sudah duduk disana.

“Mas, kamu disini rupanya.” Ucap Regina yang berubah menjadi lembut.

Anya hanya diam dan menaruh masakannya di meja makan.

“Dimana suamimu?” Tanya Regina saat tak melihat Dimas.

“Semalam tidak pulang, bu.” Ucap Anya dengan tenang.

Regina mendelik, “Pantas saja suamimu tak betah dirumah, kamu dirumah saja dekil seperti itu.”

Anya hanya diam, bagaimana tidak dekil jika baru bangun harus menyiapkan sarapan untuk mereka bahkan dia belum mandi untuk persiapan kerja. Tapi menurutnya dia masih enak dipandang.

“Ehem.” David menginstruksikan agar Regina tak melanjutkan ucapannya.

Di tengah-tengah makan, Regina kembali bersuara yang membuat Anya tak berselera lagi.

“Aku harap Dimas pulang membawa wanita lain, syukur-syukur yang sudah hamil.”

“Regina.” David menekan suaranya dengan dingin, ucapan Regina sudah diluar batas.

“Apa sih, mas. Pria tak masalah untuk poligami, di agama kita juga tidak melarang.”

Anya menundukkan kepalanya, berusaha menahan amarahnya yang ingin keluar. Ucapan Regina sangat menyakitkan, tetapi dia berusaha tetap tenang di depan mertuanya.

"Bu, maaf, aku akan bersiap-siap untuk kerja," kata Anya dengan suara pelan namun tegas, mencoba menghindari perdebatan lebih lanjut.

Anya segera masuk kamar dan bersiap untuk pergi bekerja, rasanya begitu sesak disini terlebih tak ada yang membelanya.

Setelah siap dengan pakaian kantornya, dia ingin melangkah keluar dari kamar. Namun, panggilan telepon masuk menghentikan langkahnya.

“Halo, Fel?” Jawab Anya ketika panggilan tersambung.

“Hasil lab suamimu sudah keluar, kapan kamu mengambilnya?” Tanya Felisha dari seberang sana.

“Bagaimana hasilnya, Fel?” Tanya Anya tak sabaran.

“Masih tersegel, kamu harus membukanya sendiri.”

“Baiklah, jika nanti aku senggang aku akan mampir ke rumahmu untuk mengambilnya.” Ucap Anya lalu mematikan teleponnya.

Dia sudah terlambat saat ini, dia harus bergegas pergi ke kantor. Tapi sialnya, ban mobilnya ternyata kempes. Disini perdesaan, dan tak ada angkutan umum yang lewat.

“Ayo, aku antar.” Tiba-tiba suara ayah mertuanya mengejutkan Anya lagi.

Entah mengapa pria itu sering mengejutkannya, tapi tawaran ayah mertuanya sangat dibutuhkan. Dia tanpa pikir panjang mengangguk.

Di dalam mobil Anya hanya diam dan membaca proposal yang akan dia presentasikan nanti.

Hingga akhirnya Anya sampai di kantornya, “Terima kasih, ayah. Maaf merepotkanmu.” Ucap Anya dan kemudian masuk ke dalam.

“Diantar siapa, mba?” Tanya Dina yang kebetulan melihat Anya keluar dari mobil hiram dengan seorang pria matang yang tampan.

“Mertua.” Jawab Aya singkat.

“Mertua, mba Anya tampan sekali. Tapi kenapa wajah suami mba tidak mirip dengan ayahnya yaa. Kalau aku jadi mba Anya, aku sudah kepincut mertua sendiri. Hahaha.”

Anya hanya tersenyum dengan gurauan Dina ini, tapi memang benar jika ayah mertuanya sepuluh kali lebih tampan dari suaminya. Tidak salah jika Anya berbicara seperti itu.

“Oh iya mba, nanti rapatnya di restoran dekat mall yaa. Tadi pak Farhan baru saja mengabarkan secara mendadak.” Ucap Dina.

“Tumben rapatnya diluar?”

“Tidak tahu, katanya kolega ini lebih nyaman diluar.”

Anya yang mendengarnya langsung mengangguk mengerti. Hingga pak Farhan menghampirinya dan mengajaknya berangkat ke restoran karena janji mereka jam 10 lalu dilanjutkan makan siang disana.

“Kolega kita sangat penting, jadi jangan sampai kamu salah bicara, Anya. Beliau ingin investasi banyak jika kinerja kita bagus.” Ucap Farhan di mobil.

“Baik pak.”

Mereka keluar dari mobil dan masuk ke dalam restoran yang juga memiliki sebuah hotel yang cukup mewah di kota ini. Tapi langkah Anya berhenti saat melihat pemandangan di depannya.

Dia dengan langkah cepat menghampiri dua orang yang tengah bermesraan di tempat umum dan seperti habis check out dari hotel ini.

PLAK!

Tamparan langsung mengenai pria itu yang tak lain adalah Dimas, yang tengah bersama dengan wanita yang Anya ketahui sebagai mantan kekasih suaminya dulu.

Dimas terkejut dan menatap Anya dengan tatapan tak percaya, sementara wanita di sampingnya tampak gugup dan mencoba menjauh dari situasi yang memanas.

"Anya, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Dimas dengan suara terputus-putus, berusaha mengendalikan situasi.

Anya menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca, perasaan marah dan kecewa bercampur aduk di dalam dirinya. "Seharusnya aku yang bertanya, Mas. Apa yang kamu lakukan di sini dengan dia?" Anya menunjuk wanita yang berada di samping Dimas.

Sebelum Dimas sempat menjawab, pak Farhan yang ikut bersama Anya segera menghampiri mereka. "Anya, apa yang terjadi? Kita punya janji penting sekarang," katanya dengan nada tegas namun prihatin.

Anya yang mendengar itu langsung menatap ke arah pak Farhan, dan mengangguk.

“Bapak duluan saja.” Ucap Anya dengan tegas lalu menatap ke arah Dimas.

“Mas, aku butuh penjelasan. Aku harap apa yang ada di pikiranku salah,” Ucap Anya yang kemudian masuk ke dalam untuk bertemu dengan kolega, dalam keadaan apapun dia harus profesional.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status