“Mbak Agnes, aku beneran nggak tahu!” kekeuh Resa seraya memasang wajah bersalah.Seluruh tubuh Agnes makin memanas. Tampaknya Resa memang sengaja merampoknya. Namun, ia adalah orang yang pantang menyerah. Wanita muda itu merogoh tas tangannya lagi. Sementara Resa melirik sedikit dan mengintip ke arah Agnes.Tumpukan yang dikeluarkan Agnes lebih besar dari yang sudah ada di atas pangkuannya. Sayangnya, Resa masih memasang wajah menyesal. Mungkin ia belum puas dengan uang yang diterimanya.“Kamu benar-benar mau merampokku?” sentak Agnes tak bisa menahan sabarnya.“Mau gimana lagi, Mbak. Kalau memang nggak kenal, bagaimana dong?” sesal Resa seraya memasang wajah memelas lagi.Agnes menghela napas panjang. Ia lalu menatap ke arah sekelilingnya. Tangannya merogoh tasnya lagi. Namun, kali ini tangannya bukan meraih gepokan uang kertas, tetapi pisau
“Halo! Bu Resa ....”Wajah Sean panik. Ia jelas mendengar suara Resa dari balik telepon berteriak. Zia yang berada di sampingnya mengguncang lengannya dengan tatapan lebih panik.“Paman, ada apa?” tanya Zia dengan tatapan cemas.Sean tak menjawab. Ia menatap layar ponselnya dan detik waktunya masih berjalan, tetapi tidak ada suara Resa di balik telepon tersebut. Sunyi tak ada suara lagi, hingga membuat Sean kebingungan dan makin panik.“Tidak ada suara lagi. Aku mendengar tadi ibumu menjerit,” ucap Sean makin membuat Zia cemas.“Apa terjadi sesuatu pada ibuku?” tanya Zia. Kedua bola matanya berembun. “Coba telepon lagi, Paman!” pinta Zia panik.Zia masih mempertahankan kedua bola matanya untuk tak menambah gelembung embunnya. Sementara Sean mencoba menghubungi nomor Resa. Tak ada jawaban. Lelak
Zia menurut dan mengikuti langkah Sean. Dalam keadaan gelapnya malam, mereka menembus jalanan malam yang sepi. Wajah Zia yang cemas dan ketakutan terus menatap jalanan di hadapannya.Sean bahkan seperti kehabisan kata-kata. Ia tak mampu bersuara hanya untuk sekedar berkata menenangkan gadis kecilnya. Lelaki itu memilih fokus pada laju mobilnya yang sudah di luar batas kecepatannya dalam mengemudi.Mungkin karena dini hari jalanan kota masih sepi, hingga ia berani ngebut. Tidak! Sean juga diliputi cemas dan takut. Seharusnya ia mendengarkan dulu laporan dari anak buahnya tentang kondisi Resa.Namun, rasa penasarannya sedikit berkurang saat ia sudah melihat lampu tanda rumah sakit yang ia tuju. Wajah Zia yang sedari tadi diliputi cemas dan ketakutan, berubah bingung saat Sean melambatkan kemudi mobilnya dan bergerak menuju parkiran rumah sakit.“Kenapa kita ke rumah sakit, Paman?” tan
Gadis itu hanya mengangguk dan memasuki ruangan tersebut. Sean langsung menutup pintunya setelah yakin Zia sudah masuk ke dalam. Kemudian ia langsung menatap kedua orang kepercayaannya dengan tatapan penuh tanya.“Sekitar jam satu dini hari, nona Agnes menemuinya dan membawanya keluar dari rumah bordil. Kami hampir kehilangan jejaknya karena nona Agnes membawanya berkeliling ke arah yang tak terduga. Lalu saat kamu berhasil menemukan jejaknya, bu Resa sudah diturunkan di trotoar, saat itu datanglah motor yang melaju kencang ke arahnya dan memukul bu Resa hingga pingsan. Tampaknya mereka sengaja mencelakai bu Resa,” jelas Nugi, lelaki yang menyambutnya tadi.“Sebenarnya, saya curiga kalau mereka hanya berniat mencelakainya saja, Tuan,” sambung lelaki berpakaian hitam sebelahnya.“Maksudmu apa, Aldi?” tanya Sean cemas.Lelaki yang bernama Aldi terdiam. Ia seperti ten
Air mata Zia mengalir deras menyaksikan ibunya terbaring di ranjang rumah sakit. Gadis itu langsung meraih tangan ibunya seraya membawa bobot tubuhnya berlabuh pada kuris di samping ranjang tersebut. Perlahan air matanya berkurang, menyadari Resa baik-baik saja saat ia merasakan hangat tangan yang sedang ia genggam.Ya, dia memang membenci ibunya karena masih menjalani pekerjaanya menjadi wanita malam dan mucikari. Namun, sebesar apapun rasa bencinya, Resa tetaplah ibunya yang sudah membesarkannya dulu dengan penuh cinta. Zia yakin ibunya pasti bisa menyadari kalau perbuatannya salah dan mau ke jalan yang benar.Zia menghapus sisa air matanya saat menyadari kelopak mata wanita paruh baya itu bergerak terbuka. Mungkin suara isaknya mengganggu tidurnya, tetapi biarlah. Setidaknya dengan cara itu ia bisa memastikan kalau ibunya tak terluka parah.“Zia?” suara pertama yang terucap dari bibir Resa.“Iya, Bu. Aku Zia,” jawabnya lembut dan halus diakhiri senyumannya.Air mata haru Resa mener
“Ibu, lebih baik sekarang Ibu fokus pada kesehatanmu saja! Nanti aku tanyakan pada anak buahnya tuan Sean uang dan ponselmu,” pinta Zia sedikit memohon. Wanita paruh baya yang kini mengenakan baju pasien langsung mengatupkan mulutnya. Sepertinya ia harus menurut pada anak gadisnya. Benar saja, Zia langsung memberikan senyuman manisnya. Resa lantas memandangi anak gadisnya dengan senyuman bangga. Ia bahkan membelai lembut pipi gadis cantiknya. “Anak ibu makin cantik saja,” pujinya dengan senyuman makin bangga. Zia tersenyum malu. Ia menggenggam tangan ibunya yang berada di pipinya. Tergambar jelas rasa rindu mata kedua sorot mata gadis itu. Rindu akan belaian lembut ibunya sebelum ia tahu kalau ibunya adalah wanita malam. Ya, Zia rindu saat ia tertidur dalam pangkuan ibunya setiap menunggu kepulangan ayahnya. Kemudian ayahnya tiba-tiba menghilang tanpa kabar meninggalkan dirinya dan ibunya. It
Resa menoleh pada anak gadisnya yang menatapnya nanar. Ia mengerutkan dahinya dan memasang wajah menyesal. “Tenang saja, Zia! Ibu tidak menerima uang pemberian Agnes ... ibu hanya menyelipkan satu gepok saja tanpa sepengetahuan model sombong itu,” ucapnya diakhiri tawa kecilnya.Air mata Zia menetes. Ia benar-benar tak kuasa menahan rasa sedih dan kecewanya. Rasa benci dan marahnya makin tinggi.“Kenapa Ibu tidak mati saja!” geramnya.“Apa? Kamu bilang apa, Zia?” tanya Resa seraya menoleh.Tampaknya wanita paruh baya itu tak mendengar suara geraman Zia. Gadis itu langsung menghapus air matanya. Sepertinya sia-sia mengkhawatirkan ibunya. Ia langsung membuang wajahnya dari tatapan ibunya.“Zia, kamu tenang saja! Ibu akan menuruti permintaan CEO tampan yang sudah tergila-gila padamu. Ibu akan tutup mulut dan tak akan ada yang tahu kala
Zia menatap dalam pada kedua netra lelaki yang tengah berlutut di hadapannya. Ia mencoba menerawang sedalam-dalamnya mencari celah kebohongan atau tipuannya, tetapi tidak ia temukan. Sean benar-benar tulus padanya, hingga tak terasa air mata harunya menerobos keluar dari kedua sudut dalam netranya.“Apa yang kamu ragukan dari saya?” tanya Sean seraya mengusap air mata gadis kecilnya, seolah tahu arti tatapannya.“Aku tidak ragu, Paman. Aku percaya padamu,” jawabnya seraya mengakhiri tangis harunya.Gadis itu mengukir senyuman tulus, kemudian Zia meraih bahu lelaki di hadapannya dan membawanya duduk di sebelahnya. Gadis itu lalu menggelayut manja dan melabuhkan kepalanya pada kanan Sean, sementara jari tangannya langsung menyelusup pada jari jemari pamannya. Lelaki itu tak protes dan memilih tersenyum.“Paman!” panggil Zia pelan tanpa melepaskan kepalanya dari bahu