Sean membalas lumayan gadis kecilnya. Namun, baru saja lidah mereka bertaut keduanya langsung menghentikannya dan melepaskan ciuman mereka. Cacing di dalam perut Zia tak memberi restu. Keduanya tertawa kecil.
“Aku makan dulu, Paman,” ucap Zia malu-malu.
“Sepertinya begitu,” sahut Sean seraya memutar tubuh gadis kecilnya. “Kayaknya, mie instannya sudah mengembang. Mau saya buatkan yang baru?” tawarnya.
“Nggak usah, Paman. Cacing dalam perutku udah nggak bisa nunggu,” jawab Zia masih sedikit malu-malu.
Bagaimana bisa dirinya tidak malu. Cacing dalam perutnya mengganggu saat ia baru saja memulainya lagi. Entah mengapa ia menjadi lebih berani pada pamannya.
Sean menemani gadis kecilnya melahap mie instan buatannya. Lelaki itu bahkan memangku dagunya menatap wajah Zia. Gadis itu yang baru saja memasukkan suapan pertamanya langsung tersip
“Kamu ibunya dari penulis Zia?” pertanyaan yang tertuju pada Resa hampir membuat wanita paruh baya itu tersentak.Resa menatap wanita muda yang berdiri di hadapannya dan memandangi wajah serta tubuhnya dengan tatapan mencibir. Tentu saja wanita paruh baya itu membalas tatapan wanita muda itu yang tak lain adalah Agnes. Tak berapa lama kedua bola mata Resa membulat sempurna, hingga ia harus menutupi mulutnya yang menganga saat menyadari sosok wanita muda di hadapannya.Benar. Setelah Agnes mendapatkan informasi tentang gadis yang disukai oleh Sean. Uang dan kekuasaan ayahnya membuatnya lebih mudah menemukan informasi tentang Zia.“Mbak ini Agnes Putri, model terkenal yang lagi kena skandal yah?” tebak Resa seraya menunjuk wajah wanita muda itu. Tak lama ia menatap Agnes dengan tatapan mencibir.“Lancang sekali mulutmu!” geram Agnes dengan tatapan tajam.Resa mendesis dan menatapnya nanar. “Mbak yang lancang! Apa tidak takut kalau ada wartawan yang memergoki kamu berada di rumah bordil.
“Mbak Agnes, aku beneran nggak tahu!” kekeuh Resa seraya memasang wajah bersalah.Seluruh tubuh Agnes makin memanas. Tampaknya Resa memang sengaja merampoknya. Namun, ia adalah orang yang pantang menyerah. Wanita muda itu merogoh tas tangannya lagi. Sementara Resa melirik sedikit dan mengintip ke arah Agnes.Tumpukan yang dikeluarkan Agnes lebih besar dari yang sudah ada di atas pangkuannya. Sayangnya, Resa masih memasang wajah menyesal. Mungkin ia belum puas dengan uang yang diterimanya.“Kamu benar-benar mau merampokku?” sentak Agnes tak bisa menahan sabarnya.“Mau gimana lagi, Mbak. Kalau memang nggak kenal, bagaimana dong?” sesal Resa seraya memasang wajah memelas lagi.Agnes menghela napas panjang. Ia lalu menatap ke arah sekelilingnya. Tangannya merogoh tasnya lagi. Namun, kali ini tangannya bukan meraih gepokan uang kertas, tetapi pisau
“Halo! Bu Resa ....”Wajah Sean panik. Ia jelas mendengar suara Resa dari balik telepon berteriak. Zia yang berada di sampingnya mengguncang lengannya dengan tatapan lebih panik.“Paman, ada apa?” tanya Zia dengan tatapan cemas.Sean tak menjawab. Ia menatap layar ponselnya dan detik waktunya masih berjalan, tetapi tidak ada suara Resa di balik telepon tersebut. Sunyi tak ada suara lagi, hingga membuat Sean kebingungan dan makin panik.“Tidak ada suara lagi. Aku mendengar tadi ibumu menjerit,” ucap Sean makin membuat Zia cemas.“Apa terjadi sesuatu pada ibuku?” tanya Zia. Kedua bola matanya berembun. “Coba telepon lagi, Paman!” pinta Zia panik.Zia masih mempertahankan kedua bola matanya untuk tak menambah gelembung embunnya. Sementara Sean mencoba menghubungi nomor Resa. Tak ada jawaban. Lelak
Zia menurut dan mengikuti langkah Sean. Dalam keadaan gelapnya malam, mereka menembus jalanan malam yang sepi. Wajah Zia yang cemas dan ketakutan terus menatap jalanan di hadapannya.Sean bahkan seperti kehabisan kata-kata. Ia tak mampu bersuara hanya untuk sekedar berkata menenangkan gadis kecilnya. Lelaki itu memilih fokus pada laju mobilnya yang sudah di luar batas kecepatannya dalam mengemudi.Mungkin karena dini hari jalanan kota masih sepi, hingga ia berani ngebut. Tidak! Sean juga diliputi cemas dan takut. Seharusnya ia mendengarkan dulu laporan dari anak buahnya tentang kondisi Resa.Namun, rasa penasarannya sedikit berkurang saat ia sudah melihat lampu tanda rumah sakit yang ia tuju. Wajah Zia yang sedari tadi diliputi cemas dan ketakutan, berubah bingung saat Sean melambatkan kemudi mobilnya dan bergerak menuju parkiran rumah sakit.“Kenapa kita ke rumah sakit, Paman?” tan
Gadis itu hanya mengangguk dan memasuki ruangan tersebut. Sean langsung menutup pintunya setelah yakin Zia sudah masuk ke dalam. Kemudian ia langsung menatap kedua orang kepercayaannya dengan tatapan penuh tanya.“Sekitar jam satu dini hari, nona Agnes menemuinya dan membawanya keluar dari rumah bordil. Kami hampir kehilangan jejaknya karena nona Agnes membawanya berkeliling ke arah yang tak terduga. Lalu saat kamu berhasil menemukan jejaknya, bu Resa sudah diturunkan di trotoar, saat itu datanglah motor yang melaju kencang ke arahnya dan memukul bu Resa hingga pingsan. Tampaknya mereka sengaja mencelakai bu Resa,” jelas Nugi, lelaki yang menyambutnya tadi.“Sebenarnya, saya curiga kalau mereka hanya berniat mencelakainya saja, Tuan,” sambung lelaki berpakaian hitam sebelahnya.“Maksudmu apa, Aldi?” tanya Sean cemas.Lelaki yang bernama Aldi terdiam. Ia seperti ten
Air mata Zia mengalir deras menyaksikan ibunya terbaring di ranjang rumah sakit. Gadis itu langsung meraih tangan ibunya seraya membawa bobot tubuhnya berlabuh pada kuris di samping ranjang tersebut. Perlahan air matanya berkurang, menyadari Resa baik-baik saja saat ia merasakan hangat tangan yang sedang ia genggam.Ya, dia memang membenci ibunya karena masih menjalani pekerjaanya menjadi wanita malam dan mucikari. Namun, sebesar apapun rasa bencinya, Resa tetaplah ibunya yang sudah membesarkannya dulu dengan penuh cinta. Zia yakin ibunya pasti bisa menyadari kalau perbuatannya salah dan mau ke jalan yang benar.Zia menghapus sisa air matanya saat menyadari kelopak mata wanita paruh baya itu bergerak terbuka. Mungkin suara isaknya mengganggu tidurnya, tetapi biarlah. Setidaknya dengan cara itu ia bisa memastikan kalau ibunya tak terluka parah.“Zia?” suara pertama yang terucap dari bibir Resa.“Iya, Bu. Aku Zia,” jawabnya lembut dan halus diakhiri senyumannya.Air mata haru Resa mener
“Ibu, lebih baik sekarang Ibu fokus pada kesehatanmu saja! Nanti aku tanyakan pada anak buahnya tuan Sean uang dan ponselmu,” pinta Zia sedikit memohon. Wanita paruh baya yang kini mengenakan baju pasien langsung mengatupkan mulutnya. Sepertinya ia harus menurut pada anak gadisnya. Benar saja, Zia langsung memberikan senyuman manisnya. Resa lantas memandangi anak gadisnya dengan senyuman bangga. Ia bahkan membelai lembut pipi gadis cantiknya. “Anak ibu makin cantik saja,” pujinya dengan senyuman makin bangga. Zia tersenyum malu. Ia menggenggam tangan ibunya yang berada di pipinya. Tergambar jelas rasa rindu mata kedua sorot mata gadis itu. Rindu akan belaian lembut ibunya sebelum ia tahu kalau ibunya adalah wanita malam. Ya, Zia rindu saat ia tertidur dalam pangkuan ibunya setiap menunggu kepulangan ayahnya. Kemudian ayahnya tiba-tiba menghilang tanpa kabar meninggalkan dirinya dan ibunya. It
Resa menoleh pada anak gadisnya yang menatapnya nanar. Ia mengerutkan dahinya dan memasang wajah menyesal. “Tenang saja, Zia! Ibu tidak menerima uang pemberian Agnes ... ibu hanya menyelipkan satu gepok saja tanpa sepengetahuan model sombong itu,” ucapnya diakhiri tawa kecilnya.Air mata Zia menetes. Ia benar-benar tak kuasa menahan rasa sedih dan kecewanya. Rasa benci dan marahnya makin tinggi.“Kenapa Ibu tidak mati saja!” geramnya.“Apa? Kamu bilang apa, Zia?” tanya Resa seraya menoleh.Tampaknya wanita paruh baya itu tak mendengar suara geraman Zia. Gadis itu langsung menghapus air matanya. Sepertinya sia-sia mengkhawatirkan ibunya. Ia langsung membuang wajahnya dari tatapan ibunya.“Zia, kamu tenang saja! Ibu akan menuruti permintaan CEO tampan yang sudah tergila-gila padamu. Ibu akan tutup mulut dan tak akan ada yang tahu kala