“Tuan Sean pemilik hotel tempat kita magang?” tanya Bianca berbisik pada Dion.
Sean mendesis dan melirik sinis. Ia melirik satu persatu wajah para pembully gadis kecilnya. “Pantas saja saya merasa tidak asing dengan wajah kalian. Besok temui saya di ruang kerja saya!” suaranya penuh penekanan rasa marahnya.
“Paman, ayo kita pergi saja!” ajak Zia seraya meraih lengannya.
Zia tahu betul kalau Sean tengah marah. Ia tak ingin masalahnya menjadi panjang. Namun, Sean justru meraih tangannya dan menurunkannya, kemudian ia menggenggamnya erat.
“Paman? Kamu manggil Tuan Sean paman?” celetuk Raisa menatap heran dan curiga pada Zia. Kemudian ia menatap cemas pada Sean. “Tuan, Tuan Sean tahu nggak siapa ga
“Apa ini surprisenya?” tanya Zia seraya memamerkan cincin pada jari manisnya diikuti senyumannya yang terus mengembang sempurna.“Bukan, itu adalah simbol kalau kamu adalah milik saya dan tidak ada yang berhak memiliki kamu selain saya,” jawab Sean lugas.Zia menaikkan sudut kanan bibirnya, kemudian ia memajukan bibirnya. “Emangnya aku apaan pake dikatain simbol,” protesnya tak terima dengan jawaban Sean.Lelaki beriris keperakkan itu tertawa kecil. Ia tahu, gadis kecilnya menginginkan jawaban lain yang lebih romantis. Sean lalu meraih tangan kiri Zia yang tadi dipamerkan padanya. Kemudian menatap sebentar cincin yang melingkar pada jari manis Zia. Ia mengecupnya lembut punggung tangan gadis kecilnya.“Tentu saja ini lambang cinta saya untukmu. Berlian ini artinya kekuatan, kesuksesan, keagungan. Seperti kamu, Gadis Kecil,” ucap Sean bangga. “Kamu
Tampaknya Sean memang tulus mengantarkan pak Darul menuju kampungnya. Walaupun ia harus menyetir hampir empat jam, lelaki itu tak merasa lelah. Kampung ayahnya Zia berada di salah satu perkampungan di kota Bandung.Ya, Sean sudah mencari tahu semuanya hingga ia tak kesulitan menemukan arah jalan pulang calon mertuanya. Tentu saja, hal tersebut makin meyakinkan kesungguhan Sean menyukai Zia. Pak Darul bahkan kini mulai tak menunjukkan rasa sungkannya.“Istirahatlah dulu beberapa jam, Tuan!” usul pak Darul seraya mengambil alih koper miliknya yang hendak dikeluarkan Sean.Sejujurnya pak Darul ingin meminta Sean untuk menginap, tetapi ia yakin kalau lelaki tampan itu harus bekerja esok harinya. “Saya sudah memberi kabar pada saudara saya untuk menyiapkan makanan. Makan
Berkali-kali Sean menginjakkan kakinya pada pedal gas, tetap saja tak ada hasilnya. Mobilnya makin melaju kencang menuruni jalanan berbukit. Lelaki itu hanya mengatur laju kemudinya agar tak keluar jalur.Namun, tetap saja itu bukanlah hal yang baik. Jalanannya curam berkelok menurun makin mempercepat laju mobilnya walaupun ia tak menginjak pedal gas. Sean langsung menyalakan lampu darurat mobilnya dan membunyikan klakson mobilnya secara terus menerus, berharap beberapa kendaraan di hadapannya dan di belakangnya menyadari sinyal bahaya pada mobilnya.Panik? Tentu saja. Ia berusaha tetap tenang seraya terus mempertahankan kemudi mobilnya yang mulai tak terkendali.“Paman, bagaimana ini?” Zia tampaknya lebih panik darinya.Sejujurnya Sean lebih panik. Ia tidak mungkin membuat gadis tercintanya dalam bahaya, tetapi itulah kenyataannya. “Tenanglah, Gadis Kecil! Saya berusaha menguasai k
“Bagaimana?”“Maafkan kami, Nyonya. Mereka berhasil selamat,”“Apa? Bagaimana bisa? Kamu sudah melakukan semua instruksi yang aku suruh ‘kan?”Nyonya Felicia, memekik panik. Ia tak percaya orang suruhannya tak becus menjalankan perintahnya. Padahal tugas yang mudah menurutnya.“Tentu saja, Nyonya, saya sudah memutus kabel remnya. Namun, sepertinya orang itu lebih pandai menguasai jalanan, padahal yang ia lalui adalah jalanan curam berkelok-kelok dan menurun. Kecil kemungkinannya bisa selamat,” jawab seseorang di balik telepon.“Sial! Ternyata anak itu pintar juga, seharusnya dalam keadaan turun di perbukitan mobilnya hilang kendali. Apa kamu yang salah memotong kabel rem?” umpat nyonya Felicia makin panik, tetapi dengan suara pelan.Wanita setengah baya itu menggigit jarinya.
“Apa yang terjadi, Tuan Sean?” tanya pak Sadin setelah menerima ponselnya dari Sean.Lelaki yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit itu menoleh heran pada asistennya. “Sepertinya dugaanmu benar, Pak Sadin. Bukan tuan David dalang dibalik kecelakaan saya.”“Tuan yakin?” Pak Sadin meyakinkan dengan tatapan sedikit terkejut.“Hubungi dokter Ryan dan suruh dia menyiapkan ruang rawat untuk saya! Katakan juga pada ayah saya, tidak perlu datang ke mari!” perintah Sean pada pak Sadin.“Baik, Tuan,” sahut pak Sadin langsung. “Kalau begitu, sebaiknya Tuan Sean beristirahat dulu! Saya akan panggil nona Zia masuk agar bisa menemani Tuan Sean beristirahat.”Tanpa menunggu jawaban Sean, pak Sadin langsung memutar tubuhnya dan keluar dari ruangan rawat lelaki itu. Tanpa menunggu lama, pintu tersebut kembali terbuka. Zi
Tanpa lelah, pak Sadin berkendara lebih dari empat jam dan sudah memasuki lobi rumah sakit. Zia tersadar saat mendengar suara bunyi dari mesin parkir saat lelaki itu mengarahkan kartu parkirnya. Indera penglihatan Zia berselancar sebentar, memastikan keberadaanya. “Kita sudah sampai, Nona Zia,” ucap pak Sadin menyadari gadis itu sudah terbangun. Sean pun langsung terbangun saat ia menyadari kepala Zia menjauh dari kepalanya. “Paman, sudah bangun?” tanya Zia seraya membantu lelaki itu bangkit dari rangkulannya. “Kamu pasti kelelahan, yah?” tanya Sean menyadari tengah menggerakan pinggangnya. Zia ingin mengelak, tetapi ia memilih tersenyum. Namun, ia langsung mengalihkan pandangannya pada dokter Ryan dan tuan Alan yang sudah menyambutnya dengan membawa kursi roda di depan lobi samping rumah sakit. Sean pun mengikuti pandangan gadis kecilnya. “Paman, siap-siap saja, yah!” pinta Zia setelah mobil pak Sadin berhenti. Pintu mobil samping langsung terbuka, mereka perlahan membantu Sean
Zia tak bisa bersabar untuk mengistirahatkan dirinya di mansion. Ia memilih langsung ke rumah sakit setelah membilas tubuhnya dan meminta bi Asti memasak makanan kesukaan Sean. Gadis itu harus menjaga pamannya, pikirnya.“Kamu nggak bisa nahan rindu dengan saya, yah?” goda Sean saat gadis itu menyiapkan makanan untuknya.“Anggap saja gitu!” sahut Zia tanpa menoleh pada Sean.Gadis itu membuka kotak masakannya. Menu sederhana kesukaan Sean saat kecil dulu. Zia lalu membawanya ke hadapan pamannya yang kini sudah duduk bersandar di ranjang rawatnya.“Nggak ada pantangan makan ‘kan?” tanya Zia saat menunjukan ayam kecap masakannya. “Bi Asti yang ngajarin aku masak ini. Kata bi Asti sih enak,” ucapnya.Sean mengerutkan dahinya sebenar, lalu menatap ayam kecap di hadapannya. “Jadi, kamu sedang belajar menjadi istri yang baik?” godanya diikuti senyuman menggoda hingga membuat wajah gadis kecilnya merah merona.“Ih, Paman! Aku masak biar Paman bisa makan lahap dan cepat sembuh, makanan rumah
“Bu Resa? Bu Resa siapa? Jangan-jangan ibuku?” guman Zia terkejut saat melihat nama pemanggil pada layar ponselnya Sean. “Paman masih berhubungan dengan ibuku?”Rasa penasaran Zia memaksanya menggulir tombol jawab pada ponselnya Sean. Ia langsung menempelkan ponsel tersebut pada daun telinganya. Zia hanya perlu memastikan suara pemanggil tersebut.“Tuan Tampan, kenapa kamu susah sekali dihubungi, sih? Aku lagi dalam kesulitan nih,” seru suara di balik telepon dengan nada kesal tanpa memberi salam terlebih dahulu atau menyapa.Kedua bola mata Zia langsung membulat sempurna. Tentu saja ia mengenali suara tersebut. Benar, itu memang suara Resa, ibunya.“Mau apa Ibu mengganggu tuan Sean?” sembur Zia kesal.“Zi—zia? Kenapa telepon tuan Sean ada padamu? Di mana dia? Ibu ada perlu dengannya, berikan padanya!” Resa gag