“Bi Asti, Zia masih tidur?” tanya Sean saat ia menuruni anak tangga dan melihat asisten rumah tangganya baru saja keluar dari kamar gadis kecilnya.
Hampir saja suara Sean yang pelan mengejutkan dirinya. Wanita berambut putih dan hitam itu menoleh ke arah majikannya. Ia tersenyum kecil sebagai sapaan untuk Sean.
“Iya, Tuan. Sepertinya nona Zia sangat kelelahan dan banyak pikiran. Saya tidak berani membangunkannya untuk sarapan,” jawab bi Asti santun. “Tuan, mau sarapan sekarang?” tanyanya.
“Tolong bungkus saja ya, Bi! Saya sarapan di jalan saja ... sepertinya saya sedikit kesiangan,” titah Sean seraya menatap jam tangan mewahnya.
“Baik, Tuan,” sahut Asti santun.
Kemudian ia langsung bergegas menuju dapur. Sementara Sean memilih memasuki kamar gadis kecilnya. Tentu saja gadis itu pasti kurang tidur, sama seperti dirinya. N
Tentu saja, Sean tak akan tega. Wajah menggemaskan Zia terlalu menggoda dirinya dan tak akan sanggup untuk menjauh. Gadis kecilnya tertawa kecil dalam pelukannya, kemudian ia melepaskan pelukan lelaki yang sudah rapi dengan jas kerjanya.Zia memandangi Sean selama beberapa detik, sebelum memberikan senyuman yakinnya. Ia pun merapikan jas kerja Sean dan berhenti pada dasinya. Tentu saja, ia merapikan dasinya juga.“Janji yah, jangan pulang larut!” pesannya diakhiri senyuman tulusnya.“Saya akan usahakan untuk pulang cepat,” sahut Sean lembut.Kemudian ia mendaratkan ciuman pada kening gadis kecilnya setelah Zia selesai merapikan dasinya. Senyuman Zia makin mengembang sempurna. Pagi yang indah untuk keduanya.“Saya berangkat dulu, yah! Lanjutin lagi tidurnya, kamu harus banyak istirahat,” pesan Sean seraya bangkit dari duduknya.
“Atur kunjungan saya ke Bogor! Saya akan menemui developernya tanpa pemberitahuan dan kumpulkan semua berkas tentang pembangunan hotel itu!” titah Sean pada pak Sadin sebelum ia memasuki ruang kerjanya.“Baik, Tuan,” sahut pak Sadin cepat.Langkah Sean terhenti saat ia sudah mendorong pintu ruangannya. Ia menoleh pada asistennya yang masih sigap berdiri di sampingnya. “Saya lupa, lakukan kunjungannya setelah jam makan siang. Jika Aldi datang, suruh dia langsung menemui saya. Kita langsung pergi setelah Aldi datang,” pesannya lugas.“Tentu, Tuan,”Sean tersenyum puas pada pak Sadin, kemudian ia langsung melangkah memasuki ruang kerjanya. Lelaki tampan itu memijat pelipis alisnya seraya berjalan menuju meja kerjanya. Ia lalu menghirup napas panjang setelah berada di depan meja kerjanya, dan langsung duduk bersandar sembari menghembuskan napas panjangnya.“Sepertinya saya akan pulang larut lagi,” guman Sean memasang wajah kesal, seraya merogoh saku jas dalamnya untuk mengeluarkan ponseln
Setelah mendapatkan anggukan dari Sean, pak Sadin langsung berbalik dan meninggalkan ruangan kerjanya. Sementara lelaki itu langsung fokus pada tumpukan map di hadapannya. Setiap lembar map tersebut tak luput dari perhatiannya.Sean tak boleh melewatkan semuanya. Ia harus memastikan semua rencana berjalan dengan lancar dan mengumpulkan semua bukti agar developer tersebut tak bisa membatalkan perjanian sesuka hatinya. Lelaki tampan itu bisa saja langsung mendatangi tempat hotel barunya yang sedang dalam proses pembangunan itu dan meminta pertanggungjawaban pihak developer itu, tetapi ia lebih baik mempersiapkan segalanya agar bisa menuntutnya secara hukum.Ya, sesiap itu Sean dalam menyiapkan segalanya. Ia bisa saja tinggal memberi perintah pada pak Sadin dan anak buahnya yang lain, tetapi Sean lebih suka memeriksanya sendiri. Dengan cara itu juga, ia bisa melihat perkembangan semua hotel miliknya.Lama ia berkutat dengan
Setelah kedua anak buahnya meninggalkan ruangannya, Sean langsung memasukkan ponsel dan flashdisk tersebut ke dalam jasnya di saku yang berbeda. Ia akan memeriksanya nanti setelah tumpukan map di hadapannya selesai diperiksa. Tentu saja, agar fokus pikirannya tak terbagi.Tak sampai satu jam, lelaki itu sudah selesai memeriksa tumpukan mapnya. Sean menghela napas lega dan puas. Ia sudah memisahkan beberapa map yang menurutnya penting dan catatannya disatukan dalam map terpisah. Tangan Sean kembali menekan tombol telepon kabel di sudut meja kerjanya.“Pak Sadin, kita berangkat sekarang! Sebaiknya pakai supir saja, ada yang harus kita bahas selama dalam perjalanan ke hotel itu,” perintah Sean lantang.“Baik, Tuan. Saya akan panggil supir,” sahut pak Sadin dari ba
David bangkit dari duduk nyamannya. Ia lantas menerima uluran tangan Sean dan menjabatnya dengan cepat. “Tentu saja, Sean. Tolong jangan sungkan karena saya juga tidak akan segan padamu,” ujarnya seraya melepaskan uluran tangannya.Keduanya lantas saling bertukar senyuman lebar, tetapi berbeda dengan tatapan keduanya yang dipenuhi intimidasi. Beberapa orang yang ada ruangan depan lobi itu seolah merasakan ketegangan yang diciptakan kedua orang itu. Tuan David menunjuk sofa di samping Sean, memberi isyarat pada lelaki muda nan tampan itu untuk duduk.“Silahkan duduk!” ucapnya santun.Sean menaikan satu ujung alisnya. Ia kemudian menoleh pada lelaki yang berdiri di samping pak Sadin. Bukankah lelaki itu pemilik gedung developer itu, jadi seharusnya dia lah yang mempersilahkan dirinya untuk duduk, bukan tuan David.“Ah, silahkan duduk, Tuan Sean! Sa—saya akan buatkan kopi untuk Tuan,” ucapnya sedikit gagap.“Terima kasih, Pak Deka. Tolong buatkan untuk Pak Sadin juga,” sahut Sean santai.
Tentu saja Sean tersentak dan menoleh pada tuan David. Ia hampir kehilangan kesabarannya. Sean tahu siapa yang dimaksud lelaki tua itu.Belum sempat Sean bereaksi, lelaki itu sudah berjalan meninggalkan dirinya. Pak Sadin langsung memegangi pundaknya, hingga kesadaran Sean langsung kembali. Ya, ia harus fokus pada masalah di depannya dulu. Tuan David hanya mencoba memprovokasinya.“Tuan Sean!” panggil pak Sadin kembali menyadarkan dirinya.Sean menghela napas panjang. Ia merenggangkan ikatan dasinya dengan menariknya sedikit, kemudian membuka kancing kerahnya. Lelaki pemilik gedung itu langsung menundukkan wajahnya kikuk di hadapan Sean. Mungkin ia mengira Sean akan meledakan emosinya padanya.“Duduklah! Saya menuntut penjelasan Anda!” titah Sean kesal. “Anda tahu ‘kan resikonya membatalkan semua perjanjian dengan saya? Apalagi saya sudah melunasi semua pembelian tanah itu,” geramnya.Kedua bibir pak Deka gemetar. Mungkin ia baru melihat tatapan kemarahan Sean. Padahal Sean lebih muda
Bibir pak Deka bergetar mengiringi kepergian Sean. Kemudian indera penglihatannya langsung dialihkan pada cangkir kopi yang belum disentuh oleh tamunya. Ancaman Sean berhasil menciptakan keringat dingin di wajahnya.Sementara Sean yang sudah memasuki mobilnya dengan tatapan penuh percaya diri langsung mendapatkan senyuman dari pak Sadin yang sudah di sampingnya. Tampaknya lelaki itu tak perlu menjelaskan rencananya pada asistennya. Mungkin, lelaki paruh baya berkacamata bulat itu adalah seorang cenayan yang bisa menebak jalan pikiran Sean.“Saya sudah meminta pak Dirman, mandor yang berada di sana untuk mengumpulkan warga yang berdemo,” lapor pak Sadin, kemudian ia menoleh pada lelaki yang duduk di kursi kemudi. “Kita ke hotel dulu, Pak!” titahnya pada si supir.
Sean tersenyum puas. Warga saling bersahutan, hingga akhirnya terdiam dan menerima penjelasan CEO muda pemilik hotel tersebut. Pak Sadin, tiba-tiba mendekati dirinya dan menunjukkan ponselnya, hingga membuat Sean terdiam sejenak.Lelaki beriris keperakan itu menghela napas panjang. Pesan yang ditunjukan pak Sadin hampir membuatnya tersentak. Namun, ia berhasil menguasai dirinya untuk lebih tenang dan kembali tersenyum.“Satu hal pasti dan harus Bapak-bapak dan Ibu-ibu ketahui, saya sudah melunasi semua tanah yang akan saya bangun ini. Semuanya sudah selesai ke proses alih nama, karena itulah saya terkejut, tiba-tiba mendengar kabar, ada pemilik tanah yang membatalkan proses jual beli tersebut padahal saya sudah membayar lunas,” ungkap Sean tegas.Fokus Sean kembali pada layar proyektor di belakangnya yang menampilkan dirinya dan beberapa warga di dalam sebuah ruangan. Sebuah foto yang bergantian menunjukan beberapa warga dengan memegang sebuah sertifikat. Para warga saling menunjuk wa