Sean langsung mengangguk. Memang tak perlu ada yang ditutupi dari gadis kecilnya. Zia berhak terlibat dengan kejadian yang dialami ibunya.
Mereka berdua langsung disambut senyuman lebarnya Resa, ketika pintu ruangannya terbuka. Tentu saja Sean membalas senyuman calon ibu mertuanya. Ia langsung duduk di kursi samping ranjang rawatnya Resa.
“Bagaimana keadaan Bu Resa?” tanya Sean berbasa basi.
“Ya seperti inilah, Tampan,” jawabnya seraya memasang wajah sedih.
Zia menatapnya sebal. Ia tahu betul ibunya sengaja memasang ekspresi sedih. Alasan itu juga ia berada di ruangan tersebut, berjaga-jaga kalau ibunya berbuat macam-macam pada Sean.
“Tidak apa-apa, nanti juga pasti akan segera pulih lagi. Dokter bilang kalau bahu Bu Resa mengalami cedera ringan dan harus menjalani beberapa pengobatan serta terapi agar segera pulih,” jelas Sean mencoba menenang
“Bu Resa, bolehkan saya bertanya sebagai seorang anak pada ibunya?” tanya Sean setelah wanita paruh baya di hadapannya melepaskan jabatan tangannya.Resa memutar kedua bola matanya dan menatap Sean sedikit curiga. Kemudian ia menatap ke arah pintu di depan ranjangnya. “Kamu ingin bertanya tentang Zia?” tanyanya.“Bukan tentang Zia, tetapi tentang Anda?” jawab Sean lugas.Wanita paruh baya itu terdiam sebentar. Ia lantas memasang wajah berpikir. Kemudian ia menatap raut wajah Sean yang tampak serius menunggu jawabannya.“Oke, silahkan tanyakan saja! Tapi aku nggak yakin kalau nanti jawabanku akan membuatmu puas,” sahutnya santai, tetapi Sean dapat menangkap jelas garis kecemasan di wajahnya Resa.Sean menarik napas sebentar. Ia melemaskan otot tubuhnya dengan mengatur posisi duduknya senyaman mungkin. Sepertinya pembicaraan mereka nantinya akan sedikit berat.“Jika lima tahun lalu, Zia mengetahui pekerjaanmu, bagaimana perasaan Bu Resa saat itu?” tanya Sean pelan.Resa menoleh. Pertan
Resa terdiam. Sean berhasil menyentuh hatinya. Setetes air bening meluncur dari kedua sudut netranya. Namun, wanita paruh baya itu langsung mengusap air matanya cepat. Kemudian ia berdeham keras untuk menghilangkan perasaan syahdunya.“Apa kamu sudah selesai dengan bualanmu?” tanyanya sedikit ketus. “Jika sudah selesai, sebaiknya kamu pulang saja! Jangan lupa, pastikan kamu menemukan ponselku!”“Bu Resa?”“Cukup! Aku akan menganggapnya kamu sedang merayuku agar aku mau menyerahkan semua informasi yang aku punya padamu! Jadi pergilah sekarang sebelum aku berubah pikiran!” sentak Resa.Sean tahu kalau Resa hanya sedang berusaha menutupi hatinya yang sudah tersentuh. Ia memang kecewa karena wanita paruh baya itu benar-benar keras hatinya, tetapi setidaknya ia tahu Resa tersentuh. Lelaki itu pun memilih bangkit dan mengikuti ucapan ibu dari gadi
Zia tak berniat untuk berpamitan pada Resa saat Sean keluar dari kamar rawat Resa. Gadis itu masih tak bisa menahan rasa kesalnya pada ibunya. Ya, Sean tak bisa memaksanya. Lelaki itu menugaskan anak buahnya yang lain untuk menjaga Resa di rumah sakit. Sementara ia harus kembali ke mansionnya bersama Zia. Tentu saja, atas pengetahuan gadis kecilnya. “Kamu tidak ingin bertanya pada saya?” tanya Sean setelah mereka meninggalkan rumah sakit dengan mobilnya. “Bertanya apa?” tanya Zia dengan nada lemas. Sean menoleh pada gadis kecilnya yang langsung terdiam dan menundukkan wajahnya. “Memangnya kamu tidak penasaran apa yang saya bicarakan dengan ibumu?” ucapnya. “Bisa di skip nggak pembahasannya? Aku nggak tertarik,” jawabnya malas. Lelaki itu tertawa kecil. Tentu saja Zia langsung menoleh. Ia bahkan mengerutkan dahinya, menyadari Sean belum berniat mengakhiri tawa kecilnya. “Memang ada yang lucu?” tanya Zia dengan tatapan kesal. “Ada. Itu adalah jawaban ibumu saat saya bertanya pada
“Tuan. Saya menerima laporan kalau Resa gagal kami singkirkan,” ucap seorang lelaki berpakaian serba hitam menunduk dengan suara penuh ketakutan.Lelaki paruh baya yang tengah memakai piyama kimono putih dan menghadap ke arah jendela ruang kerjanya langsung membanting gelas wiski yang sedari tadi berada dalam genggamannya. Suara pecahan beling terdengar nyaring, seiring hancurnya gelas tebal tersebut. Cairan wiski langsung menggenang mengelilingi pecahan kaca dan es batu yang menjadi pendingin minuman tersebut.“Bodoh kalian! Hanya menghadapi satu wanita jalang saja tidak becus!” murka lelaki itu seraya memutar tubuhnya.Dia adalah David Handoko, ayahnya Agnes. Lelaki itu langsung berjalan cepat menghampiri anak buahnya yang memberikan laporan tadi. Tangan kekarnya langsung mencengkram rahang bawah lelaki itu dan menyalurkan tenaganya ke sana.“A—ampun, Tuan. Ada laporan lain lagi yang harus saya sampaikan,” gagapnya penuh ketakutan dan menahan rasa sakit dari cekikan David.“Apa lapo
Lelaki itu langsung menghampiri pintu depan rumahnya yang baru saja terbuka. Wajah Agnes terlihat lesu dan menahan kesal. David mengatur napasnya agar tak terlihat tengah cemas. Tentu saja, ia harus mengetahui dahulu tujuan anak gadisnya menemui Resa dan berharap wanita itu tak membongkar keburukannya pada Agnes.“Sayang, kamu baru pulang jam segini?” tanya David berbasa basi.“Eum, Papi belum tidur?” Agnes membalas bertanya tanpa menjawab pertanyaan ayahnya dulu.David menghampiri Agnes yang makin memasang wajah lesu. Ia lalu merangkul anak gadisnya yang langsung menggelayut manja.“Mau Papi gendong ke kamar?” tawar David menggoda.“Ih, Papi emangnya aku anak kecil.” Agnes memasang wajah merajuk kemudian melepaskan sandaran tubuhnya dari ayahnya.“Kalau begitu cerita dong sama Papi! Kenapa anak kesayangan
“Paman!” panggil Zia saat Sean baru saja menghentikan mobilnya di garasi mobil mansionnya.“Ada apa, Gadis Kecil?” tanya Sean seraya menarik tuas rem tangannya, kemudian menoleh pada Zia.Tiba-tiba Zia tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepalanya. “Nggak jadi deh,” ucapnya membuat Sean penasaran.Sean berdesis heran. Ia mengerutkan dahinya menunjukkan rasa heran dan penasarannya. Zia sepertinya sengaja membuatnya penasaran.“Jangan buat saya penasaran! Kamu tahu ‘kan kalau saya—““Tahu! Paham akan langsung menghukumku,” sahut Zia memotong ucapan Sean. “Ada banyak yang aku pikirkan setelah bertemu ibuku, tetapi aku memilih percaya padamu, Paman.” Zai langsung mengulum senyum.“Masuk yuk!” ajaknya seraya mengalihkan perhatian Sean yang terus menatapnya.Kedua
Gadis kecil itu langsung mengalungkan kedua lengannya pada leher Sean. Lelaki itu tak tinggal diam, ia menangkap pinggang gadis kecilnya dan mengangkat tubuh Zia yang terasa ringan hingga membawa kaki melingkari pinggangnya. Kedua saling bertukar senyuman menggoda.Tak ingin menunggu lama, keduanya langsung menautkan bibirnya. Saling membalas lumatan hangat dan saling merasakan sensasi panas dalam tubuhnya. Tanpa melepaskan tautan bibirnya dari Zia dan menurunkan tubuh gadis kecilnya, Sean berjalan perlahan menuju pintu keluar garasi mobilnya.Seolah tak ingat waktu dan tempat, ia selalu merasa belum puas tanpa melumat bibir gadis kecilnya. Bibir gadis kecilnya terasa bagaikan candu untuknya yang tak akan bisa ia jauhi. Namun, hanya pada Zia lah ia berani melakukannya dan pada Zia juga lah ia melabuhkan cintanya.Tak akan ada gadis kecil yang lagi dalam hatinya selain Zia. Begitu juga yang Zia rasakan, walaupun sebelumnya ia merasa ragu dan takut menyerahkan tubuhnya pada Sean. Dahulu
Zia terdiam. Ia melirik Sean dan menatapnya bingung, hingga bi Asti menurunkan tangannya dari kedua pipi Zia dan mengikuti arah tatapan gadis itu. Wanita paruh baya itu menunggu Sean menjawab pertanyaannya.“Tuan Sean tahu ‘kan kalau sampai pak Sadin tahu, Tuan pergi malam-malam tanpa pengawalannya, bisa-bisa lelaki tua itu marah besar,” ucap bi Asti dengan nadanya yang mulai kesal. Mungkin karena tak ada jawaban dari mereka berdua.Kedua bola mata Sean langsung membulat sempurna. Kemudian ia menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan curiga dan menahan rasa takut. “Bi Asti, belum ngadu sama pak Sadin ‘kan?” tanya Sean dengan tatapan cemas dan penuh harap.“Kenapa? Tuan Sean takut kena marah pak Sadin?” sindir wanita paruh baya itu menahan kesal.“Bi Asti, saya serius. Pak Sadin itu—““Tenang saja, Tuan Sea