“Paman!” panggil Zia saat Sean baru saja menghentikan mobilnya di garasi mobil mansionnya.
“Ada apa, Gadis Kecil?” tanya Sean seraya menarik tuas rem tangannya, kemudian menoleh pada Zia.
Tiba-tiba Zia tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepalanya. “Nggak jadi deh,” ucapnya membuat Sean penasaran.
Sean berdesis heran. Ia mengerutkan dahinya menunjukkan rasa heran dan penasarannya. Zia sepertinya sengaja membuatnya penasaran.
“Jangan buat saya penasaran! Kamu tahu ‘kan kalau saya—“
“Tahu! Paham akan langsung menghukumku,” sahut Zia memotong ucapan Sean. “Ada banyak yang aku pikirkan setelah bertemu ibuku, tetapi aku memilih percaya padamu, Paman.” Zai langsung mengulum senyum.
“Masuk yuk!” ajaknya seraya mengalihkan perhatian Sean yang terus menatapnya.
Kedua
Gadis kecil itu langsung mengalungkan kedua lengannya pada leher Sean. Lelaki itu tak tinggal diam, ia menangkap pinggang gadis kecilnya dan mengangkat tubuh Zia yang terasa ringan hingga membawa kaki melingkari pinggangnya. Kedua saling bertukar senyuman menggoda.Tak ingin menunggu lama, keduanya langsung menautkan bibirnya. Saling membalas lumatan hangat dan saling merasakan sensasi panas dalam tubuhnya. Tanpa melepaskan tautan bibirnya dari Zia dan menurunkan tubuh gadis kecilnya, Sean berjalan perlahan menuju pintu keluar garasi mobilnya.Seolah tak ingat waktu dan tempat, ia selalu merasa belum puas tanpa melumat bibir gadis kecilnya. Bibir gadis kecilnya terasa bagaikan candu untuknya yang tak akan bisa ia jauhi. Namun, hanya pada Zia lah ia berani melakukannya dan pada Zia juga lah ia melabuhkan cintanya.Tak akan ada gadis kecil yang lagi dalam hatinya selain Zia. Begitu juga yang Zia rasakan, walaupun sebelumnya ia merasa ragu dan takut menyerahkan tubuhnya pada Sean. Dahulu
Zia terdiam. Ia melirik Sean dan menatapnya bingung, hingga bi Asti menurunkan tangannya dari kedua pipi Zia dan mengikuti arah tatapan gadis itu. Wanita paruh baya itu menunggu Sean menjawab pertanyaannya.“Tuan Sean tahu ‘kan kalau sampai pak Sadin tahu, Tuan pergi malam-malam tanpa pengawalannya, bisa-bisa lelaki tua itu marah besar,” ucap bi Asti dengan nadanya yang mulai kesal. Mungkin karena tak ada jawaban dari mereka berdua.Kedua bola mata Sean langsung membulat sempurna. Kemudian ia menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan curiga dan menahan rasa takut. “Bi Asti, belum ngadu sama pak Sadin ‘kan?” tanya Sean dengan tatapan cemas dan penuh harap.“Kenapa? Tuan Sean takut kena marah pak Sadin?” sindir wanita paruh baya itu menahan kesal.“Bi Asti, saya serius. Pak Sadin itu—““Tenang saja, Tuan Sea
Resa masih terjaga dalam ranjang rawatnya. Setelah kepergian Sean dan anak gadisnya, ia kesulitan memasuki alam mimpi. Pikirannya tak bisa tenang.“Aku tidak seharusnya melakukan perjanjian dengan CEO tampan itu,” gumannya dengan wajah cemas. “Jangan sampai David tahu kalau aku sudah bertemu dengan CEO tampan itu.” Wajahnya makin panik.Wanita paruh baya itu, lantas memaksakan tubuhnya untuk bangkit. Namun, rasa ngilu dan nyeri pada bahu kanannya tak tertahankan. Ia meringis menahan sakit yang makin menjadi.“Ah, sial! Kenapa juga aku harus terluka. Nggak bisa kabur ‘kan?” gerutunya.Pintu kamar rawatnya terbuka setelah ia selesai menggerutu. Seorang lelaki berpakaian hitam menghampirinya dan langsung menatapnya cemas. Sontak saja wanita paruh baya itu langsung membulatkan kedua bola matanya.“Apa yang terjadi, Bu? Apakah Ibu memerl
“Maaf, Bu, saya nggak berani,” sahut perawat itu sungkan. “Tugas saya hanya merawat pasien,” imbuhnya. Untunglah perawat itu sudah selesai mengoleskan krim tersebut. Ia lantas kembali memasangkan kancing baju rawatnya Resa. Tiba-tiba tangan wanita itu meraih tangan perawat itu erat. “Sus, tolong saya! Saya harus keluar dari rumah sakit ini.” Resa memohon seraya memegang erat tangan perawat itu. Kemudian ia melirik ke arah pintu yang tertutup rapat dengan tatapan cemas. Perawat itu pun mengikuti arah tatapan Resa. Wanita itu memasang wajah memelas. “Sebenarnya saya dalam kesulitan. Suster pasti tahu ‘kan di depan kamar rawat ini ada dua orang yang mengawal dan menjaga ruangan ini,” akunya dengan wajah makin memelas. “Mereka menawan saya karena saya adalah saksi kejahatan mereka. Saya tidak bisa terus bersembunyi, Sus. Saya harus mengungkapkan kebenaran dan satu-satunya cara adalah kabur dari mereka. Tolong saya, Suster!” Perawat itu langsung mengatupkan mulutnya. Wajahnya benar-ben
“Bi Asti, Zia masih tidur?” tanya Sean saat ia menuruni anak tangga dan melihat asisten rumah tangganya baru saja keluar dari kamar gadis kecilnya.Hampir saja suara Sean yang pelan mengejutkan dirinya. Wanita berambut putih dan hitam itu menoleh ke arah majikannya. Ia tersenyum kecil sebagai sapaan untuk Sean.“Iya, Tuan. Sepertinya nona Zia sangat kelelahan dan banyak pikiran. Saya tidak berani membangunkannya untuk sarapan,” jawab bi Asti santun. “Tuan, mau sarapan sekarang?” tanyanya.“Tolong bungkus saja ya, Bi! Saya sarapan di jalan saja ... sepertinya saya sedikit kesiangan,” titah Sean seraya menatap jam tangan mewahnya.“Baik, Tuan,” sahut Asti santun.Kemudian ia langsung bergegas menuju dapur. Sementara Sean memilih memasuki kamar gadis kecilnya. Tentu saja gadis itu pasti kurang tidur, sama seperti dirinya. N
Tentu saja, Sean tak akan tega. Wajah menggemaskan Zia terlalu menggoda dirinya dan tak akan sanggup untuk menjauh. Gadis kecilnya tertawa kecil dalam pelukannya, kemudian ia melepaskan pelukan lelaki yang sudah rapi dengan jas kerjanya.Zia memandangi Sean selama beberapa detik, sebelum memberikan senyuman yakinnya. Ia pun merapikan jas kerja Sean dan berhenti pada dasinya. Tentu saja, ia merapikan dasinya juga.“Janji yah, jangan pulang larut!” pesannya diakhiri senyuman tulusnya.“Saya akan usahakan untuk pulang cepat,” sahut Sean lembut.Kemudian ia mendaratkan ciuman pada kening gadis kecilnya setelah Zia selesai merapikan dasinya. Senyuman Zia makin mengembang sempurna. Pagi yang indah untuk keduanya.“Saya berangkat dulu, yah! Lanjutin lagi tidurnya, kamu harus banyak istirahat,” pesan Sean seraya bangkit dari duduknya.
“Atur kunjungan saya ke Bogor! Saya akan menemui developernya tanpa pemberitahuan dan kumpulkan semua berkas tentang pembangunan hotel itu!” titah Sean pada pak Sadin sebelum ia memasuki ruang kerjanya.“Baik, Tuan,” sahut pak Sadin cepat.Langkah Sean terhenti saat ia sudah mendorong pintu ruangannya. Ia menoleh pada asistennya yang masih sigap berdiri di sampingnya. “Saya lupa, lakukan kunjungannya setelah jam makan siang. Jika Aldi datang, suruh dia langsung menemui saya. Kita langsung pergi setelah Aldi datang,” pesannya lugas.“Tentu, Tuan,”Sean tersenyum puas pada pak Sadin, kemudian ia langsung melangkah memasuki ruang kerjanya. Lelaki tampan itu memijat pelipis alisnya seraya berjalan menuju meja kerjanya. Ia lalu menghirup napas panjang setelah berada di depan meja kerjanya, dan langsung duduk bersandar sembari menghembuskan napas panjangnya.“Sepertinya saya akan pulang larut lagi,” guman Sean memasang wajah kesal, seraya merogoh saku jas dalamnya untuk mengeluarkan ponseln
Setelah mendapatkan anggukan dari Sean, pak Sadin langsung berbalik dan meninggalkan ruangan kerjanya. Sementara lelaki itu langsung fokus pada tumpukan map di hadapannya. Setiap lembar map tersebut tak luput dari perhatiannya.Sean tak boleh melewatkan semuanya. Ia harus memastikan semua rencana berjalan dengan lancar dan mengumpulkan semua bukti agar developer tersebut tak bisa membatalkan perjanian sesuka hatinya. Lelaki tampan itu bisa saja langsung mendatangi tempat hotel barunya yang sedang dalam proses pembangunan itu dan meminta pertanggungjawaban pihak developer itu, tetapi ia lebih baik mempersiapkan segalanya agar bisa menuntutnya secara hukum.Ya, sesiap itu Sean dalam menyiapkan segalanya. Ia bisa saja tinggal memberi perintah pada pak Sadin dan anak buahnya yang lain, tetapi Sean lebih suka memeriksanya sendiri. Dengan cara itu juga, ia bisa melihat perkembangan semua hotel miliknya.Lama ia berkutat dengan