Suara ketukan pintu menghentikan lumatan hangat Sean dari bibir. Wajah langsung berubah cemas, sedangkan gadis kecilnya terlihat tegang, hingga ia refleks membuka matanya yang sedari terpejam menikmati lembutnya lidah Sean. Indera penglihatannya langsung menangkap wajah cemas lelaki tampan di hadapannya.Sean langsung meletakkan telunjuknya pada bibirnya. Isyarat agar Zia berdiam diri dan tak bertanya. Kemudian lelaki itu menggerakkan kedua bola matanya ke sebelah kanan. Itu juga isyarat agar gadis kecilnya bergeser ke arah tersebut.“Pelayanan kamar, Tuan,” ucap suara di balik pintu setelah ketukan pintu terdengar lagi.Tangan Sean merapikan piyamanya, memastikan tubuhnya terlindungi sebelum membuka pintu kamarnya. Seingatnya, ia tak meminta seseorang datang menemuinya. Tentu saja, ia sedikit cemas.Terlihat seorang pegawai wanita hotelnya dengan troli makan di sampingnya. Ya, Sean mengenali seragam pegawainya tengah tersenyum ramah padanya. Sean membaca nama tag pada baju tersebut,
Tubuh pelayan wanita itu langsung melorot turun dan bersimpuh di hadapan kaki Sean. Tubuhnya makin bergetar hebat hingga air matanya langsung tumpah membasahi wajah ketakutannya. Sean bahkan tak menunjukkan rasa iba dan segera bergerak menuju meja nakas di dekat pintu. Ia lalu meraih gagang telepon kabel di sana dan menekan sebuah angka sebelum berbicara.“Ampuni saya, Tuan! Saya tidak tahu apa-apa,” pelayan itu memohon belas kasihan dari Sean.Sean tak melirik pelayan wanita itu. Ia lalu menoleh pada Zia. “Gadis Kecil, kamu bisa mengawasi pelayan itu? Saya harus mengganti pakaian saya,” pintanya.“Tentu saja,” sahutnya diikuti senyuman tipisnya.Wajah Zia melemas. Rencananya menghibur pamannya berakhir dengan rasa kesal dan cemas. Ia tak menyangka karyawan Sean berkhianat, padahal lelaki itu sedang tersandung masalah. Gadis itu menatap pelayan wanita itu yang terus terisak menangisi nasibnya.“Berhentilah menangis! Tuan Sean pasti muak denganmu,” ketus Zia pada pelayan itu.“Nona, t
Sean mendesis kesal. Ucapan pelayan itu semakin membuat amarahnya memuncak. Bagaimana tidak, kehadirannya saja yang bisa memasuki ruangan rahasianya sudah membuatnya marah, ditambah membawa kamera pengintai. Kemudian sekarang pelayan itu berkilah dengan alasan yang membuatnya makin muak.Lelaki itu membawa tubuhnya bergerak turun ke bawah. Sean berjongkok menghadap pelayan wanita itu dan menatapnya tajam, penuh kebencian. Tangisan pelayan itu mendadak terhenti dan wajahnya langsung tertunduk menghadap lantai.“Tidak usah pura-pura tidak tahu, Nona! Membawa kamera pengintai saat bekerja saja itu adalah kesalahan besar, kamu bahkan berani memasuki ruang rahasia saya. Itu adalah kesalahan yang tak akan pernah bisa saya toleransi,” Sean memberikan penekanan pada setiap katanya. “Saya tidak peduli siapa orang yang berada di belakangmu dan seberapa kuat orang tersebut, hingga berani mengusik kehidupan saya. Katakan padanya, kalau
Wajah Zia tampak tak berdaya. Ia tak bisa mengartikan tatapan tajamnya Sean. Kemudian lelaki itu berjalan mendekat padanya dengan cepat.Tentu saja Zia refleks memundurkan langkah kakinya cepat. Ia yakin Sean sedang mencurigainya. “Pa—paman apa yang mau kamu lakukan?” gagap Zia hingga menghentikan langkah Sean.Tunggu! Sean menghentikan langkah kakinya bukan karena ucapan Zia, tetapi ia terhenti di samping paper bag yang dibawa gadis kecilnya. Lelaki itu lantas berbalik membelakangi Zia dan berjalan santai menuju sofa dengan menjinjing paper bag tersebut. Zia mengerutkan dahinya heran.“Paman?” tanyanya bingung.“Saya tidak mencurigaimu, hanya saja saya bingung denganmu,” jawab Sean seraya mengeluarkan isi paper bag tersebut. “Bingung kenapa?” tanya Zia mengikuti langkah pamannya dan duduk di sofa yang sama dengan Sean.“Kenapa kamu mengatakan pada dua penjaga keamanan tadi kalau kamu adalah penulis biografi saya? Padahal saya akan menjawab kalau kamu itu pacar saya,” jawab Sean sant
Tidak sia-sia pengalaman menulisnya, pikir Zia. Cerita romansanya dulu memang khayalannya saja dan beberapa hasil survei dan riset dari berbagai drama romantis. Ia sendiri tak menyangka kalau pemikirannya akan diterapkannya dan langsung berhasil.“Baiklah, saya percaya ucapanmu kalau kamu belum pernah mencium lelaki lain selain saya,” jawab Sean seraya kembali meraih kotak bekal yang ia jatuhkan tadi.“Kenapa bisa begitu?” Zia memasang wajah penasaran.Sean menoleh dan menatap lekat pada kedua netra gadis di sampingnya. “Karena saya juga belum pernah mencium gadis lain selain kamu,” jawabnya.Wajah Zia memerah. Sean langsung tersenyum menyadari gadis kecilnya tersipu malu. Ia lalu kembali fokus pada kotak bekal di tangannya dan membukanya.“Aku yang masak, Paman,” ucap Zia saat Sean sudah membuka kotak bekal pemberiannya. “Pas
Sontak saja wajah Zia langsung memerah bagaikan kepiting rebus. Tangan Zia refleks meraih bantal sofa di samping kanannya dan melayangkan pukulan pada Sean. Lelaki itu hanya tertawa dan tak melawan dari pukulan gadis kecilnya. Sean hanya melindungi wajahnya dengan tangannya. Pukulan Zia terhenti. Suara ketukan pada kamar tersebut kembali terdengar. Mereka berdua langsung bertukar pandang dengan tatapan cemas. “Saya pak Sadin, Tuan,” Suara dari balik pintu langsung membuat wajah keduanya berubah tenang. Sean langsung bergegas bangkit dari duduknya. Namun, lelaki itu memasang wajah heran. “Bagaimana pak Sadin bisa ke sini? Pasti saya tidak akan bisa istirahat,” keluhnya seraya berjalan menuju pintu. Ya, pak Sadin pasti akan langsung menindak masalah tersebut hingga tuntas. Bahkan asisten pribadinya lebih tegas darinya jika menyangkut keselamatan dirinya. Lelaki itu lantas memilih keluar dari kamar tersebut menemui pak Sadin. “Ada apa, Pak Sadin?” tanya Sean setelah ia menutup rapa
“Keluarlah, Gadis Kecil! Nanti kamu sakit jika terus di dalam,” Pintu kamar mandi terbuka kembali, gadis kecilnya kini sudah memakai baju yang dikenakannya tadi. Akan tetapi baju tersebut hampir semuanya basah. Mungkin gadis itu tak sempat mengelap tubuhnya dengan handuk.Bahkan dari ujung rambutnya, masih terlihat tetesan air berjatuhan. Wajahnya tertunduk, menyembunyikan sensasi panas yang hampir membakar tubuhnya. Deru napasnya tampak tak beraturan.“Pa—paman, aku ...,” uacapan Zia gagap dan terhenti. “..., aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Rasanya aneh sekali,”Sean menatapnya pilu melihat wajah bingung Zia yang terus tertunduk. Ia lalu membawa tubuh gadis kecilnya dalam pelukannya. Gadis itu langsung mendekap erat tubuh Sean seraya memejamkan kedua bola matanya.Aroma tubuh Sean serasa menenangkan dirinya. Perasaan aneh dan sensasi panas pada tubuhnya makin meninggi. Tanpa disadari, Zia menghirup lembut aroma tubuh Sean.Belum tuntas ia menyelesaikan hirupannya, Sean langs
Sean hanya bisa menggelengkan kepalanya. Hatinya terasa sakit melihat gadis kecilnya seperti kesakitan. “Kamu pasti bisa bertahan, Gadis Kecil!” ucap Sean memberikan keyakinan. Zia langsung memalingkan wajahnya dari Sean. Ia mulai gelisah dan frustasi. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, hingga napasnya seperti tercekik. Gadis itu mengerang kesakitan hingga membuat Sean panik dan mendekatinya. “Gadis Kecil, apa yang terjadi padamu?” tanya Sean seraya meraih kedua pundak Zia. Aroma tubuh Sean makin menggodanya. Ia langsung berbalik dan memeluk tubuh lelaki itu. Sean terlalu terkejut dengan pelukan gadis kecilnya, hingga tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Ia terjatuh ke tepi ranjang dengan posisi mendekap tubuh Zia. “Maafkan aku, Paman,” sesal Zia. Entah apa yang disesalkan Zia. Gadis itu justru meletakkan kepalanya pada dada Sean seraya merasakan aroma tubuh Sean