“Sudah kuduga. Rasanya tubuhku menjadi panas dan gelisah sehabis meminum itu. Apakah minuman itu dicampur obat perangsang?” Darline sampai menoleh ketika Hayden mengatakan hal itu pada si penelpon. Dia bertanya-tanya minuman apa yang Hayden minum yang bercampur obat perangsang? Melihat Darline menoleh dan seakan ingin tahu terhadap percakapannya, Hayden menekan tombol speaker dan suara Gael pun terdengar jelas. “Iya, Bos. Dari rekaman kamera CCTV terlihat salah satu keponakan Anda menaruh sebungkus obat di minuman itu. Lalu dia menitipkannya pada pelayan. Hanya saja, tak lama kemudian, pelayan dipanggil untuk melayani tamu dan dia meninggalkan minuman di meja dapur. Saat itulah, Boss datang dan menanyakan minuman yang bisa Boss minum dan pelayan menunjuk ke arah dapur. Mungkin Boss salah mengira minuman mana yang ditunjuknya sedangkan pelayan itu pun sedang buru-buru pergi, sehingga Boss malah meminum wine yang berisi obat. Setelah boss pergi dari dapur dan pelayan itu kembali, d
Di ibukota ini, Hayden menempati unit penthouse dari apartemen yang dibelinya sebagai tempat tinggal selama dia mengurusi perusahaan di Indonesia. Apartemen itu sendiri menyasar kalangan kelas atas. Meski begitu, unit di lantai pertengahan merupakan unit yang lebih terjangkau untuk kalangan kelas menengah.Di situlah, Hayden menyewa untuk tempat tinggal Darline sementara ini.“Daripada susah payah mencari lagi di tempat lain, apalagi hari sudah malam. Lagipula aku mengenal seseorang yang menyewakan unit apartemen miliknya di lantai bawah. Aku tinggal menghubunginya lalu kunci bisa minta di manajer apartment.”itu alasan yang Hayden lontarkan agar Darline bersedia disewakan apartemen di lantai tengah. Padahal sebenarnya dia hanya ingin Darline tinggal berdekatan dengannya. Meskipun sementara, itu cukup berarti bagi Hayden.“Ini masih terlalu mewah, Paman,” elak Darline ketika mereka sudah mengambil kunci di manajer apartemen dan melihat isi dalam dari unit yang disewakan Hayden untukny
Lissa sampai mengucek matanya untuk memastikan isi pesan yang dikirimkan Willson padanya.Seharusnya dia sudah bisa memperkirakan bahwa tugasnya akan tiba di fase ini. Jadi, seharusnya dari awal Lissa sudah memperkirakan bahwa konspirasinya bersama Ringgo -menutupi kesalahan mereka mengenai wine yang terminum orang lain- pasti akan terbongkar juga.Willson meminta rekaman CCTV Darline bersama penjaga memasuki kamar yang sama dan bermalam di sana, baru keluar dari sana ketika pagi menjelang.Lissa kelabakan. Dia gegas mengambil ponsel dan menghubungi Ringgo.Ketika akhirnya Ringgo menjawab, Lissa gegas menyecarnya.“Ringgo! Kamu harus tolongin aku! Willson minta rekaman CCTV di paviliun tempat eksekusi rencana kita pada Darline. Kamu bisa kan, cariin, tapi kalau dapat, kamu lihatin dulu siapa yang bersama Darline. Laporin dulu ke aku, baru nanti aku kasih tahu lagi apa yang harus dilakukan selanjutnya. Bisa, kan?”Di ujung telepon ada jeda sejenak. Pria muda yang telah tinggal di villa
Sungguh sangat romantis sebenarnya. Tapi malah membuat DArline heran, sekaligus resah. Hayden menekan tombol B menuju basement sementara Darline masih menanti jawaban dari Pak Boss-nya itu. “Mas, kenapa bisa ke tempatku sih? Mas sengaja ya mau jemput-jemput aku ke kantor segala? Padahal semalam di chat katanya sampai ketemu di kantor.” Darline memanyunkan bibirnya mencibir pesan chat yang sangat berbeda dengan kelakuan pria itu pagi ini. “Sudah kubilang tadi, kan? Kebetulan mau ke kantor, jadi aku samperin dulu. Kali aja pas momennya. Dan eeeh, bener, kau juga baru mau berangkat. Jadi ya sama-sama saja!” Darline merasa tak percaya. Dia pun mendelik Hayden. “Masa sih? Kok aku nggak percaya ya?” “Terserah! Kalau nggak percaya ya terserah. Yang penting sekarang kita harus segera berangkat kantor! Oh ya, coba kulihat dulu bekas lebammu kemarin." Hayden tiba-tiba saja meraih dagu DArline dan mengarahkan wajah Darline ke arahnya. Ditelisiknya lekat hingga membuat DArline deg-deg-an, me
“Err ... Ng—nggak kok, Bu, saya dari pintu samping.”Terlalu gugup membuat Darline malah berbohong. Dia menyesalinya tak sampai sedetik kemudian.“Ah, Ibu lihat dengan jelas, kamu masuk dari pintu belakang. Pake nengok kanan kiri lagi, kayak takut terlihat orang. Kamu datang dengan siapa memangnya?”“Errr, itu, annuu ...” Darline semakin gugup hingga, apalagi tatapan Bu Alma semakin lekat menelisik wajahnya, mencari kejujuran di sana.Tak sanggup dipandangi seperti itu oleh atasannya yang Darline yakin berusia di pertengahan tiga puluhan, Darline pun menunduk sambil menjawab lirih, “Iya, Bu, tadi dari pintu belakang soalnya ...”Saat itulah ide baru pun muncul. Darline menambahkan, “Soalnya tadi Bapak sempat manggil saya pas mobilnya lewat mau ke parkiran. Jadi, saya samperin dulu.”“Oh ... ya kalau begitu, kenapa harus bilang dari pintu samping tadi! Kamu ini!”Darline yang mendapat ceramah dari Bu Alma hanya tersenyum malu. Sekali lagi, dia mendapatkan delikan tajam -yang kali ini j
Masih ada waktu sekitar lima belas menit sebelum pukul lima petang. Karena semua pekerjaannya sudah beres, tidak ada lagi surat masuk yang urgent yang perlu segera ditelaah Pak Boss, maka Darline pun membereskan tasnya dan meletakkan tas di atas meja kerjanya yang juga sudah rapi dan bersih.Tidak ada apa-apa di atas mejanya kecuali tas-nya.Darline pun duduk sambil memikirkan apa yang akan dia lakukan selepas pulang kerja.Agendanya sore ini adalah mendapatkan beberapa pakaian rumah, tidur, serta kerja yang masih tertinggal di rumahnya.Tadinya, Darline ingin membeli saja, tapi setelah dipikir-pikir, dia sedang membutuhkan uang dan belum gajian. Daripada membeli lebih baik mengambil yang tertinggal di rumah.Teringat olehnya bahwa jendela kamar terbuat dari kaca. Dan tidak ada terali kecil lagi di baliknya. Jadi, jika dipecahkan, dia akan bisa memasuki kamar dengan mudah.Lagipula, rumah itu sudah diambil rentenir, kenapa dia tak boleh merusaknya?Sedang berpikir, intercom-nya berbun
Sisa hari itu dilalui dengan sedikit perdebatan antara Darline dan Hayden. Hayden berkilah bahwa hukuman Darline adalah menemaninya sepanjang malam Jumat itu hingga sepanjang weekend, tapi Darline berkilah dia memiliki urusan pribadi yang harus dia kerjakan sepanjang weekend. Diberikan alasan urusan pribadi membuat Hayden merasa tertolak. “Memangnya urusan pribadimu itu apa sampai-sampai menghabiskan waktu sepanjang weekend? Kamu jangan bilang ingin mencari Willson sepanjang weekend ini!” Suaranya jadi terdengar berat dan penuh wibawa mewanti-wanti Darline. “Nggak lah, Mas. Ngapain aku mencari dia?!” kilah Darline. “Ya, siapa tahu? Cinta seringkali membuat buta!” Disinggung seperti itu, Darline kembali terlihat muram dan berdiam diri. Hayden merasa tak enak, lalu meraih dan menggenggam tangannya. “Sorry, aku bukan bilang kamu cinta buta padanya. Aku hanya menerka, masih ada sisa cinta di hatimu untuk Willson.” Darline menggeleng kecil lalu menoleh pada Hayden. “Nggak ada, Mas.
Sabtu pagi, Willson bersiap menuju villa Opa Ben.Dia mengenakan pakaian semi formalnya dan saat Laura Bella keluar dari toilet, Willson sedang menata rambut lalu menyemprot parfum di pakaiannya.“Kamu udah mau pergi ke Opa Ben, Will?” tanya Laura Bella yang membiarkan rambut panjangnya terurai di bahu lalu dengan handuk melilit tubuhnya dia mendekati Willson, memeluknya dari belakang.“Bell! Jangan membasahi bajuku,” kata Willson ketika merasakan percikan air dari rambut Bella.“Nggak! Handukku udah kering kok. Ini dari rambut, nggak akan membasahi bajumu. Tapi ...”Tangan Laura Bella merayap mengelus dada Willson di depannya. Bibirnya didekatkan ke telinga Willson lalu dia berbisik, “Apa kamu yakin Ringgo bisa dipercaya?”Willson menghela napasnya. Itu juga pertanyaannya pada Lissa waktu itu. Namun, Lissa sudah meyakinkannya bahwa masih lebih baik Ringgo daripada membayar penjaga untuk berbohong.Willson sempat terkejut saat itu. “Kenapa harus membayar penjaga untuk berbohong? Kalia