"Bapak ingin saya menikahi Wina. Itu tidak mungkin Pak, saya sudah punya istri Pak. Tak mungkin saya menikah lagi dengan wanita lain, saya tidak mau menyakiti hati istri saya, Pak. Apa tak ada cara lain yang harus saya lakukan, selain ini Pak?" Firman begitu syok mendengar permintaan Pak Wiryo. Ini semua sungguh di luar keinginannya.Ditengah kekalutan yang dirasakan, ia memang merasa bersalah pada Pak Wiryo, tapi sebagai bentuk tanggung jawabnya apa harus dengan cara menikahi putrinya. Firman masih belum mengiyakan permintaan itu. Ia masih ingin bernegosiasi untuk mencari cara lain."Sa–Saya mohon, agar kamu mau menikah dengan Wina, dia sedang dalam masalah, saya sendiri rasanya ini sudah tak lama lagi." Lagi Pak Wiryo berkata terbata, kali ini dengan napas yang tersegal-segal."Pak! Bapak! Sudah Pak, jangan bicara begitu, Wina mohon." Melihat kondisi Pak Wiryo yang tiba-tiba sesak napas, Firman kembali mendekat."Pak, katakan apa yang harus saya lakukan, tapi tolong jangan paksa sa
"Baik, Mas saya akan panggil Pak Ustadz yang biasa menikahkan secara siri, dan juga saya panggil Pak RT ya, Mas," sahut Andi."Terimakasih banyak, Pak. Ini saya ada sedikit uang untuk ongkos Bapak bolak balik kemari pak." Firman menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah. Keduanya pun bergegas meninggalkan rumah sakit.Firman kembali mendekati Pak Wiryo. Melihat Wina yang masih tertunduk, di iringi suara isakan. Ia tak mampu membantah keinginan Bapaknya, juga merasa sedih meratapi nasibnya."Saya, akan penuhi permintaan Bapak, tapi saya mohon Bapak bertahan, ya Pak," bisik Firman.Pak Wiryo hanya tersenyum dan mengangguk pelan.Firman pun keluar ruangan itu, mendaratkan bobotnya di kursi ruang tunggu. Pikirannya melayang, mengapa semuanya jadi begini. Firman menyugar rambutnya. Lelah, rasanya ingin ia pergi dari tempat ini dan pulang ke rumah memeluk tubuh istrinya. Tapi rasa bersalah yang menghantui, menjadikannya seakan terpaku di sini mempertanggungjawabkan semua yang sudah
"Assalamualaikum, Bro.""Wa'alaikumsalam, Dimas, Alhamdulillah akhirnya lu sampai juga Bro. Thanks ya." Dimas sahabatnya itu, telah sampai di rumah sakit, ia memang tadi sempat menghubungi sahabatnya itu dan menceritakan semuanya."Iya, sama-sama. Gila lu, Bro. Gue satu aja belum, lu udah mau dua. Apa lu nggak mikirin gimana nanti Yunita, kasian dia Bro. Gue kalo jadi lu, udah gue kabur pergi aja daripada gue harus nikahin anaknya, Yunita itu cantik, baik, pinter, istri idaman banget pokoknya lah. Apa lu yakin?" Dimas yang baru datang karena diminta datang oleh Firman itu, langsung mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Dimas juga kenal baik sama Yunita, mereka pasangan yang sangat cocok dan serasi, bisa dibilang pasangan mereka membuatnya ingin memiliki istri idaman yang karakternya seperti istri sahabatnya ini.Firman hanya membuang napas kasar, bukannya ia tidak memikirkan bagaimana Yunita, tapi ini soal sebuah tanggung jawab atas kesalahan yang sudah ia lakukan, dan kesalahan i
Firman meraih pergelangan tangan kiri Pak Wiryo, tapi tak merasakan adanya denyut nadi di sana.Tak berapa lama seorang dokter dan suster masuk ke dalam ruangan."Silahkan Bapak-bapak tunggu di luar sebentar ya, Pak," ucap Suster pada mereka yang tadi telah menggelar pernikahan mendadak itu. Firman dan Dimas pun ikut keluar ruangan, membiarkan dokter memeriksa keadaan Pak Wiryo di dalam."Innalilahi waa Inna ilaihi Raji'un. Maaf Pak Wiryo sudah tak ada," ucap Dokter yang memeriksa pada Wina yang memang tak mau keluar ruangan, ia ingin melihat ayahnya kembali membuka mata saat dokter memeriksa, tapi kenyataan menyakitkan justru yang di dengarnya."Tidak. Itu tidak mungkin Dok, Bapaakk ... Bangun Paak!" Suster melepas semua alat yang menempel pada tubuh Pak Wiryo, Wina berlari mendekat memeluk erat tubuh renta itu.Ia menangis pilu, meraung dengan kencang. hingga suaranya terdengar ke luar ruangan. Firman yang tengah menunggu di luar seketika saling pandang dengan Dimas, di hati mereka
POV FirmanPagi itu aku berangkat ke kota Bogor dengan hati tenang, setelah mengantar Yunita ke Rumah makan utama kini aku injak dalam pedal gas untuk ke rumah makan cabang.Meski ada sedikit heran akan tatapan Yunita sesaat sebelum aku masuk mobil itu sedikit berbeda, terlihat gurat kecemasan pada mimik wajahnya dan pancaran matanya.Namun, segera aku meyakinkan istriku, jika semua akan baik-baik saja, terlebih sekarang Tania sudah tidak tinggal di rumah kami lagi, hati ini sudah tenang sekarang, setelah beberapa hari kemarin sempat membuatku tak nyaman tinggal di rumah sendiri.Aku Muhammad Firman, yang kini telah memperistri Yunita Safitri, seorang wanita tinggi semampai, cantik nan lembut yang kukenal saat kami kuliah, aku memang menaruh hati padanya saat pandangan pertama, sosoknya yang periang dan hatinya baik tentunya, membuatku jatuh cinta padanya.Tiga tahun sudah usai pernikahan kita, namun hingga saat ini, belum ada tanda-tanda kehadiran janin di rahimnya, tapi aku tak pern
Aku menghubungi Dimas sahabatku untuk datang kemari dan menyiapkan semual dokumen pendukung untuk pernikahan siri ini, semua ini aku lakukan tak lebih dari sebuah tanggung jawab, bukan karena suka, apalagi cinta, bukan.Akan tapi lebih kepada rasa kemanusiaan, mengingat Pak Wiryo jadi seperti ini juga karena aku yang menabraknya.Dimas datang dengan raut wajah yang begitu sulit di artikan, aku paham, pasti ia tak percaya aku melakukan ini, ia tahu betapa aku sangat-sangat mencintai istriku. Sungguh semua ini pun sebuah keputusan yang begitu berat untukku.Hingga pernikahan di langsungkan sederhana, di rumah sakit ini. Beberapa menit setelah selesai ijab kabul kuucapkan, Pak Wiryo menghembuskan napas terakhirnya.Betapa hatiku pun terluka ia pergi karena sebuah kesalahanku. Satu pesannya yang ia sampaikan padaku, agar aku menjaga Wina putrinya, aku tak paham bagaimana bisa ia yang baru bertemu denganku, dengan mudahnya beliau ingin aku menikahi putrinya, apa ia tidak takut jika nanti y
Dengan sigap, anak buah juragan Dadang itu menarik paksa tangan Wina dan menyeretnya masuk.Aku sudah tak tahan lagi melihat penindasan terjadi di depan mataku. "Lepaskan dia!" teriakku lantang. Seketika pandangan mereka beralih ke arahku.Laki-laki yang yang bernama juragan Dadang itu pun menatap tajam ke arahku, kemudian tersenyum miring, senyuman yang lebih mirip di katakan seringai."Jangan ikut campur urusan kami, Bung." Juragan Dadang itu bangkit dan mengucapkan itu padaku."Tentu aku harus ikut campur," sahutku."Mas, saya ucapkan terimakasih atas sumbangan yang tadi Mas berikan, tapi Mas tak perlu ikut campur urusan kami." Bu Warsih ikut bicara."Lepaskan! Jangan kasar sama perempuan," desis Dimas tepat di samping telinga pengawal Juragan Dadang itu.Namun laki-laki tegap itu tetap bergeming, ia mencengkram erat tangan Wina. Hingga Wina meringis pasti ia merasakan sakit di pergelangan tangannya."Lepaskan dia! Aku bilang!" Lagi aku berkata lantang.Sontak wajah Juragan Dadan
Wina mengangguk. Sontak membuat wajah ibunya itu semakin murka."Tidak itu tidak mungkin. Kamu pasti bohong! Beraninya kamu membohongi Ibu?! Hah?!" bentaknya lagi."Wina tidak bohong, Bu," jawab Wina lemah.Cih!Juragan Dadang itu meludah sembarangan, wajahnya memerah, kemudian menoleh ke arah Bu Warsih, melihat tatapan juragan Dadang, Bu Warsih pun menciut."Kamu pikir, saya percaya dengan kata-kata kamu." Juragan Dadang itu meminta pembuktian ternyata."Saya punya buktinya, kami memang menikah di rumah sakit, Pak Wiryo yang meminta saya menikahi putrinya sebagai bentuk tanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi, pak RT dan Ustadz Ghofur serta Pak Andi dan Pak Toni, juga sahabat saya Dimas ini yang menjadi saksinya, dan satu lagi, kami punya bukti tertulis untuk itu. Dimas tunjukkan surat bukti pernikahan itu padanya," titahku, tanpa menoleh sedikitpun ke arah Dimas, pandanganku tetap pada laki-laki arogan di depanku ini.Tanpa bersuara, Dimas mengambil secarik kertas itu dan mendek