Lima
*** Hari yang suram, kantor kembali kedatangan tamu. Tubuhku seakan menegang, menatap satu kertas di tangan. Di sana tercatat jelas bawa produk kosmetik yang tengah kujalani, menjadi salah satu pemakaian berbahaya. Menekan kepala dengan keras, rasanya ini mustahil terjadi. Produk kami halal, sudah BPOM ada buktinya pula. Tidak mengandung zat berbahaya. Namun, wanita yang ngeyel itu tetap saja kekeuh dengan pendiriannya. Wanita cantik berbalut pakaian seksi, pasti dari kalangan atas. Hingga berani komplain langsung ke pusatnya, membuat diri merasa resah kala kesuksesan tengah berada di atas. Pikiranku tiba pada sosok Nyonya dan Tuan sewaktu kemarin, sedikit menerka bahwa ada sangkut-pautnya dengan kedatangan kemarin. Namun, bukti yang kuat amat dibutuhkan saat ini. "Hello, gimana ini? Lihat wajahku, banyak bintik merah nggak jelas. Tanggung jawab kalian!" teriak si wanita, memegangi pipi sambil sesekali meringis. Drama apa ini? Dosakah jika aku berprasangka buruk pada orang tua Andini? Merekalah pembuat onar di balik kerusuhan yang terjadi. "Siapa namamu?" tanyaku, mati-matian berusaha untuk tenang. Meski sadar, hati tengah diterjang kegundahan tak biasa. "Namaku Listi, salah satu youtuber yang sudah berpenghasilan wow. Ngerti dong maksud aku?" Kugigit bibir bawah, salah satu kebiasaan yang akhir-akhir ini sering dilakukan. Apa katanya tadi, seorang youtuber? Kok, aku nggak tahu? Segitu kudet dan terkungkung memikirkan mantan suami, hingga tak mengupgrade diri. Brand kosmetikku bisa mati, jika ia berkoar di sana. Usaha yang sudah dibangun, akan gulung tikar. Dan ... Senyum bahagia, akan terukir jelas di bibir Bang Afdal. Tidak! Apapun itu, aku harus bisa menyelamatkan usaha yang sudah dirintis dengan susah payah. Banyak karyawan, yang nantinya akan kehilangan pekerjaan. Ayo Mella, kamu pasti bisa! "Oke Mbak Listi, dapet dari mana kamu kertas ini? Yakin asli?" tanyaku, menelisik wajahnya yang seketika berubah pias. Nah 'kan, curigalah! Aku mengulum senyum, menunggu dengan sabar kata apa yang akan terlontar darinya. Merasa yakin, bahwa ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan. "As-li kok, cek aja kalau nggak per-caya." Gugup, salah satu hal yang biasa ditujukan saat orang merasa bersalah. Mengibaskan rambut dengan tenang, netraku masih asyik menatap lekat pada Listi. Seorang youtuber, yang katanya tengah mengalami bintik pada wajah usai memakai brand kosmetik dari kami. Berani sekali dia, harusnya komplain dulu pada tempat pembelian pertama. Bukan langsung memutuskan datang pada pusat, menuntut hal di luar kendali. "Tanggung jawab, kalau nggak bisa-bisa aku viralkan kosmetik yang kalian produksi." Tersenyum kecut, rupanya dia tengah memberi ancaman. "Silakan, aku nggak takut." Mengendikan bahu, tubuhku kembali tenang. Mulai tahu, ada sesuatu yang tengah ia rencanakan. "Kita bisa datang ke dokter langganan aku, periksa wajahmu dan kosmetik yang tengah kamu pegang." Bismillah, bantu aku Tuhan. Ini merupakan salah satu ujian, dari usahaku yang mulai melonjak tinggi. Pasti banyak orang yang nggak suka, meskipun belum tahu apa motif wanita bernama Listi. "Enak aja, kamu nggak percaya sama bukti yang aku bawa hah? Capek tahu, harus periksa lagi." Suaranya yang tinggi, membuat amarahku makin berada di puncak. Melambaikan tangan, kucoba meredam amarah. Harus terlihat cantik, tidak perlu mengotori tangan untuk memberinya satu pelajaran. "Serly, aku butuh bantuan. Tolong panggilkan kedua security, sekarang!" Menutup telpon dengan sedikit keras, pandangan kami saling tertuju. Sebenarnya ada masalah apa aku sama dia? Bisa-bisanya, datang hanya untuk membawa masalah. Orang yang ditunggu akhirnya datang, keduanya mencengkeram tangan Listi. Memaksa ia untuk ikut ke salah satu RS terdekat, guna membuktikan semua dengan jelas. "Sialan kalian, lihat saja. Akan aku viralkan nanti," ancam Listi, terus meronta. Namun, tenaga yang secuil tentu kalah dengan kedua security berbadan besar jua tinggi. Sepanjang perjalanan, Listi yang bawel. Terus saja mengoceh, ingin diturunkan. Enak saja, berani membawa masalah. Tapi, nggak ada itikad baik untuk menyelesaikan. "Listi Adora, benar salah satu youtuber dengan banyaknya pengikut. Penghasilan di sana jua amat fantastis, biasa menayangkan tentang produk kosmetik, baju, dan hal lainnya." Menarik napas panjang, email dari Serly yang masuk. Baru saja kubaca, meski sedikit tidak fokus dengan gumaman juga teriakan sang youtuber. "Diam kamu! Kenapa jadi kayak cacing kepanasan sih? Kalau benar, nggak perlu kayak begitu kali." Menatapnya tajam, dengan harapan segera sampai di tempat tujuan. "Kamu pikir, aku bohong? Ada banyak bukti, makannya kalau jualan yang benar." Allahu Akbar, kalau tidak ingat sedang di jalan. Sudah kutampar saja itu mulut super pedasnya! Tahan Mella! Sebentar lagi sampai, semoga mulutnya yang berdosa itu segera ditampar dengan banyak bukti yang akurat. Dua jam berlalu. Namun, sudah seperti dua puluh empat jam. Rasa lelah yang begitu mendera, membuat diri merasa makin tidak sabaran. Waktuku yang berharga, harus dihabiskan demi sesuatu yang menurutku tidak penting. Menuding tanpa bukti yang cukup kuat, dasar youtuber aneh! "Mella. Bukti sudah keluar, silakan kalian masuk." Alhamdulillah, kugiring Listi dengan tenang. Rasa tak sabar, makin menyelimuti diri. "Setelah dilakukan berbagai pemeriksaan, inilah hasil dari produk kosmetik kamu Mella. Semuanya aman, hanya saja ...." Apa dok? Ish, kenapa harus henti di tengah jalan? "Kosmetik yang dia bawa, palsu. Bukan kosmetik milikmu, di sana memang tertera nama Mella Beauty's. Namun, kandungan zat di dalamnya amat berbeda." Rasakan, inikah akhir dari fitnah kejam yang kamu bawa sayang? Please, jangan bermain dengan aku yang sedang memiliki masalah lain. "Alhamdulillah, lantas kertas ini gimana dok?" tanyaku, ingin menuntas jelas. "Asli, ya itu tadi. Saat dilakukan pemeriksaan bukan kosmetik kamu yang mereka pakai," ungkapnya. Menambah kelegaan di hati. Kulirik Listi, wajahnya makin menunduk. Bak pencuri yang baru ketahuan belangnya, jangan bermain dengan aku please, ibarat kamu sedang membangunkan harimau! Arggggh, buas. "Sekarang, semuanya udah jelas. Apa yang mau kamu katakan? Sebelum aku sendiri yang memviralkan kelakuanmu itu, bisa terbayang bagaimana kecewanya mereka." Listi mendongak, bulir bening jatuh di pipi. Kami masih berada di ruang dokter, biarlah sudah telanjur. "Ma-afkan aku, Mbak." Nah 'kan, kalau sudah begini tanpa rasa malu terucap pula kata maaf. Nggak semudah itu cantik, hatiku sudah kadung membenci. "Lupakan, aku nggak akan memviralkan kamu. Katakan saja, siapa orang di balik semua ini?" tanyaku, menatapnya lekat. Lama. Hanya embusan napasnya yang sesekali terdengar berat, merasa tidak yakin bahwa Listi akan berkata jujur. "Nyonya dan Tuan, yang menyuruh Mbak. Orang tua dari Andini," ungkapnya setelah sekian lama bungkam. Fix. Tebakanku tidak meleset, kedatangan mereka kemarin rupanya masih membekas. Siapa yang membatalkan kerjasama, siapa yang marah. Aneh! Bisa jadi, mereka nggak suka aku sukses. Berbagai cara dilakukan, untuk bisa meruntuhkan karierku. Ooooh, tidak semudah itu Ferguso! ***Enam *** Udara di luar teramat dingin, begitu menusuk tulang. Namun, keadaan di rumah sang mantan justru terasa membara. Tuan dan Nyonya, merupakan orang paling sulit dalam mengucap kata maaf. Dengan sedikit ancaman, akhirnya Listi mau mengakui banyak hal. Mengumpulkan kami di sini, menuntut kejelasan atas apa yang sudah mereka perbuat. Tatapan tajam dari mereka, seakan menghunus jantung. Mendesah resah, aku sadar tak pernah sedikitpun diharapkan berada di rumah ini. Janji, aku nggak akan bawa ini ke jalur hukum. Asal, mereka mau mengucap kata maaf. Nggak lagi ganggu kehidupan aku, diri perlu jua ketenangan. "Kamu, punya Pabrik kosmetik? Nggak salah? Bukannya, kerjaan kamu hanya seorang PSK?" cecar Bang Afdal, jika sedang begini mulutnya berubah pedas bak seorang wanita dengan tingkat kelemesan. Jangan sok tahu kamu Bang! Selalu saja menilai aku dengan sesuka hati, tanpa memikirkan bagaimana perasaanku yang terus dituding dalam berbagai hal. "Jangan kebanyakan halu kamu
Tujuh***Jantungku berdebar tak karuan, setengah jam berlalu hasil dari pemeriksaan belum jua keluar. Semoga masih ada harapan, duniaku akan sangat hancur jika sematan mandul memang benar adanya. Salahku, yang sedari dulu selalu menunda untuk memeriksakan diri. Kini, keluarga Bang Afdal seakan yakin bahwa akulah yang sedang bermasalah. Mendesah resah, otak mulai diselimuti banyak pikiran. "Mbak Mella," panggil seorang Suster. Membuat diri beranjak senang, "Silakan masuk, dokter sudah menunggu."Menarik napas panjang, langkahku terasa gontai. Ketakutan mulai menyergapi diri, ini merupakan kali pertama untuk aku. Senyum mengembang dari bibir sang dokter, kebetulan dia seorang wanita. Setidaknya lebih bisa mengerti, duduk dengan tenang beliau mulai membacakan hasil yang sudah kutunggu. "Jadi, kesimpulan dari semua yang sudah saya jelaskan. Mbak Mella ... Sehat, tidak sedang mengalami kemandulan." Alhamdulillah, air mataku menetes mengucap terima kasih berulang kali. Menatap hasil pe
Delapan***"Besar juga kantormu," pujanya. Namun, dengan suara yang terdengar ketus.Sekian lama tak berjumpa, entah apa yang membawa beliau datang. Dengan gaya khasnya, yang selalu menunjukkan ketidaksukaan.Netranya yang tajam, terus menyapu seluruh ruangan. Sesekali mulutnya mengoceh banyak hal, "Mella ... Ibu mau bicara."Aku mendengkus sebal, apa katanya tadi? Mau bicara? Nah, yang barusan apa? Ck, geram sudah rasanya. Merusak mood, yang sudah kubangun beberapa hari ke belakang."Bagi duit dong!" Tangan yang satu, dibiarkan menengadah. Tanpa rasa malu, "Anggap saja sebagai ganti rugi, 'kan selama menikah Afdal yang sudah banting tulang buatmu."Damn! Matre sekali dirimu, wahai mantan mertua! Sepeserpun aku tak sudi, membiarkan setiap jerih payah dinikmati olehmu! "Bu, itu 'kan kewajiban dia sebagai suami. Masa harus ganti rugi segala? Mana ada," elakku, tak mau diperalat begitu saja. "Banyak omong kamu! Katanya orang kaya, tapi, ngasih duit aja pelit. Lima puluh juta, lumayan
Sembilan***"Kesel aku sama kamu," kataku sambil melempar tas branded yang baru terbeli beberapa bulan lalu. Niat untuk pulkam, lagi tertahan karena ada satu hal penting yang tak bisa diwakilkan."Siapa sih orangnya? Memang, nggak bisa kamu tangani sendiri?"Mengibaskan rambut ke belakang, kutatap sekretaris tersebut. Menelisik wajah, yang tampak santai sambil tersenyum mencurigakan.Lagi, demi sebuah pekerjaan rela mengorbankan hati Ibu. Yang sudah meronta meminta pulang ke kampung halaman, beliau kekeuh ingin perginya bersama aku."Duitnya gede Mell," teriak Serly, antusias. Allahu Akbar, kalau sudah urusan yang satu itu dia memang parah. "Sayangnya, nih orang mau temu langsung sama kamu."Mendelik tajam, rasa kepoku seakan meronta. "Cepat katakan, dari Perusahaan mana dia?" Bukan menjawab, Serly hanya terkikik dengan senyum menggoda. Menyebalkan sekali, "Hm, dia ... Biasa masak. Kayak chef gitu."Netraku terbelalak sempurna mendengar pengakuan darinya. Chef? Lantas, apa urusannya
Sepuluh ***"Mell, ini rumah aku juga 'kan? Segera, setelah kita rujuk semua akan kembali seperti yang dulu." Aku meneguk ludah, demi mendengar kehaluan sang mantan. Benar nggak ada akhlak, memutuskan seorang diri tanpa bertanya terlebih dulu.Ketiganya merangsek masuk ke dalam rumah, mengabaikan ketidaksukaan yang terpancar jelas di kedua netraku dan Ibu. Enak saja, aku tetap nggak sudi! Jangan harap, kalian ikut menikmati setiap apa yang sudah menjadi perjuanganku selama hidup. "Pede sekali kamu, bahkan kamu belum tanya. Mau atau nggaknya, udah menyimpulkan sendiri. Ck," sahutku berdecak sebal. Kok, ada spesies macam mereka? Benar-benar langka, ya kali urat malunya sudah putus. Kak Indri dan Ibunya, terus menatap rumahku dengan netra berbinar. Sesekali terdengar pujian dari bibir mereka, takjub dengan apa yang sudah kuperoleh. "Pasti mau, sayang. Aku tahu betul, kamu nggak bisa hidup tanpa aku! Lagian, kekayaan yang kamu miliki saat ini. Pasti bukan hasil sendiri, bisa jadi ban
Sebelas"Serly ...," teriakku. Terlonjak kaget, begitu mendapati sang mantan yang tengah duduk di sudut ruang tamu.Menghela napas panjang, rupanya Bang Afdal masih terus bersikeras untuk bisa memenangkan hati yang sudah dilukai. "Ngapain lagi dia? Kenapa nggak diusir? Bikin sesak," cecarku menatapnya melalui pembatas kaca. Harusnya, aku senang dengan hadirnya dirimu. Kembali memadu kasih. Namun, milyaran luka yang terasa menyakitkan seakan menghalau. "Dia maksa, katanya ... Kepengen ngobrol penting," ungkap Serly. Mengendikkan bahu, lantas buru-buru menyuruhku untuk menemui sang pujaan yang tak lagi hadir di hati.Melangkah gontai, dengan sesekali mendengkus sebal. Kutatap dirinya, duduk berdampingan. Berharap, hari ini merupakan kali terakhir kami berjumpa. "To the point! Waktuku nggak banyak," titahku, memandangnya dengan kebencian luar biasa. Bang Afdal meraih tanganku, segera kutepis kasar. Haram, disentuh olehnya usai kejadian kemarin. Hampir saja kami bergulat, kalau saja
Dua Belas"To-long, kasihani kami Mella ...," pintanya. Lagi menggunakan air mata, sambil bersimpuh penuh derita.Berdecak sebal. Kutatap beliau, yang datang seorang diri tanpa ditemani kedua anak kebanggaannya. Kenapa hari-hariku seakan sibuk? Justru dengan kehadiran mereka, yang datang silih berganti. "Bu, coba bangun! Kenapa lagi? Apaaa ucapanku kemarin belum jelas?"Bukan jawaban yang kudengar, melainkan jeritan suaranya yang didominasi dengan tangisan pilu. Kalau sudah begini, aku bisa apa? "Ibu lapar ...," sahutnya. Lantas menunduk lebih dalam, seakan malu dengan apa yang baru saja diucapkan. "Afdal jatuh miskin, nggak ada duit buat sekadar beli makanan."Mendelik tajam, aku menelisik wajahnya. Takut jika beliau sedang drama, demi meraup hartaku yang susah payah didapat.Merogoh uang dalam tas branded, satu lembar berwarna merah kuselipkan pada tangan beliau. Cukuplah untuk makan hari ini, bersyukur aku masih baik. Bila ingat perlakuannya tempo lalu, mana sudi memberi sepeser
Tiga Belas"Za, lagi apa kamu?" tanyaku, usai membuka pintu ruangan. Sedikit tercengang saat mendapati dirinya, "Nggak kerja?"Reza mengulum senyum, wajah tampannya membuat hati meleleh tak karuan. Jantung seakan berdebar kencang, "Kangen." Kugigit bibir bawah, sibuk menetralkan rasa yang makin bergejolak. Dan apa katanya tadi, kangen? Haruskah aku senang, atau menjadi beban?Ditariknya tanganku lembut, kecupan singkat ia berikan di area sana. Hati berdesir, tak menyangka akan perlakuannya yang secara tiba-tiba."Cantik," pujanya. Sambil mengelus wajahku, "Serius Mell, aku kangen. Sampai nggak bisa tidur." Ia terkekeh pelan, menarik tangannya untuk menjauh. Jujur ada rasa tidak rela, berharap masih ada waktu untuk kami bercengkrama.Melangkah lebar, aku terduduk lesu pada kursi kekuasaan. Masih kaget dengan perlakuan Reza, ada semacam perasaan ingin memeluk. Sebab, aku juga tengah merasakan rindu yang sama. "Kok, diam? Kamu marah? Maaf." Ish, andai kamu tahu Za. Aku nggak marah, han