Share

Sebuah Fakta Terbaru

Tujuh

***

Jantungku berdebar tak karuan, setengah jam berlalu hasil dari pemeriksaan belum jua keluar. Semoga masih ada harapan, duniaku akan sangat hancur jika sematan mandul memang benar adanya.

Salahku, yang sedari dulu selalu menunda untuk memeriksakan diri. Kini, keluarga Bang Afdal seakan yakin bahwa akulah yang sedang bermasalah. Mendesah resah, otak mulai diselimuti banyak pikiran.

"Mbak Mella," panggil seorang Suster. Membuat diri beranjak senang, "Silakan masuk, dokter sudah menunggu."

Menarik napas panjang, langkahku terasa gontai. Ketakutan mulai menyergapi diri, ini merupakan kali pertama untuk aku.

Senyum mengembang dari bibir sang dokter, kebetulan dia seorang wanita. Setidaknya lebih bisa mengerti, duduk dengan tenang beliau mulai membacakan hasil yang sudah kutunggu.

"Jadi, kesimpulan dari semua yang sudah saya jelaskan. Mbak Mella ... Sehat, tidak sedang mengalami kemandulan." Alhamdulillah, air mataku menetes mengucap terima kasih berulang kali. Menatap hasil pemeriksaan, dengan tangan gemetar.

"Ta-pi dok, lima tahun menikah. Saya belum dikaruniai anak," ucapku. Menunduk sedih, merasa Tuhan sedang memberi sebuah hukuman.

"Oh ya? Hm, suaminya ke mana? Biar sekalian diperiksa." Pertanyaan darinya, tak ayal membuat diri terasa hancur berkeping. Lidah seakan kelu, masa harus curhat di sini?

Memandang sekeliling ruangan, aku yang belum siap. Tak lagi mampu menjawab pertanyaan, terlalu sedih jika harus mengenang masa lalu.

"Maaf, jika apa yang saya tanyakan barusan terlalu privasi buatmu. Sabar, anak adalah titipan dari Sang Maha Kuasa. Kelak, Dia akan memberi jika sudah waktunya tiba." Nyeees, hatiku berangsur membaik. Terlalu bucin, kala sudah mengenang mantan yang tengah berbahagia bersama wanita lain.

"Nggak apa, dok. Penting saya sudah tahu, tentang kesehatan diri sendiri." Mengulum senyum dengan sedikit terpaksa, gegas aku pamit. Tak ingin terjerumus dalam kubangan nestapa, move on Mella!

Mendekap sebuah kertas di tangan, semoga kelak bisa membungkam mereka yang terus saja menghina. Jangan-jangan, yang mandul itu kamu lagi Bang!

Mengusir pikiran yang terasa berdenyut, segera langkah kaki beranjak pergi. Namun, tertahan karena melihat sosok yang sangat dikenal.

"Nggak sabar aku, semoga anak kita berjenis kelamin laki-laki. Penerus usaha keluarga," ujar sang laki, sembari mengelus perut si wanita.

Apaaa? Jadi, itu bukan anak Bang Afdal. Keterlaluan kamu Andini! Wanita jalang, kenapa pula harus membohongi semua orang?

Napasku makin tersengal, berdiri dari kejauhan. Menatap dua sejoli, yang tengah bercanda ria. Rasakan kamu Bang! Karma dibayar tunai, apa yang akan kamu lakukan

saat tahu belangnya Andini?

Sudahlah, ngapain juga aku mikirin dia! Setidaknya, aku tahu bahwa Andini tak sebaik yang mereka kira.

Bersenandung ria, kaki kembali melangkah. Tak ingin mencampuri urusan mereka, cukup tahu dan bisa dijadikan senjata kelak.

"Kamu, nggak ngantor?" tanya Ibu, ketika aku baru saja turun dari mobil. Memang, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas. Harusnya aku tengah berkutat, bersama dokumen yang membuat pusing.

"Nanti, Bu. Habis dzuhur kayaknya, aku mau rehat bentar." Tersenyum manis, Ibu terus mengekor dari belakang. Mungkin, tak biasanya melihat diriku senang.

"Ada kabar baik," kataku. Duduk santai, sembari mengeluarkan hasil pemeriksaan. "Alhamdulillah, aku nggak mandul Bu."

Merampas kertas dengan kasar, beliau terpekik senang. Mengucap hamdallah berulang kali, bersyukur dengan awal yang bahagia tentunya.

"Apa Ibu bilang, harusnya dari dulu kamu periksa. Sekalian bawa si Afdal, biar keluarganya tahu." Berucap dengan menggebu, aku terkikik. Ibu, adalah kekuatan besarku saat ini. Setelah kehilangan Bapak, di usia kecil.

Bagai teletubies, kami saling berpelukan. Tertawa dengan menangis, semua rasa seakan bercampur menjadi satu.

"Satu lagi, Bu. Pas di RS, aku ketemu Andini. Gandengan sama cowok lain, dan Ibu tahu? Aku syok, ketika tahu anak yang tengah dikandung merupakan hasilnya bersama cowok lain. Bukan sama Bang Afdal," ungkapku. Kembali tertawa riang, biarlah bahagia di atas penderitaanmu sayang!

"Gila juga si Andini," sahut Ibu berdecak tak percaya. "Nah 'kan, makannya jangan suka nyakitin hati orang. Buktinya, sudah Allah beri balasan setimpal."

Mengangguk setuju, justru hatiku belum sepenuhnya puas. Rasa dendam masih menghiasi seluruh hati, menginginkan lebih dari itu.

"Mella, setelah semua yang terjadi. Rencana apa yang akan kamu lakukan? Hm, menikah lagi misalnya." Menatap tak percaya, aku sama sekali belum ada calon. Terlebih, rasa takut dikhianati masih saja terus mengungkung.

Membelai rambut panjangku dengan lembut, lagi Ibu membuka percakapan. "Jangan takut, Mell. Tidak semua pria, memiliki perangai yang sama."

Memang. Namun, sejauh ini fokusku hanya terhadap karier. Urusan jodoh biarlah Allah yang mengatur, menjadi janda selamanyapun tak masalah.

"Mella paham, Bu. Masalah itu, kita bahas nanti deh." Mengibaskan rambut dengan perlahan, berharap beliau lebih memahami isi hatiku saat ini.

***

"Wow, jadi hubungan mereka sudah berjalan lama. Dan bodohnya, Bang Afdal seakan dibutakan." Menggeram marah, informasi dari Serly benar mengejutkan.

Kenapa dia sampai nggak tahu? Terjatuh dalam pesona Andini, yang ternyata tak sebaik yang semua orang kira.

"Nyonya dan Tuan, tahu? Tentang hubungan mereka, Ser?"

Menggeleng lemah, Serly yakin betul dengan penyelidikannya kali ini. "Backstreet, hubungan mereka tak direstui. Pria itu hanya dari keluarga biasa, mereka lebih condong pada mantan suamimu."

Tentu, yang kutahu Bang Afdal salah satu orang kepercayaan mereka. Pastinya dengan senang hati menerima sebagai mantu, meski dengan tega menyakiti hati yang lain.

"Serly, segera kirim bukti perselingkuhan mereka. Pastikan, Bang Afdal sendiri yang menerima," titahku merasa sudah waktunya, menenggelamkan perasaan sang mantan.

"Hah, kamu serius? Niat banget kepengen dia sakit," tanyanya. Menatap lekat, sembari berdecak tak percaya.

Kenapa nggak?

Milyaran luka telah ia torehkan, balasan setimpal tentu pantas untuk menghukum Bang Afdal.

Dengan begitu, hatinya akan terbuka lebar. Tidak lagi menyanjung sebuah kepalsuan, di mana Andini hanya sedang bersandiwara.

"Lakukan secepatnya, Serly. Pastikan rumah tangga mereka goyah," ujarku berharap mereka merasakan apa yang pernah kualami.

Mengangguk setuju, Serly berbalik badan. Syukurlah, aku hanya ingin memberi suatu pelajaran. Semoga, bisa sedikit menampar mereka yang terus saja memandang hina orang lain.

Sepeninggal Serly, pikiranku terus menerawang jauh. Mengetuk bolpoint pada meja, rasa tak sabar begitu menekan. Bagaimana tanggapan Bang Afdal? Tentu ia murka bukan?

Biar tahu rasa, bahwa dikhianati adalah hal paling menyakitkan. Saat rasa percaya hilang, dengan kelakuan tak menyenangkan.

Tunggu, sayang. Saat di mana, hari itu datang. Ahh, akan lebih bagus jika dirinya melihat langsung perselingkuhan sang istri. Akan lebih seru dan menegangkan.

Memutar otak, dengan cepat. Aku ada rencana baru, untuk membongkar semua di depan mata kepala Bang Afdal.

Hm, mungkin saja yang mandul adalah dirimu Bang. Terbukti, anak yang dikandung Andini adalah hasil pergulatan dengan pria lain.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status