Share

Pertemuan Selanjutnya

Empat

***

"Andini hamil. Dan bukti tersebut, cukup kuat untuk menjabarkan siapa yang tengah mengalami kemandulan di sini." Jiwaku sakit seakan tak berkesudahan, doaku tempo lalu rupanya tak diijabah. Dunia masih senang mempermainkan diri, dengan kabar menyesakkan.

"Benarkah? Yakin, kalau itu benar-benar anakmu? Kalau dia bohong gimana?" cecarku, jelas masih menampik kenyataan yang ada. Kenapa hanya bersama Andin, cepat sekali Bang Afdal mendapat momongan?

Tercekat dengan informasi yang ada, kunikmati segelas jus jeruk. Demi menetralkan segala asa, rela bertemu dirinya di sebuah Kafe. Sialnya, hanya untuk mendengar kabar bahagia yang jelas menusuk hati.

"Jangan asal bicara kamu, Mell! Andin wanita kaya jua terhormat, tidak mungkin berbuat demikian." Mendengkus sebal, otakku terasa buntu untuk menjawab segala hal yang keluar dari mulutnya.

"Kamu ... Kerja apa sih? Tiap hari bawa mobil sendiri, penampilan juga ok banget. Kenapa nggak dari dulu, saat kita masih bersama? Mungkin, bisa kupertimbangkan masalah anak." Tersenyum getir, demi menanggapi ucapan darinya. Memang, penyesalan hanya akan datang diakhir.

"Sekarang hartaku banyak, Bang. Ibarat kata, nggak akan habis tujuh turunan." Kutatap dirinya, wajah tampan yang berubah pucat. Pasti akan berdalih hal lain, menuntut ketidakpercayaan. "Begitu katamu? Tapi, semua sudah usai. Rasaku, telah mati untukmu!"

Bohong, jika aku berkata demikian. Namun, semua demi kebaikan. Mungkin saja, kelak ucapan tersebut akan menjadi doa.

"Jangan-jangan, kamu jadi PSK lagi." Degg, dadaku bergemuruh hebat. Tudingan tak bermoral ia lontarkan lagi, "Ngaku sajalah Mell. Kalian 'kan dari keluarga miskin, rasanya mustahil banget bisa punya uang banyak dalam tempo singkat."

Lima tahun pernah bersama, harusnya ia lebih mengenal diriku dengan dekat. Bukan melayangkan dugaan, yang jelas merobek hati.

"Bang, aku punya kantor sendiri. Produk kosmetik dengan brand ternama, Mella Beauty's." Dahinya tampak mengernyit, sudah kuduga ia tak akan percaya begitu saja.

Mata hatinya tengah tertutup, dengan kehadiran wanita baru. Apalagi si dia tengah mengandung, entah mengapa sebagian hatiku begitu enggan untuk mempercayainya.

"Sudahlah Mell, waktuku nggak banyak. Hanya untuk memberi tahu hal itu, selebihnya kita tahu. Bahwa kamulah yang mandul di sini," cetusnya masih saja menganggap ucapanku sebagai bualan semata.

Nilailah aku sesuka hatimu Bang. Semoga sang waktu, benar-benar akan membuat dirimu menyesal. Membuang aku, demi cinta yang semu.

"Hanya itu, aku kira ... Kamu kangen sama aku. Hm, sudah lama kita tidak berbagi peluh." Berucap dengan sedikit manja, kuelus pergelangan tangan sang mantan. Membuat dirinya terpaku beberapa saat, mungkin sedikit menggali ingatan tentang kebersamaan kami.

"Jangan harap," desisnya, sambil menepis tanganku kasar. "Kamu ... Dan Andini, jauh bagai langit dan bumi. "Terserah kamu punya uang banyak dari mana, aku nggak peduli."

Menggigit bibir dengan keras, kurasakan kesakitan luar biasa dari dasar hati. Ingin sekali diluapkan, kalau tak ingat bahwa harga diri harus diselamatkan.

"Aku pamit, selamat tinggal Mella. Oh ya, tolong bayarin makanan aku. Buktikan, kalau kamu benar-benar orang berduit!" Menyeringai tipis, kemudian berdecak sebal. Aku mengangguk, merasa masih mampu untuk membayar tagihan pihak Kafe.

"Baguuus, anggap saja ini bayaran atas apa yang sudah aku beri untukmu selama kita bersama. Walaupun, harganya nggak sebanding."

"Maksud kamu apa Bang? Nggak ikhlas, harus diungkit di sini?" tanyaku, tak pernah disangka dirinya akan mengungkit masa lalu.

"Dulu, mungkin aku ikhlas. Namun, karena kita sudah berpisah entah kenapa merasa menyesal pernah membiayai hidupmu selama ini." Mengetuk meja dengan sedikit keras, hatiku makin bergejolak tak karuan.

Bukankah semua itu merupakan kewajiban suami? Lagian, dia sendiri yang memberi talak. Beralasan perihal anak, ingin mengganti dengan wanita lain.

"Picik sekali pikiranmu," ketusku. Memalingkan wajah ke sembarang arah, geram rasanya kenapa bisa pernah bahkan mencinta dirinya setengah mati?

"Bekerjalah dengan baik, Mella. Turunkan sedikit kehaluanmu itu, dari awal mengenalmu sebagai orang miskin. Itu akan tetap terjadi, nasib baik tak harus mendatangi kalian."

Tahan, Mella! Air matamu adalah senjata ampuh, di mata Bang Afdal. Dia akan tertawa senang, bukan merasa iba.

Menarik napas panjang, aku mendongak. Menatap lekat manik mata sang mantan, di mana kita pernah saling mencinta dalam kurun waktu yang lama. "Terima kasih atas hinaanmu Bang, kelak kamulah yang akan menyesal dengan segala kesombongan diri."

Merogoh tas dengan cepat, kuambil beberapa lembar uang berwarna merah. Menaruhnya di atas meja, "Silakan bayar pesanan kita dengan uangku. Biar kamu tahu, aku bukan lagi Mella yang dulu. Selalu tergantung, pada pria yang ternyata tidak sebaik yang dikira."

Tubuh Bang Afdal, tampak membeku. Menatap lembaran uang di meja, sesekali berdecak tak percaya. Sadar betul, bahwa selama menikah bahkan ia tak pernah memberiku uang sebanyak itu.

"Turunkan sedikit rasa sombongmu itu! Jangan selalu merendahkan orang lain, bisa jadi mereka yang dihina kelak akan lebih maju daripada kamu yang doyannya nyinyir." Kulirik tangan sang mantan, mengepal kuat. Ada kepuasan tersendiri, sebab telah membalasnya dengan sebuah perkataan.

Melangkah dengan cepat, segera kutinggalkan sebuah Kafe yang tak jauh dari kantor. Sedikit terlambat, karena harus menemui dia hanya demi menambah keperihan.

Semua orang benar, Bang Afdal tidak pantas untuk bersanding dengan aku. Dia terlalu sombong, semua keluarganya juga sama.

Menatap jalanan dengan penuh ketidaksabaran, ingin rasanya segera sampai di tempat tujuan. Mendinginkan hati, yang tengah kepanasan.

"Ke mana aja sih? Lama banget, masa boss datangnya telat mulu." Nah 'kan, harusnya aku yang memberi amarah pada bawahan. Bukan malah sebaliknya, "Ada tamu penting. Kayaknya dia orang kaya, mau ketemu sama pemilik brand ternama kosmetik."

Dahiku mengernyit, merasa tidak ada janji dengan siapapun hari ini. Mendesah enggan, terpaksa melangkah gontai hendak menemui sang tamu.

"Kamu ... Bukannya mantan Afdal? Iya 'kan Pi? Mami ingat betul," seloroh si tamu saat sosokku menyembul dari luar.

Jantungku berdegup kencang, kali kedua merasa dunia terasa sempit. Dari banyaknya klien, kenapa harus mereka. Orang tua dari Andini, wanita yang berhasil merebut seluruh perhatian sang pujaan.

"Arggggh males banget. Kita batalin aja deh kerjasamanya, kalau Andini tahu bisa marah dia." Aku meneguk ludah, kerjasama apa? Kutatap Serly, teman yang bertugas sebagai sekretaris.

"Jangan Bu!" teriak Serly, membuat kami saling menatap heran. "I-tu, ada baiknya kita duduk dulu. Mungkin, bisa dibicarakan dari hati ke hati."

Bukan tanggapan baik yang diterima oleh kami, melainkan dengkusan kasar dari Nyonya kaya tersebut. "Apa kamu bilang, dari hati ke hati? Hei, kita mau bisnis. Bukan ngomongin masalah percintaan, bilang ya sama dia. Nggak akan ada kerjasama antar kita, dan satu lagi ... Mulai hari ini nggak sudi aku pake kosmetik dari brand kalian."

Mendesah panjang, kepalaku terasa berdenyut tak karuan. Terduduk lesu, karena merasa hidupku masih saja dikelilingi oleh orang-orang yang berhubungan dengan masa lalu.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status