Share

Luka Yang Sama

Tiga

***

Sebulan berlalu, dan sang mantanpun sudah menikah dengan wanita lain. Namun, rasa cinta ini seakan enggan untuk pergi. Harusnya, perasaan lenyap seiring dengan luka yang dia beri.

Cintaku memang buta untuk dia, perlu tambatan hati yang baru. Tapi pada siapa? Menjadikan seseorang untuk pelampiasan, bukannya sesuatu yang tak baik?

Mengetuk kepala dengan keras, berharap rasa itu segera pergi. Menjelma menjadi benci dan dendam, yang ingin segera terlampiaskan.

Harusnya cinta kita masih bisa disatukan, kalau saja tak ada aral melintang. Mertua selalu menjadi hambatan utama, belum lagi kehadiran ipar. Semua begitu ribet, membuat tali pernikahan kami tercerai berai.

Menahan sesak di dada, kuhapus bulir bening yang sempat berjatuhan. Tak mudah menjalani hidup tanpa dia, cinta sejati yang kukira akan terpisah hanya karena ajal.

Kutatap lekat, sebuah foto yang masih tersimpan di dalam ponsel. Dia yang tampan, rupanya hanya terbungkus dari penampilan luar. Dalamnya begitu busuk, menyayat seluruh hati.

Apa salahku Tuhan? Kenapa ujian bertubi terus berdatangan? Tak sanggup diri, berpisah darinya. Namun, untuk kembali jua bukan keputusan yang bijak.

Awan mendung di luar, seakan melukiskan keadaan hati. Bahkan hari ini, hujan terus saja turun dari langit. Sama seperti hatiku, bahkan ada badai yang entah kapan berhentinya!

"Boss mellow, sampai kapan kamu akan terus begini? Terkungkung dalam keperihan," desis Serly. Menatap diriku lekat, sembari membawa tumpukan dokumen.

Aku menggigit bibir, sial dia datang tanpa bisa ditebak. Dan apa katanya tadi, boss mellow? Semiris itukah aku?

Dasar teman nggak ada akhlak!

Inilah resiko bekerja sama dengan teman, sering nggak sopan. Lupa mengetuk pintu, dan ... Ucapannya itu loh. Nusuk!

"Kerja napa! Jangan nangis mulu, ingat besok sudah waktunya kami gajian." Serly terkikik, sama sekali tak merasa bersalah. Yup aku tahu, kalau sudah menyangkut uang dia memang paling bawel.

Namanya Serly Puspita, teman semasa SMA. Dia tidak hanya teman, bisa dibilang juga sahabat. Saudara, keluarga kedua setelah orang tuaku.

Yang tahu banget, permasalahan aku dengan Bang Afdal. Kami bagaikan sepasang sandal, yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Teman selamanya.

Mati-matian kami merintis usaha di bidang kosmetik, dan Alhamdulillah. Sudah punya kantor sendiri, dengan penghasilan fantastis.

Tentu saja Bang Afdal tak akan tahu, ia terlalu cuek selama ini. Hatinya tertutup, hanya karena seorang anak yang belum jua hadir.

Terlebih dengan hadirnya Andini, wanita konglomerat yang merupakan anak dari bossnya Bang Afdal. Semakin menambah kegilaan mereka, untuk memulai suatu hubungan.

"Move on kenapa? Kamu terus saja bersedih, sedangkan mereka ... Lagi asyik honeymoon ke LN." Aku mendongak, sedikit kaget dengan kabar tersebut. Meskipun tahu, Bang Afdal akan membawa sang istri mengelilingi dunia.

Mendesah resah, lidahku seakan kelu. Kabar yang dibawa Serly, benar-benar Melululantahkan seluruh persendian. Mengutuk diri, sebab belum bisa jua melupakan orang yang sudah sangat keterlaluan!

"Benarkah? Kok, aku nggak tahu." Tersenyum getir, aku berucap. Dengan tangan sibuk, memeriksa dokumen yang dibawa sang teman.

Serly berdecak kesal, dengan sabar menunggu dokumen lain untuk diberi tanda tangan. Ahh, kerjaanku makin hari makin tak karuan. Pikiran tentang sang mantan, seakan mengungkung enggan untuk pergi sejauh mungkin.

"Makannya aku kasih tahu kamu," ujar Serly. Lagi berdecak kesal, "Ada bagusnya juga sih kamu nggak tahu, biar cepat move on."

Mengendikkan bahu dengan lemah, cepat kutandaskan segala kerjaan yang dibawa Serly pagi ini. Tak ingin, mendengar apapun lagi tentang dua sejoli yang tengah dimabuk cinta.

***

"Honeymoon berlalu, semoga sepulang dari sana segera kami diberi kepercayaan untuk menimang seorang anak."

Sebuah caption, dengan foto kedua manusia yang saling merangkul mesra. Membuat hatiku sakit tak karuan, Bang Afdal tampak manis. Berbeda jika sedang bersama aku, padahal kecantikan Andini terbilang biasa saja!

Tidak Tuhan!

Jika boleh meminta, enggan diriku mendengar kabar bahwa Andini hamil anak dari sang suami. Berharap ia juga mengalami hal sama seperti aku, dicampakkan saat tak diinginkan lagi.

Jahatkah aku? Mungkin, tapi, bukankah itu karma yang harus mereka terima. Atas perih di hati yang selalu ditorehkan, adil bukan?

Malam yang sunyi, rintik hujan belum jua berlalu. Masih setia mengucur deras, sama halnya dengan perasaan cintaku untuk dia.

Menarik napas panjang, kusandarkan diri pada sofa di sudut kamar. Dengan gorden sedikit terbuka, ada rasa nyeri tatkala kedua netra kembali menatap foto yang diunggah pada aplikasi biru.

Sekelebat bayang akan kebersamaan kami, seakan berputar. Menambah pilu, membuat bahu terus terguncang. Merasa lemah, karena belum sepenuhnya kuat dalam menerima kenyataan.

"Melupakan seseorang yang dicinta, memang bukan perkara mudah. Perlu perjuangan dalam waktu panjang," ucap Ibu tanpa disadari sudah berada dalam kamar. "Selalu libatkan Allah, dalam hal apapun Mella. Jangan sampai cinta membuat kamu semakin terperosok, Ibu yakin. Kamu cukup kuat!"

Air mataku kembali jatuh, berhamburan memeluk Ibu. Satu-satunya wanita, yang selalu ada dikala hati senang maupun duka.

Beliau benar, aku tak boleh lemah. Gimana kalau mereka tahu, apa yang selama ini aku tunjukkan tak sesuai dengan faktanya?

Tentu mereka semua akan tertawa menang, sudah berhasil memporak-porandakan hati. Tidak! Itu bukan Mella banget.

"Besok, kamu pergilah ke dokter. Periksakan diri, agar ... Keluarga mereka tak lagi menuding tanpa bukti."

"Nggaklah Bu, buat apa? Semua itu tak lagi penting," kataku. Menolak keras, bahkan jika benar mandulpun aku pasrah.

Ibu mengurai pelukan yang sedari tadi melekat, menghapus bulir bening yang sialnya terus saja menetes. "Penting, Mella. Kalau benar gimana? Setidaknya, kamu bisa antisipasi ketika akan menikah lagi."

Mendesah enggan, kurasa fokusku sekarang tidak lagi pada anak. Lebih condong ke karier, satu-persatu dari mereka harus mendapat balasan setimpal.

Malam itu, nasehat Ibu tak lagi mampu menembus relung hati. Boleh dikatakan jika aku sedang dikuasai amarah besar, ingin melampiaskan segala penderitaan yang selama ini dialami.

***

"Lagi apa kamu di sini? Beli baju juga? Emang punya duit?" hardik Kak Indri, tatapannya yang tajam seakan menghunus jantung.

Dunia terasa sempit, dari sekian banyaknya Mall. Kenapa harus bertemu di tempat yang sama? Perkanalkan, Kak Indri merupakan mantan iparku yang baiknya nggak ketulungan!

"Sekarang duitku banyak, kak. Bahkan bisa melebihi dari Bang Afdal, dia sama aku jauh." Terkikik pelan, kubalas tatapan darinya. Dulu, Mella boleh takut dan tunduk padamu. Jelas, tidak untuk hari ini dan seterusnya!

"Ternyata benar yang Ibu dan Afdal bilang, kamu banyak duit sekarang. Dari mana coba, kalau bukan dari hasil jual diri." Berucap dengan kencang, Kak Indri tanpa merasa berdosa pasti sengaja membuat diriku malu.

Plak!

Satu tamparan keras, memang pantas untuk kamu yang nggak bisa jaga ucapan.

"Tutup mulutmu, Kak! Mau kaya ataupun miskin, itu bukan urusan kalian. Dan tolong, jaga sedikit ucapanmu. Aku ... Bukan wanita hina, yang rela menjual tubuh hanya demi rupiah."

Napasku makin tersengal, rasa amarah terasa bergejolak. Memutuskan untuk berlalu, mengabaikan teriakan mantan ipar yang nggak terima dengan tamparan barusan.

"Sial, sudah mandul ... kasar pula."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status