Dua
*** Dadaku bergemuruh hebat, menahan sesak di dada. Menatap dua sejoli tengah duduk di pelaminan, dengan rasa gembira terpancar nyata. Kugigit bibir, merasakan perih di sekitar sana. Namun, hatiku jauh lebih sakit ... Atas pemandangan hari ini. Menyaksikan pernikahan sang mantan, bersama wanita lain. Tahan, Mella. Haram bagimu untuk menjatuhkan air mata di sini, mereka tak akan merasa iba. Justru sebaliknya, bahagia di atas penderitaan yang tengah mencabik. Kesedihanku makin bertambah, sebab, memutuskan untuk datang seorang diri. Arghhh dasar kamu, Mella! Modal nekat, datang ke nikahan mantan lebih menyeramkan dari sekadar bertemu hantu. "Apa kabar Mella? Mantan mantuku, yang mandul juga miskin?" tanya seseorang, menghentikkan langkah yang sudah mantap ingin menaiki pelaminan untuk memberi selamat. Aku mendesah enggan, berbalik badan. Mendapati mantan mertua, yang tengah berkacak pinggang. Allahu Akbar, ujian apa lagi ini? Kenapa harus membawa embel-embel mandul dan miskin? Dua hinaan, yang amat melekat pada diri. Miris! "Pasti hatimu sedang tidak baik-baik saja, dengan pernikahan anakku dengan istrinya yang baru. Kasihan," cibirnya makin membuat hati kepanasan. Setidaknya, mereka menikah dikala kami sudah berpisah. Tidak terbayang, jika dulu aku pasrah untuk dimadu. Pasti, rasanya dua kali lipat lebih sakit. "Biasa aja, Bu. Kalau beneran sakit, ngapain aku belain ke sini. Bukannya nangis di rumah, sambil meratapi nasib." Menyeringai tipis, kutatap Ibu yang terus berdecak kesal. Aku tahu, tidak semua mertua memiliki watak seperti beliau. Di dunia ini, bahkan masih tersisa mereka yang baik hati pada sang mantu. Namun, takdir itu tak kunjung menyapa hidupku. Ahh, sekarang bukan waktunya untuk meratapi nasib. Terlihat lemah, hanya akan membuat mereka tertawa senang. Tunjukkan, bahwa diriku kuat! "Halah, paling bisa kamu Mella! Bilang aja, kamu kangen sama Afdal. Makannya belain datang, walau hati sedang terluka." Ya kalii, sampai segitunya! "Punya uang dari mana kamu? Bisa beli baju, tas, sama perhiasan bagus kayak gitu. Jangan-jangan benar kata Afdal lagi, kamu ... Memang tengah menjadi simpanan Om-om." Aku tergelak, tak habis pikir dengan pemikiran mereka yang sempit juga picik. Om-om dari mana coba? Tuhan, selamatkan aku dari tudingan tak bermoral ini. "Bu, aku lapar. Apalagi terus mendengar ocehan Ibu, bikin perut terus berbunyi." Aku terkikik, dengan langkah gemulai menghampiri berbagai menu yang dihidangkan. Mengabaikan teriakan mantan mertua, yang masih tak terima dengan ucapan dariku. "Dasar kamu, nggak tahu malu! Harusnya buruan pulang, pake makan segala." Ibu terus meracau, hal biasa yang sering kudapat. Mencicipi menu dengan antusias, boleh kuakui jika masakan di sini begitu enak di mulut. Semoga saja tak ada racun, yang mereka masukkan. Ish! Dua kali menghadiri pernikahan. Dan kali ini cukup sial, karena sang mempelai adalah sang pujaan yang nyatanya masih bersemayam dalam diri. Beginilah nasibku, selalu dipandang hina. Kelak mungkin saja mereka akan bertekuk lulut, jika tahu bahwa aku sudah kaya. Yup, bahkan kupastikan mereka akan mengemis. "Ibu ngapain masih di sini? Nemenin aku makan? Um sweet," kataku sambil mengulum senyum. Aslinya sih, malas banget buat senyum. Apalagi jika ingat akan kejahatan yang sudah mereka perbuat, rasa dendam masih menyala dalam hati. "Geer kamu," cetusnya yang sama sekali tak mau beranjak dari tempat duduk. Dari kejauhan, masih bisa kulihat bagaimana Bang Afdal dan Andini. Tengah bersalaman dengan para tamu, senyum dan tawa seakan tak pernah bosan untuk menyelimuti. Dulu, aku juga pernah berada pada posisi itu. Bahagia bisa bersanding dengan kamu, Bang. Namun, semua sirna hanya karena sebuah tuntutan dari keluarga. Berbagai tudingan kalian berikan, menyakiti aku yang tak berdaya. Sekarang, makanan ini terasa hambar. Boleh kuakui, jika cinta ini masih terpatri untukmu seorang. Belum ada yang mampu menggantikan, hanya saja rasa sakit begitu mendominasi diri untuk tidak mau kembali. "Kamu lihat Mella, bagaimana Afdal dan Andini? Serasi bukan? Mereka memang pasangan paling sempurna," pujanya sambil berdecak kagum. Menambah kenyerian di hati! "Ibu lupa ya, kalau di dunia ini jelas nggak ada yang sempurna. Sifat itu, hanya Allah yang memiliki." Tersenyum getir, kutatap Ibu. Wanita yang pernah menjadi bagian keluarga, kini semakin jauh tak tergapai. "Sok alim kamu, Mella! Udahlah nggak usah kebanyakan drama," umpatnya yang masih saja dibakar amarah. Hening. Netra kami sama-sama menatap mereka, yang tengah menjadi sorotan. Bak artis sehari, yang selalu menjadi pusat perhatian. Sudah cukup! Tangisku ingin meledak sekarang juga, dan mereka tak boleh tahu. Hati dan fisik harus kuat, demi segalanya. "Mella pamit, Bu." Aku berucap, hendak mencium punggung tangan beliau. Namun, ditepis kasar. Kembali menggali luka, yang masih menganga lebar. Melangkah gontai, terpaksa aku harus menemui kedua mempelai. Memberi selamat, atas pernikahan yang terjadi di atas luka orang lain. Para tamu sudah mulai bepergian, kini tinggallah aku sendiri. Menghadapi mereka, yang netranya terus berpusat padaku. "Berani juga kamu datang," ujar Bang Afdal. Seperti biasa ketus, dan tampak tak peduli. Kalau bukan karena undangan kamu, Bang. Mana mungkin aku datang, demi membuktikan diri cukup kuat menerima segala hal. "Habis ini, pasti dia nangis d4rah." Keduanya tergelak, padahal aku sedang tidak melakukan hal yang lucu. "Kepedean banget, waktuku akan sangat menjadi tidak berharga. Bila terus menangisi dirimu, Bang." Apaan sih, harusnya kamu. Bukan Abang! "Aku doakan agar kamu cepat hamil, Andin. Biar nggak dicap mandul, dan dit3ndang oleh mertua juga suami." Kulirik wajah Andin, berubah merah. Tangannya mengepal kuat, menggeram marah karena bisa jadi tak suka dengan ucapanku barusan. Meninggalkan pelaminan denga keduanya saling membeku, aku cukup puas hari ini. Rasa sakit tak lagi mendera, semoga saja diri semakin terlatih. Kelak, kalian akan tahu. Sedang berhadapan dengan siapa, aku ... Bukan Mella yang dikenal seperti dulu. Aku akan membalaskan dendam, dengan cara cantik juga elegan. Tunggu saja, di babak selanjutnya. ***Tiga***Sebulan berlalu, dan sang mantanpun sudah menikah dengan wanita lain. Namun, rasa cinta ini seakan enggan untuk pergi. Harusnya, perasaan lenyap seiring dengan luka yang dia beri. Cintaku memang buta untuk dia, perlu tambatan hati yang baru. Tapi pada siapa? Menjadikan seseorang untuk pelampiasan, bukannya sesuatu yang tak baik? Mengetuk kepala dengan keras, berharap rasa itu segera pergi. Menjelma menjadi benci dan dendam, yang ingin segera terlampiaskan.Harusnya cinta kita masih bisa disatukan, kalau saja tak ada aral melintang. Mertua selalu menjadi hambatan utama, belum lagi kehadiran ipar. Semua begitu ribet, membuat tali pernikahan kami tercerai berai. Menahan sesak di dada, kuhapus bulir bening yang sempat berjatuhan. Tak mudah menjalani hidup tanpa dia, cinta sejati yang kukira akan terpisah hanya karena ajal. Kutatap lekat, sebuah foto yang masih tersimpan di dalam ponsel. Dia yang tampan, rupanya hanya terbungkus dari penampilan luar. Dalamnya begitu busuk, men
Empat***"Andini hamil. Dan bukti tersebut, cukup kuat untuk menjabarkan siapa yang tengah mengalami kemandulan di sini." Jiwaku sakit seakan tak berkesudahan, doaku tempo lalu rupanya tak diijabah. Dunia masih senang mempermainkan diri, dengan kabar menyesakkan. "Benarkah? Yakin, kalau itu benar-benar anakmu? Kalau dia bohong gimana?" cecarku, jelas masih menampik kenyataan yang ada. Kenapa hanya bersama Andin, cepat sekali Bang Afdal mendapat momongan?Tercekat dengan informasi yang ada, kunikmati segelas jus jeruk. Demi menetralkan segala asa, rela bertemu dirinya di sebuah Kafe. Sialnya, hanya untuk mendengar kabar bahagia yang jelas menusuk hati. "Jangan asal bicara kamu, Mell! Andin wanita kaya jua terhormat, tidak mungkin berbuat demikian." Mendengkus sebal, otakku terasa buntu untuk menjawab segala hal yang keluar dari mulutnya."Kamu ... Kerja apa sih? Tiap hari bawa mobil sendiri, penampilan juga ok banget. Kenapa nggak dari dulu, saat kita masih bersama? Mungkin, bisa ku
Lima***Hari yang suram, kantor kembali kedatangan tamu. Tubuhku seakan menegang, menatap satu kertas di tangan. Di sana tercatat jelas bawa produk kosmetik yang tengah kujalani, menjadi salah satu pemakaian berbahaya. Menekan kepala dengan keras, rasanya ini mustahil terjadi. Produk kami halal, sudah BPOM ada buktinya pula. Tidak mengandung zat berbahaya. Namun, wanita yang ngeyel itu tetap saja kekeuh dengan pendiriannya.Wanita cantik berbalut pakaian seksi, pasti dari kalangan atas. Hingga berani komplain langsung ke pusatnya, membuat diri merasa resah kala kesuksesan tengah berada di atas. Pikiranku tiba pada sosok Nyonya dan Tuan sewaktu kemarin, sedikit menerka bahwa ada sangkut-pautnya dengan kedatangan kemarin. Namun, bukti yang kuat amat dibutuhkan saat ini."Hello, gimana ini? Lihat wajahku, banyak bintik merah nggak jelas. Tanggung jawab kalian!" teriak si wanita, memegangi pipi sambil sesekali meringis. Drama apa ini? Dosakah jika aku berprasangka buruk pada orang tua
Enam *** Udara di luar teramat dingin, begitu menusuk tulang. Namun, keadaan di rumah sang mantan justru terasa membara. Tuan dan Nyonya, merupakan orang paling sulit dalam mengucap kata maaf. Dengan sedikit ancaman, akhirnya Listi mau mengakui banyak hal. Mengumpulkan kami di sini, menuntut kejelasan atas apa yang sudah mereka perbuat. Tatapan tajam dari mereka, seakan menghunus jantung. Mendesah resah, aku sadar tak pernah sedikitpun diharapkan berada di rumah ini. Janji, aku nggak akan bawa ini ke jalur hukum. Asal, mereka mau mengucap kata maaf. Nggak lagi ganggu kehidupan aku, diri perlu jua ketenangan. "Kamu, punya Pabrik kosmetik? Nggak salah? Bukannya, kerjaan kamu hanya seorang PSK?" cecar Bang Afdal, jika sedang begini mulutnya berubah pedas bak seorang wanita dengan tingkat kelemesan. Jangan sok tahu kamu Bang! Selalu saja menilai aku dengan sesuka hati, tanpa memikirkan bagaimana perasaanku yang terus dituding dalam berbagai hal. "Jangan kebanyakan halu kamu
Tujuh***Jantungku berdebar tak karuan, setengah jam berlalu hasil dari pemeriksaan belum jua keluar. Semoga masih ada harapan, duniaku akan sangat hancur jika sematan mandul memang benar adanya. Salahku, yang sedari dulu selalu menunda untuk memeriksakan diri. Kini, keluarga Bang Afdal seakan yakin bahwa akulah yang sedang bermasalah. Mendesah resah, otak mulai diselimuti banyak pikiran. "Mbak Mella," panggil seorang Suster. Membuat diri beranjak senang, "Silakan masuk, dokter sudah menunggu."Menarik napas panjang, langkahku terasa gontai. Ketakutan mulai menyergapi diri, ini merupakan kali pertama untuk aku. Senyum mengembang dari bibir sang dokter, kebetulan dia seorang wanita. Setidaknya lebih bisa mengerti, duduk dengan tenang beliau mulai membacakan hasil yang sudah kutunggu. "Jadi, kesimpulan dari semua yang sudah saya jelaskan. Mbak Mella ... Sehat, tidak sedang mengalami kemandulan." Alhamdulillah, air mataku menetes mengucap terima kasih berulang kali. Menatap hasil pe
Delapan***"Besar juga kantormu," pujanya. Namun, dengan suara yang terdengar ketus.Sekian lama tak berjumpa, entah apa yang membawa beliau datang. Dengan gaya khasnya, yang selalu menunjukkan ketidaksukaan.Netranya yang tajam, terus menyapu seluruh ruangan. Sesekali mulutnya mengoceh banyak hal, "Mella ... Ibu mau bicara."Aku mendengkus sebal, apa katanya tadi? Mau bicara? Nah, yang barusan apa? Ck, geram sudah rasanya. Merusak mood, yang sudah kubangun beberapa hari ke belakang."Bagi duit dong!" Tangan yang satu, dibiarkan menengadah. Tanpa rasa malu, "Anggap saja sebagai ganti rugi, 'kan selama menikah Afdal yang sudah banting tulang buatmu."Damn! Matre sekali dirimu, wahai mantan mertua! Sepeserpun aku tak sudi, membiarkan setiap jerih payah dinikmati olehmu! "Bu, itu 'kan kewajiban dia sebagai suami. Masa harus ganti rugi segala? Mana ada," elakku, tak mau diperalat begitu saja. "Banyak omong kamu! Katanya orang kaya, tapi, ngasih duit aja pelit. Lima puluh juta, lumayan
Sembilan***"Kesel aku sama kamu," kataku sambil melempar tas branded yang baru terbeli beberapa bulan lalu. Niat untuk pulkam, lagi tertahan karena ada satu hal penting yang tak bisa diwakilkan."Siapa sih orangnya? Memang, nggak bisa kamu tangani sendiri?"Mengibaskan rambut ke belakang, kutatap sekretaris tersebut. Menelisik wajah, yang tampak santai sambil tersenyum mencurigakan.Lagi, demi sebuah pekerjaan rela mengorbankan hati Ibu. Yang sudah meronta meminta pulang ke kampung halaman, beliau kekeuh ingin perginya bersama aku."Duitnya gede Mell," teriak Serly, antusias. Allahu Akbar, kalau sudah urusan yang satu itu dia memang parah. "Sayangnya, nih orang mau temu langsung sama kamu."Mendelik tajam, rasa kepoku seakan meronta. "Cepat katakan, dari Perusahaan mana dia?" Bukan menjawab, Serly hanya terkikik dengan senyum menggoda. Menyebalkan sekali, "Hm, dia ... Biasa masak. Kayak chef gitu."Netraku terbelalak sempurna mendengar pengakuan darinya. Chef? Lantas, apa urusannya
Sepuluh ***"Mell, ini rumah aku juga 'kan? Segera, setelah kita rujuk semua akan kembali seperti yang dulu." Aku meneguk ludah, demi mendengar kehaluan sang mantan. Benar nggak ada akhlak, memutuskan seorang diri tanpa bertanya terlebih dulu.Ketiganya merangsek masuk ke dalam rumah, mengabaikan ketidaksukaan yang terpancar jelas di kedua netraku dan Ibu. Enak saja, aku tetap nggak sudi! Jangan harap, kalian ikut menikmati setiap apa yang sudah menjadi perjuanganku selama hidup. "Pede sekali kamu, bahkan kamu belum tanya. Mau atau nggaknya, udah menyimpulkan sendiri. Ck," sahutku berdecak sebal. Kok, ada spesies macam mereka? Benar-benar langka, ya kali urat malunya sudah putus. Kak Indri dan Ibunya, terus menatap rumahku dengan netra berbinar. Sesekali terdengar pujian dari bibir mereka, takjub dengan apa yang sudah kuperoleh. "Pasti mau, sayang. Aku tahu betul, kamu nggak bisa hidup tanpa aku! Lagian, kekayaan yang kamu miliki saat ini. Pasti bukan hasil sendiri, bisa jadi ban