Pukul 3 dini hari tadi pesawat yang ditumpangi Bang Arsya mendarat di bandara. Abangku satu-satunya itu sedikit ragu saat kuminta lagi untuk datang lagi ke kota ini. Tiga minggu lalu aku juga sempat memintanya datang namun aku batalkan setelah drama perdebatan di taman sepulang dari membeli perhiasan. Bang Arsya sempat ragu dan sangsi begitu aku kembali menelpon untuk memintanya datang sebagai wali untuk lamaran yang sebelumnya dibatalkan."Jika bisa datanglah, Mas. Untuk urusan diterima atau tidak biarlah jadi takdir Alloh. Ini adalah salah satu dari ikhtiarku untuk mendapatkan jodoh." Kataku dua hari yang lalu. "Kamu laki-laki, gak malu apa ditolak dua kali?" Suaranya terdengar bernada tak suka. "Datanglah sebagai Kakakku. Masalah malu biar aku yang menanggungnya." Jangankan dua kali, ditolak sepuluh kali pun aku tak akan mundur. Masa laluku lebih memalukan dibanding dengan penolakan Nafisah atas cintaku. Jika hari ini aku kembali ditolak masih ada hari esok dan seterusnya. Satu,
Nafisah Pov. "Kalau kamu memang tidak mencintainya, kamu bisa menolaknya supaya dia berhenti mengharapkan kamu lagi." Kata-kata Mas Zamar tadi pagi masih terus terngiang di telinga dan pikiranku. "Kenapa mesti nunggu nanti sih? Hubungi saja sekarang, katakan kalau gak mau. Kasihan nanti dia malu," balasku. "Kalau gak cinta gak usah mikirin dia malu apa nggak!" Mas Zamar memang seenaknya. Bagaimana bisa aku tutup mata seperti itu. Kak Shaka sudah sangat baik padaku dan Qiara, teganya aku ingin memperlakukan pria itu didepan keluarganya. Kalau ditanya cinta, aku juga bingung dengan perasaanku sendiri. Aku bahagia dan nyaman ketika bersama pria dari masa laluku itu, namun untuk menikah lagi aku masih butuh waktu. Kegagalan di pernikahan pertamaku meninggalkan rasa takut yang cukup dalam. "Jangan melamun aja, gak lucu kalau kamu sampai kesambet. Malu dong sama rombongan keluarga Shaka." Astaghfirullah...... Spontan aku mengelus dadaku karena kaget. Aku yang bersandar di sandaran ran
Setelah makan siang sekitar pukul satu lebih, acara telah selesai. Semua tamu undangan sudah pulang dengan membawa bingkisan berisi kue dan nasi lengkap dengan teman-temannya. Hanya tinggal Mas Arsya dan Kak Shaka juga temannya, Angga beserta istrinya Miranda. Mas Zamar dan Mas Arsya duduk di teras rumah, entah membicarakan apa? Mungkin mengenang masa kuliah mereka. Sedangkan aku dan Kak Shaka berbincang dengan Angga juga istrinya, Miranda. Dari cerita Kak Shaka, dirinya dan Angga berteman sejak masih kuliah dan akhirnya kini sama-sama menjadi guru negeri yang ditugaskan di kota yang sama meski berbeda sekolah. Sebenarnya aku ingin membantu Mbak Sezha yang sedang beberes bekas makan para tamu. Namun kakak iparku itu menyuruhku untuk menemani Kak Shaka berbincang-bincang dengan Angga dan Miranda. Dari perbincangan dengan pasangan suami istri ini aku mendapatkan banyak nasihat dan pelajaran hidup. Ternyata Miranda sama sepertiku. Wanita dengan gamis dan kerudung Syar'i itu juga se
[Jadi benar, kamu bertunangan hari ini? Bukannya kamu sudah menolak pria itu, kenapa sekarang malah tunangan? Kenapa kamu sangat egois, tidak memiliki perasaan Qiara?] Egois katanya. Pria gil*.Eh tapi tunggu dulu, dari mana pria itu tahu aku bertunangan hari ini. Bukan hanya itu, bagaimana bisa dia juga tahu aku pernah menolak Kak Shaka. [Nafisah, jawab!] Mantan suamiku itu masih menggunakan nada tinggi untuk berbicara.Sontak Kak Shaka mengulurkan tangannya. "Berikan padaku!" pintanya dengan rahang mengeras. Ada kilatan amarah di sorot matanya. "Bentar," aku berdiri dan berjalan sedikit menjauh tapi Kak Shaka mengikutiku dan tetap berdiri di belakangku. [Nafisah, kamu dengar suaraku?] katanya dengan nada menantang. [Bisa gak bicaranya lebih sopan?][Nggak.] Tidak bisa. Aku juga bisa marah kalau terus dibentak. [Aku ingatkan kamu ya, Mas. Sekarang kamu bukan lagi siapa-siapa aku. Kamu tidak punya hak bentak-bentak aku. Jadi, jaga ucapan kamu atau aku tutup telponnya!!!] Apa di
Pagi ini aku akan pergi ke rumah Tiara setelah mengantar Qiara sekolah. Rencananya hari ini aku akan pamit untuk tidak lagi bekerja di tempatnya. Ini juga salah satu permintaan Kak Shaka juga Mas Zamar. Awalnya tentu saja aku menolak. Apapun alasannya aku ingin bisa memghidupi diriku sendiri dan Qiara. Tapi ucapan Mas Zamar juga benar."Nafkah seorang wanita itu ditangan ayahnya, jika sudah tiada berada di tangan kakak laki-lakinya. Apa kamu sudah menganggap aku tiada?" Itu kalimat Mas Zamar saat tahu aku bekerja di tempat Tiara. "Tidak perlu bekerja!! Kecuali kamu sudah menikah lagi, aku tidak akan ikut campur." Aku masih teringat jelas kata-katanya waktu itu. Kakak laki-lakiku itu sangat tegas. Dia bahkan mengancam akan menemui Tiara untuk meminta sahabatku itu memecatku. Beruntung Mbak Sezha berhasil membujuk suaminya itu. Dengan alasan jika aku hanya sekedar membantu saja. "Catering punya Tiara itu masih tahap merintis, Mas. Adikmu itu hanya sekedar membantu sebagai teman. Untu
"Aku kok jadi bingung siapa ya, yang ngasih tahu Mas Aska kalau aku sempat nolak Kak Shaka." Tiara langsung menatapku. "Mana aku tahu. Lagian itu bukan urusanku," jawabnya ketus lalu kembali sibuk dengan catatannya. Aku bukan curiga pada Tiara tapi melihat sikapnya yang mendadak ketus membuatku berpikiran negatif padanya. Meski benar dia yang memberitahu Mas Aska, aku juga tak akan marah. Toh, itu memang benar. Hanya saja apa motifnya memberi tahu Mas Aska tentang aku dan Kak Shaka. Bukankah awalnya dia sangat mendukungku untuk bercerai dan memulai hidup baru. Bahkan saat aku pertama cerita tentang Kak Shaka, dia memberikan support. "Kalau dia sudah berubah. Gak ada salahnya memberinya kesempatan. Yang penting dia mencintaimu dan bisa nerima Qiara." Katanya waktu itu. Suasana yang canggung membuatku tak nyaman. Akhirnya aku pamit pulang. Kuucapkan terima kasih lagi dan memohon maaf jika selama bekerja disini aku melakukan kesalahan. Tak hanya pada Tiara, aku pun meminta maaf pad
Author Pov. "Mama." Nafisah terpaku. Dia tak menyangka jika orang tua Aska akan datang ke rumahnya. Tubuhnya mendadak kaku sampai tak membalas pelukan ibunya Aska. "Kenapa diam saja? Nggak suka Mama datang kesini?" Halimah, mamanya Aska mengerutkan dahi melihat sang menantu yang hanya diam saja, seolah tak mengharapkan kedatangannya. "Ah.... bu-bukan begitu Ma. Aku hanya terkejut." Nafisah memberi alasan. "Kalian dari mana saja, kami hampir dua jam menunggu di depan rumah." Sahut pria paruh baya yang baru saja turun dari mobil. "Habis keluar cari makan Pa," jawab Nafisah lalu menoleh pada Shaka yang berjalan menyusulnya sambil menggandeng Qiara. "Kita masuk dulu ya, Pa, Ma." Nafisah mengambil kunci dari dalam tasnya dan segera membuka pintu pagar rumahnya. "Qiara sayang..... kok gak salim sih sama Nenek," ujar Halimah sambil cemberut lalu melirik pada sosok pria yang sedang menggandeng tangan cucunya. "Dia siapa? Saudara kamu? Lalu dimana Aska?" Perempuan berkerudung biru tua
"Maju, siapa yang mau membawa keponakanku!!!" Katanya lantang. Halimah langsung gemetaran. Wanita yang tadinya begitu galak begitu melihat Zamar nyalinya langsung ciut. Saking takutnya sampai hampir jatuh jika tidak dipegangi oleh Aska. "Mama gak papa? Sebaiknya Mama duduk saja." Aska menuntun Mamanya untuk duduk.Dari luar muncul Sezha bersama Aydan berjalan masuk lalu membantu Nafisah mengambil alih Qiara dari tangan Jatmiko. Saat pria paruh baya itu menolak Shaka dengan sigap memegangi lengannya. "Lepaskan, atau keselamatan kalian jadi taruhanya. Saya bisa lebih kejam dari Mas Zamar jika itu tentang Nafisah." Bisik Shaka dengan rahang yang mengeras. Sejak tadi dia diam bukan berarti takut. Dia hanya berusaha sabar karena sadar akan posisinya. Tapi kesabarannya mulai terkikis habis oleh air mata Nafisah. Perlahan Jatmiko pun melepaskan tangannya dari tubuh Qiara. Pria itu mundur, sadar tak akan menang jika adu otot dengan pria yang jauh lebih muda darinya apalagi sekarang ada Z