“Apa? Nggak salah?” Septian terbelalak menatap Deo. “Jadi ... Freya nikah sama kakak lo sendiri?” Deo mengangguk sambil tersenyum singkat. “Terus elo nikah sama Veren buat ... sejenis pelampiasan?” tebak Septian tidak mengerti. “Ya nggak gitu juga,” tukas Deo. “Secara kebetulan gue ketemu Veren pas gue selesai nganter kakak gue ngelamar Freya. Gue nolongin Veren pas tuh anak mau bunuh diri gara-gara diputusin. Karena ujan deres banget, gue sama dia neduh di pos ronda kampung sebelah.” Septian mulai memandang Deo dengan sangat antusias. “Ujannya kan lama, jadi gue sama Veren nggak sengaja ketiduran. Apesnya, ada warga yang ngelihat. Terus gue sama dia digerebek atas tuduhan perbuatan yang tidak pantas. Ujung-ujungnya mereka nyuruh gue nikah dalam waktu dua minggu.” Deo melanjutkan ceritanya. “Elo nurut gitu aja, nggak nolak?” tanya Septian penasaran. “Gue sama Veren udah mati-matian nolak,” jawab Deo. “Tapi percuma, warga kampung sebelah tetep maksa gue buat nikah, karena merasa
“Aku nggak bisa, Mas!” kata Freya gugup. “Kamu biasanya nggak nyuruh kayak gini, tapi kamu langsung ...”“Justru biar kamu terbiasa,” kata Gennaro lagi. “Aku mau kita lebih deket lagi sebagai pasangan, biarpun kita nggak pernah pacaran sebelumnya.”Freya menelan ludah. Dia harus mengakui bahwa berada di dekat Gennaro tidak senyaman saat dia berada di dekat Deo.Tetapi dia sudah memilih Gennaro untuk menjadi suaminya, mau tidak mau dirinya memang harus membiasakan diri untuk bisa seintim mungkin dengan laki-laki ini.***Ketika kuliahnya menginjak awal semester empat, Deo baru menyadari bahwa dia sekampus dengan Ertania, cewek belia yang dulu sering berdiri di depan pintu gedung futsal.Deo tidak sengaja bertemu Ertania saat dia sedang menunggu mata kuliah berikutnya di taman kampus. Untungnya Septian tidak sedang bersamanya, sehingga Deo bisa lebih leluasa menyapa cewek itu.“Ertania!”Cewek belia itu menoleh dan dengan cepat mengenalinya.“Amadeo? Kuliah di sini juga?” sapanya antusi
“Gue duluan ya, Sep? Veren mau nyamperin gue ke sini,” kata Deo sambil bersiap pergi. Septian menganggukkan kepalanya sementara Deo berjalan pergi meninggalkan kantin.Di taman kampus, Deo mengambil ponselnya dan bermain game selama menunggu kedatangan Veren. Seru sekali dia bermain sampai tidak peduli pada keadaan sekitar, termasuk ketika beberapa mahasiswa berbisik-bisik di dekatnya.“Mati lo! Mati lo! Mati lo!” bisik Deo menghayati game yang sedang dimainkannya.“... kasian, abis jatuh kali dia ...”“... itu darahnya nggak brenti-brenti ...”“... nggak berani nolong gue, takut tambah parah ...”Deo menoleh ketika bisik-bisik di sekitarnya semakin ramai. Dilihatnya seseorang sedang duduk di belakangnya dan sibuk mengusap wajahnya dengan tisu berhelai-helai.“Tania?” Deo melongok dan melihat cewek itu agak kerepotan menghentikan aliran darah yang keluar dari lubang hidungnya.“Deo?” Tania menoleh memandang Deo sambil menyumpal hidungnya dengan tisu agar darahnya mampet.“Kamu mimisa
“Oh, sebelomnya emang udah pernah ketemu?” komentar Veren. “Di mana?”“Pas gue latihan futsal,” kata Deo jujur.“Dia ikut main futsal?” tanya Veren polos.“Enggak, dia nunggu temennya di gedung futsal,” jawab Deo memperjelas.Septian pikir Veren akan mencak-mencak seperti di adegan-adegan film perselingkuhan yang sering ditonton ibunya di kala senggang. Namun ternyata reaksi Veren nampak biasa-biasa saja, meskipun Deo nyata-nyata telah menggendong cewek lain tepat di depan kedua matanya.Pasangan yang absurd, begitu pikir Septian.***Sepanjang perjalanan ke rumah orang tuanya, Deo dan Veren terdiam tanpa sedikitpun membicarakan soal Tania lagi. Seumur-umur, baru sekali itulah mereka terjebak dalam suasana kecanggungan yang sangat aneh.Veren yang biasanya cerewet, lebih memilih diam seribu bahasa saat Deo membawanya pulang dari kampus ke rumah orang tuanya. Deo sendiri merasa tidak punya hak untuk memulai pembicaraan, sehingga dia membiarkan saja kecanggungan ini terus terjadi.Sesa
Tanpa perlu melucuti pakaiannya, Deo menjatuhkan dirinya sendiri namun Veren berhasil berguling tepat waktu sehingga tubuhnya tidak tergencet.Veren buru-buru bangun dan turun dari tempat tidur, tapi Deo tidak kalah cepat. Dia mengulurkan tangannya dan berhasil menarik baju yang dipakai istrinya hingga robek.“Yo, lo udah gila?” pekik Veren histeris.Deo tidak mengerti setan apa yang telah merasukinya, dia terus menarik baju Veren yang sudah robek dan dalam sekali sentak, Veren berhasil jatuh menimpanya.“Pokoknya lo harus tanggung jawab kali ini,” kata Deo sambil memandang tajam Veren yang kini berada di atas tubuhnya.“Jangan Yo, gue nggak mau!” Veren menggeleng dengan rambut yang sudah sangat berantakan. “Lepasin gue!”Tetapi Deo sudah tidak peduli apa pun lagi, darah muda yang mengalir dalam dirinya sudah menggelegak tanpa mampu dikontrol olehnya. Endapan magma panas yang bergolak menuntutnya untuk segera diletuskan keluar.Dengan gerakan cepat, Deo membalikkan posisinya hingga Ve
“Makan, Kak.” Deo mengangkat sendoknya kemudian mulai mengeksekusi bubur ayamnya.Gennaro hanya tersenyum singkat, dia kurang suka makan di depan jalan seperti ini karena khawatir wajahnya bisa belepotan dan akan sedikit mengurangi nilai plusnya di hadapan orang-orang.Berbeda sekali dengan Deo yang fleksibel dan cuek, oleh karenanya dia mampu makan kapanpun dan di manapun selama dia lapar. Masalah risiko wajahnya belepotan kena makanan, itu hal yang wajar dan bisa diatasi dengan dilap menggunakan serbet.“Kakak kalo mau kejar tayang buat ngasih mama cucu, aku dukung kok,” kata Deo di sela-sela makannya. “Tinggal Kak Freya-nya aja gimana.”“Temen-temenku udah pada punya momongan semua soalnya,” timpal Gennaro. “Sip,” sahut Deo dengan mulut penuh. Dia lapar sekali setelah semalam bertengkar hebat dengan Veren.Deo sebenarnya hanya terpancing emosi sesaat karena kata-kata nyelekit Veren yang terus saja menyudutkannya. Padahal Veren sendiri yang tanpa sadar memulainya dengan melanggar b
“Lo bener-bener mancing kesabaran gue ya, Ver?” desis Deo sambil membungkuk memandang Veren yang menutupi aset-asetnya dengan kedua lengannya. “Kurang baik apa gue sama lo? Elo tuh nggak ada hormat-hormatnya dikit ya sama suami?” Veren cemberut kesal. “Elo duluan yang lempar kaos ke muka gue!” sergahnya. “Lo mau tahu kenapa kaosnya sampe gue lempar? Karena gue nggak mau lihat elo cuma belitan handuk doang!” tegas Deo. “Kalo elo nggak mau gue sentuh, lo juga jangan seenaknya ngumbar tubuh lo di depan mata gue.” “Gue kan nggak punya baju ganti, wajar dong gue cuma belitan handuk?” Veren membela dirinya. “Kan elo yang udah ngerobekin baju gue, nggak inget?” Deo terdiam. Ada benarnya juga sih, batinnya. “Tetep aja, kalo elo ngelempar balik kaos itu, handuk lo nggak akan merosot kayak tadi.” Kali ini Deo tidak mau disalahkan. “Sekarang lihat tampilan lo, udah kek manusia purba betina.” “Enak aja kalo ngomong!” sergah Veren sambil berusaha melontarkan Deo dari tubuhnya sebelum suasan
“Lah, emang lo nggak pengin suatu saat nikah sama wanita yang lo cintai lahir batin?” tanya Veren lagi. “Wanita yang mau jadi ibu dari anak-anak lo entar? Yang mau nemenin lo dari nol sampe sukses dunia akhirat?”“Amin ....” Deo menimpali.“Kok ‘amin’? Elo kepingin nggak sih?” tukas Veren sambil menepuk-nepuk bantalnya.“Ya pengin lah,” sahut Deo. Terbersit dalam pikirannya bahwa dia ingin wanita yang betul-betul wanita: anggun, lembut, sopan, dan mau nurut. Tidak seperti Veren yang walaupun dia wanita tulen, tetapi dia tidak anggun, tidak lembut, kurang sopan, dan susah diatur.“Ya ayo, lo mesti nyari jauh-jauh hari.” Veren mengingatkan. “Enggak deh,” tolak Deo. “Nggak sekarang juga.”“Tapi kan ...”“Lo mikir nggak sih, mana ada wanita baik-baik yang mau sama suami orang?” potong Deo. “Pelakor dong namanya.”Veren mengerucutkan bibirnya.“Lo jangan berharap banyak deh sama orang yang tertarik sama pasangan orang lain,” kata Deo. “Karena orang baik-baik nggak akan mau merebut seseora