Siladiang Kamba mungkin merasa senang karena berhasil mendaratkan satu tendangan ke dada si Kuciang Ameh. Sayangnya, gerakan itu justru memang disengaja oleh si Kuciang Ameh, sesaat sebelum tendangan Siladiang Kamba mencecah dadanya, si Kuciang Ameh dengan sangat cerdik menahan telapak kaki lawannya itu dengan punggung tangannya.
Yang dilihat oleh Siladiang Kamba alias Rumada bahwa si Kuciang Ameh meremas dadanya sendiri akibat terkena tendangannya itu.
Tubuh si Kuciang Ameh terpental jauh ke belakang, itu juga merupakan hal yang memang disengaja pria gagah tersebut untuk bisa mendekati Sijundai Bakuku Api alias Daro.
Terbukti ketika tubuh si utusan kerajaan itu masih melayang ke arah belakang, Sijundai Bakuku Api langsung menyongsong.
Dua tangan mengembang ke samping siring tubuh yang melesat mengejar ke arah si Kuciang Ameh. Sepuluh kuku menekuk dan semakin memerah saja laksana dikobari bunga api.
“Mati kau, Kuciang Ameh!” Sepuluh kuk
Serangan yang datang tiba-tiba dari arah belakang itu tidak mungkin diabaikan begitu saja oleh si Kuciang Ameh. Siapa pun pembokong itu, yang jelas dia tidak bermaksud baik.Karena tidak punya pilihan lain, si Kuciang Ameh menarik dengan cepat cakar tangan kirinya yang menahan serangan Sijundai Bakuku Api, lantas dengan kecepatan yang luar biasa pula tangan kirinya itu ia hantamkan ke arah belakang dengan pengerahan tenaga dalam penuh.Crass…!Dhuumm!Praang!Kawasan di sekitar mereka, yang kini bertambah menjadi empat orang, bergetar hebat dengan benturan empat tenaga dalam berbeda dan akhirnya meledak menghasilkan suara dentuman keras yang seolah teredam.Empat tubuh sama terpelanting. Si Kuciang Ameh yang akhirnya harus merelakan dadanya dirobek oleh kuku-kuku Sijundai Bakuku Api terhempas kencang ke tanah, terpelanting ke arah kanan, terguling-guling sejauh beberapa langkah. Ia dengan cepat memutar tubuhnya dan terhenti dengan pos
Masuga tidak dapat memastikan siapa yang menghampiri dirinya itu. Ia mengangkat wajahnya demi bisa memastikan sosok tersebut, tapi pandangan matanya memburam sebelum akhirnya ia kembali terhempas tak sadarkan diri.“Uda Masuga!”Gadis delapan belas tahun itu bersimpuh di tanah, memapah kepala Masuga ke pangkuannya. Dengan tangan yang gemetar, ia mengusap wajah yang tertutup tanah dan darah.Sang gadis memandang ke sekitar, namun tidak ada seorang pun yang bisa ia mintai bantuan saat itu. Hanya seekor kuda hitam milik Masuga itu saja yang masih berada di bawah pohon rindang.“Uda Masuga, bertahanlah,” ujar sang gadis. “Jangan mati.”Tatapan sang gadis tertuju ke arah dada Masuga di mana pakaian pria itu robek dengan banyak noda darah di sana. Saat sang gadis menyibakkan pakaian di bagian dada pria tersebut, sang gadis terkesiap.Setidaknya, ada empat luka memanjang di dada si utusan kerajaan itu. Sang gadis
Buyung Kacinduaan membulatkan tekadnya, menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya melompat ke satu batu besar di sisi kiri, lalu melompat lagi ke batu di sisi kanan. Sampai di sini, ia masih bisa mengikuti pola lompatan awal dari sang harimau putih.Namun, batu selanjutnya tidak akan mungkin bisa ia capai dengan melompat begitu saja, terlalu jauh dan terlalu tinggi untuk bisa ia loncati.Jadi, ia pun mulai merangkak, berpegangan pada batu-batu yang lebih kecil. Sejengkal demi sejengkal ia terus menaiki dinding tebing itu.Jari-jari tangan mencengkeram dengan kuat dan terkadang harus ia benamkan dengan sedikit paksaan tenaga ke dalam tanah sebab tidak ada batu yang bisa ia gunakan sebagai pegangannya. Begitu pula dengan jari-jari kakinya.Setapak demi setapak sang bocah merayapi dinding tersebut, dan sekejap saja, kini ia sudah berada di setengah ketinggian tebing.Keringat mengalir deras di wajah dan seluruh tubuhnya. Buyung menyadari hal ini aka
Sang gadis menemui ayahnya yang menyusul ke belakang. Di tangan pria tua dan kurus itu ia membawa seikat talas dan sebuah bungkusan dari daun pisang.“Abak,” sapa sang gadis seraya mendekati sosok itu. “Apa yang Abak bawa itu?”“Aku telah mencoba bertanya-tanya pada orang-orang di balai[1], Upik,” kata pria tua. “Dan aku telah mendapatkan berbagai macam tanaman yang mungkin saja bisa menyembuhkan Datuk Hulubalang itu.”“Abak,” sahut sang gadis dengan wajah cemas. “Abak semestinya tidak melakukan itu. Bagaimana nanti jika orang-orang menjadi curiga? Dan, dan pasti Uda Masuga akan mendapat celaka, Abak.”“Abak tahu, Nak,” ujar si pria tua. “Tapi Abak kasihan kepada dia.”“Abak telah membahayakan nyawa Uda Masuga!”Pria tua tersenyum, lalu menyodorkan bungkusan daun pisang itu kepada sang anak. “Kau ambillah dulu ini.&rdq
“Uda Masuga,” ujar sang gadis sembari tetap mencoba untuk menahan tubuh sang pria agar tidak terjatuh ke lantai tanah. “Tenanglah, Uda. Tenanglah… kumohon!”Suara sang gadis terdengar bergetar dalam ketakutannya, bahkan, air mata bergulir menuruni wajahnya yang tirus.Sekian waktu berlalu dengan kondisi Masuga yang seperti itu, dan sang gadis tak hendak menjauhkan tubuhnya barang sekejap pun. Ia terus memeluk dan menahan gelinjang tubuh Masuga yang ia yakin itu pastilah sangat menyakitkan.Ia terus menahan dengan air mata yang berlinang sampai gelinjang di tubuh pria itu akhirnya terhenti.Sang gadis menyeka air mata di pipinya, lantas memerhatikan kondisi Masuga.Pria itu kini terlihat lebih tenang. Tidak ada lagi gelinjang, tidak pula tubuh yang bergetar, tidak juga suara-suara geraman atau erangan menyakitkan seperti tadi.Meski masih dalam kondisi cemas, namun ada satu senyuman di sudut bibir sang gad
Sang ular besar masih melawan meski kepalanya berada dalam cengkeraman rahang sang harimau putih. Tubuh panjang bersisik itu kembali meliuk-liuk hendak membelit tubuh sang harimau. Sekali lagi Harimau Putih Bermata Biru menampar dua kali tubuh sang ular, luka-luka robek di tubuh sang ular kian banyak. Dan kembali sang harimau mengentakkan kaki belakangnya, menginjak tubuh sang ular. Lalu… Crass…! Sang harimau putih menggigit lebih kuat lagi kepala sang ular hingga berderak dan remuk, barulah tubuh sang ular perlahan-lahan berhenti meliuk-liuk. Semua kejadian di depan matanya itu diperhatikan dengan saksama oleh Buyung Kacinduaan dari balik persembunyiannya. Semua gerakan sang harimau dalam mengelak, memancing, dan menerjang sang ular terekam baik di dalam ingatan sang bocah. Di sini, insting dan bakat silatnya yang diturunkan dari sang ayah, Sialang Babega, kepada Buyung Kacinduaan berperan penting. Sang harimau melepaskan ceng
“Inyiak, tolong…!” Buyung Kacinduaan berusaha untuk berteriak kencang, hanya saja sesuatu yang ada di tenggorokannya itu seolah meredam suaranya.Dan hal itu, semakin membuat sang bocah terbatuk-batuk, wajahnya sudah memerah. Jika sesuatu itu tidak segera dikeluarkan, sang bocah mungkin akan kehabisan napas.Sang harimau putih menoleh ke belakang, menatap sang bocah dengan pandangan mata menyipit. Pupil matanya yang serupa elips vertikal itu tiba-tiba membesar.Dengan cepat sang harimau bangkit dan mendekati sang bocah.Sang bocah tak mampu lagi menahan gatal, geli, dan batuk-batuknya itu. Jadi, ia menepuk dengan sangat kuat tenggorokan dan dadanya secara bersamaan.Tiba-tiba ia merasa tenang, meski masih terbatuk-batuk, sang bocah bisa tersenyum sebab sudah tidak merasakan tenggorokannya tersumbat sesuatu. Ia bernapas dengan lega, menghirup udara segar sebanyak-banyaknya.Yang sebenarnya terjadi adalah, ketika Buyung Kaci
Begitu empedu ular itu masuk ke dalam mulut Buyung Kacinduaan, sang harimau putih langsung mengangkat kakinya dari leher dan dada Buyung. Dengan cepat pula, kaki harimau putih yang menekan leher itu tadi menahan kepala sang bocah.Sekali gerakan yang penuh perhitungan tajam dari sang harimau putih sendiri, telapak kakinya yang besar dan berbantal-bantal itu mampu membuat sang bocah jadi terduduk dalam ketidaksadarannya.Dengan kondisi yang demikian itu, empedu ular yang licin itu langsung turun ke lambung sang bocah.Dan di sinilah perjudian yang sebenarnya dimulai.Pertama, cacing-cacing transparan dan bercahaya kebiruan itu sendiri sesungguhnya sangat-sangat beracun andai tidak mengetahui bagaimana cara memakan yang sesungguhnya. Itu sebabnya, selama ini, sang harimau putih selalu melemparkan batu ke arah cacing-cacing itu bergelantungan di langit-langit gua.Sang harimau putih yang sangat didewakan oleh masyarakat di sekitar Ngarai Sianok tahu p