"Ak-aku..." Murni nampak tergagap dan hal itu yang membuat Randi semakin kesal. Kini ia melangkah pergi untuk menenangkan diri. "Kamu mau ke mana, Mas?" Murni mencoba mengejar suaminya."Aku kecewa sama kamu, Murni. Kalau kamu tidak bisa move on dari Hanif, seharusnya kamu bicara, bukan malah kaya gini. Jujur saja aku mulai ragu dengan kelanjutan hubungan kita," ucap Randi. Kini ia hanya bisa pasrah, hatinya begitu sakit ketika sang mertua membandingkannya dengan Hanif.Tak bisa dipungkiri, kini hatinya tertanam rasa kebencian pada lelaki itu.***"Hanita titipin sama Ibu saja, Sayang. Kita ke pasar berdua," ucap Hanif saat mereka selesai melaksanakan salat subuh."Boleh, Mas. Banyak yang harus kubeli," jawab Tania sambil melipat mukenanya. Setelah itu ia duduk di samping sang suami dan menyandarkan kepalanya di pundak Hanif."Sayang banget," ucap Hanif sambil mengecup kening istrinya. Tania tak menjawab, tetapi ia balas kecupan suaminya dengan pelukan hangat."Kamu sayang aku nggak
"Kamu siapa!" bentak Murni. Terdengar tawa dari seberang telepon seakan mengejeknya."Aku wanita yang bisa memberi kenyamanan buat suamimu," jawabnya santai. "Aku mau bicara sama suamiku!""Suami kecapean, makanya dia tertidur, udah ya, aku mau lanjut tidur dulu, bye bye istri orang." Setelah mengatakan itu panggilan pun di matikan."Arg!" Murni membanting ponselnya, ia benar-benar tidak terima. Setelahnya terdengar suara anaknya yang menangis karena terganggu dengan suara teriakannya, karena masih marah Murni seolah tidak peduli pada anaknya tersebut.Yang namanya bayi, ketika menangis tidak segera ditolong maka akan semakin kencang saja suara tangisannya dan hal ini memicu kemarahan Murni semakin memuncak."Kami bisa diam nggak sih! Diam nggak, aku pusing kalau kamu nangis terus!" bentak Murni. "Diam!" Suara Murni semakin tinggi dan hal itu memicu kedatangan ibunya."Ada apa Murni? Kenapa kamu marah-marah pada anakmu?" tanya ibunya sambil mengangkat sang cucu."Ibu keluar, tidak s
Hanif terlihat lesu setelah berbicara dengan bosnya tersebut. Sebenarnya siapa dalang dalam penggelapan uang perusahaan? Siapa juga yang sudah membuat laporan palsu?"Kenapa, Mas? Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Tania."Ada orang yang menggelapkan uang perusahaan, juga membuat laporan palsu," jawab Hanif."Lalu? Bosmu menuduhmu yang melakukan itu semua?" Hanif menggeleng. "Aku dapat tugas untuk menyelidiki karena kejadiannya setelah aku ambil cuti.""Lalu apa yang membuatmu sedih? Hanif menghela nafas panjang. Ia takut istrinya akan marah dan kecewa."Mas," panggil Tania sambil memegang tangan suaminya."Liburan kita tidak bisa lama karena aku harus segera balik ke Jakarta."Tania diam, ia sebetulnya kecewa tapi ini sudah menjadi resiko suaminya. "Masih ada waktu lima hari, kita manfaatkan untuk bulan madu kita dengan sebaik-baiknya," ucap Hanif sambil membelai rambut istrinya. Ia tahu saat ini istrinya tengah kecewa karena niat awal liburan ini akan panjang, ternyata perusahaa
Tekad Murni sudah bulat, ia ingin hidup bersama suaminya. Ia tak mau dicerai oleh Randi, ia tak mau kehilangan orang yang dicintainya untuk kedua kali."Aku akan ikut, Mas. Tolong kamu bantu aku, jangan tinggalin aku," jawab Murni dan mulai mengemasi bajunya juga baju anak-anaknya.Melihat istrinya yang lebih memilih dirinya, Randi pun mendekat dan langsung memeluk tubuh Murni. Sejenak Murni menumpahkan semua tangisannya di dalam dekapan sang suami."Maafin aku, Sayang, jika menurutmu aku belum sesempurna Hanif," lirih Randi dan nyaris tak terdengar.Murni menggelengkan kepalanya dengan cepat, sejujurnya ia tak suka jika ada yang membandingkan suaminya dengan Hanif.Hanif lelaki sempurna dan telah mendapatkan istri yang sempurna juga, tapi saat ini orang yang sangat berarti dalam hidupnya tetaplah Randi, sebanyak apapun kekurangan dalam diri suaminya, tetapi Randi tetaplah nomor satu di hatinya."Jangan bicara seperti itu, aku nggak suka. Intinya aku sayang kamu apa adanya," jawab Mur
"Aku ke sini untuk mengambil anak suamiku," ucap wanita itu yang tak lain adalah Via. Dia tak datang sendiri tetapi datang bersama wanita paruh baya, Murni sendiri tahu siapa wanita di sebelahnya karena memang tak pernah bertemu."Dia anakku," jawab Murni yang paham akan maksud perempuan itu. Seketika ia teringat akan ucapan mantan suaminya yang mengatakan jika sampai kapanpun ia tetap ayahnya Farel."Kamu tidak lupa kan, jika Beni adalah ayah anakmu, kurasa ingatanmu masih kuat, jadi Beni menyuruhku untuk membawa Farel," jawab Via dengan sesantai mungkin."Aku tidak akan memberikan anakku.""Kamu jangan lupa, Murni, jika dia juga anak Beni, dan Beni juga berhak atas anak itu," ketus Via."Tapi aku yang mengurusnya, aku yang memberi kasih sayang, bukan Beni," tekan Murni."Kalau kamu tidak mau memberikan anak itu padaku, maka biar Beni sendiri yang akan mengambilnya," jawab Via dan langsung beranjak, tapi wanita di sampingnya itu tak mengikuti langkah Via tetapi malah mendekat ke arah
Mendengar ucapan suaminya, Tania tak kuasa menahan air matanya. Kini dengan cepat ia pergi dari hadapan Hanif dan mengurung diri di kamar.Hanif yang sadar akan ucapannya lantas mendekati istrinya."Sayang, maafin aku," ucap Hanif lembut sambil meraih pundak istrinya."Kamu tidak salah, akunya saja yang bebal dan tak bisa dibilangin," jawab Tania dengan isak tangisnya. Kini ia menunduk, sakit banget dikatain seperti itu apalagi selama ini Hanif nyaris tak pernah berkata kasar padanya."Maksudku bukan itu." Hanif berkata pelan sambil meraih tubuh istrinya dan membawanya ke dalam dekapan."Aku akan kembalikan uang ini pada ibunya Mas Randi, kalau dia mau minta tolong, biar pada orang baik yang mau menolongnya," ucap Tania dan langsung beranjak. Kini ia usap air mata itu."Jangan seperti ini, Tania," ucap Hanif sambil menahan kepergian istrinya. Bukan tak mau dimintai tolong, tapi Hanif lebih menjaga rumah tangganya, ia tak mau sampai kejadian waktu dulu terulang lagi. "Sayang, aku mint
"Lanjut saja, Mas," ucap Murni saat suaminya itu menghentikan motornya sejenak. Sama seperti yang ada dalam pikiran istrinya, sepertinya ia tak asing dengan corak baju itu, tapi hatinya mengatakan mungkin saja yang punya baju model itu banyak dan bukan satu orang saja.Menempuh waktu seperempat jam untuk keduanya sampai di kontrakan mereka. Kontrakan itu terlihat kecil dan tidak seperti rumah ibunya yang besar, tetapi Murni menerima, mungkin dengan ini konflik bersama suaminya bisa lebih dihindari."Semoga betah," ucap Randi sambil membantu anaknya turun dari motor. "Aku akan betah, Mas, selagi aku bisa bersama kamu terus," jawab Murni. Kini mereka masuk ke rumah tersebut, dan di sana semuanya sudah tersusun rapi. Randi memang sengaja membersihkan dahulu sebelum memboyong anak istrinya ke sini.Kontrakan itu terdiri dari dua kamar dan satu ruang tamu, kamar mandi pun berada di belakang dekat dengan dapur."Farel kamarnya di sana, ya?" ucap Randi sambil membawa anak sambungnya tersebu
"Sekarang coba kamu lihat, mana ada aku tanggapi pesan Laura. Cemburu boleh, Sayang, tapi lihat-lihat juga," ucap Hanif pelan karena tak ingin membangunkan sang anak kalau sampai ia berbicara keras."Apanya yang dilihat, Mas? Aku dengar sendiri apa yang diucapkannya. Beruntung saja aku sendiri yang mengangkat teleponnya," sungut Tania. Kini emosinya ia luapkan pada Hanif, ia hanya ingin Hanif tahu kalau dirinya tidak suka ada perempuan lain yang menghubungi suaminya kecuali masalah pekerjaan, apalagi mendengar apa yang dikatakan Laura, ia seperti menangkap kalau wanita itu mengejar-ngejar suaminya."Terus aku harus bagaimana? Aku tidak melakukan apapun loh," bela Hanif. Berbicara pada orang yang tengah cemburu memang sangat sulit, maka harus ekstra sabar saat menghadapinya karena sedikit saja salah bicara, imbasnya akan panjang, dan hal itu yang sering terjadi saat ini."Aku enggak tahu, pokoknya aku enggak suka aja," jawab Tania.Hanif semakin mendekatkan tubuhnya lalu meraih jemar