"Aw!" pekik Hanif saat istrinya mencoba membersihkan lukanya. Walaupun bukan Dokter, Tania tahu cara membersihkan luka itu, dulu dirinya pernah diajari oleh ibunya."Ini ceritanya gimana sih, Mas?" tanya Tania. Kini ia duduk di samping suaminya dan membersihkan darah itu, setelahnya ia meneteskan obat merah pada luka itu."Pas jalan, aku enggak tahu kalau ada botol pecah," jawab Hanif sambil meringis kesakitan."Apa perlu kita bawa ke rumah sakit, Mas?""Tidak. Nanti juga sembuh kok.""Aku beli nasinya dulu, ya? Setelah itu kita pulang."Hanif mengangguk. Kini ia melihat kakinya yang terluka, jika dipakaikan sepatu, maka akan semakin terasa sakit. Masa iya tidak kerja lagi, ia kan habis libur panjang.***"Mas," panggil Tania saat suaminya fokus pada kemudi."Iya.""Aku tadi lihat Mbak Murni diseret orang.""Kapan?" tanya Hanif sambil menoleh ke arah istrinya."Tadi, Mas. Tapi saat aku ingin ke sana, kamu malah kena pecahan kaca."Hanif diam, bukan maksud apa, ia tak mau membahas mant
Hanif pulang sendiri karena Kakak iparnya harus menjalani serangkaian pemeriksaan. Apalagi luka yang dialami, terbilang cukup parah.Benar dugaannya, jika iparnya itu belum diperiksa tenaga kesehatan. Setelah sedikit didesak, Zaki mengakui kalau setelah kecelakaan wakt itu, dirinya langsung beranjak pulang.Tapi Kakak iparnya itu tidak mengatakan alasan apa pun kecuali merasa tak perlu diperiksa."Mas Zaki mana, Mas?" tanya Tania saat melihat suaminya berjalan ke arahnya."Dia dirawat. Lukanya terbilang cukup parah."Tania diam, ia sudah menduga. Tapi memang lebih baik jika kakaknya dirawat agar lekas sembuh."Vino dibawa ke rumah saja, tidak mungkin kamu tinggal di sini," ucap Hanif."Iya, Mas."Setelahnya, Tania pun beranjak ke arah ponakannya tersebut dan mengajaknya berkemas, ia juga memberi tahu alasannya. Keponakannya sudah besar, maka dari itu, Tania memberi tahu kondisi ayahnya saat ini.***"Kamu tidak kerja, Mas?" tanya Tania saat mereka telah sampai di rumah."Aku izin, sel
"Ibumu di kampung menitipkan uang untukku. Sebenarnya kita tidak ada urusan apa-apa, tetapi bukankah amanat harus tetap disampaikan, ya?" tanya Hanif santai dan seolah tak menggubris Randi yang menatapnya dengan sinis."Kamu dari sana?""Ya."Randi membuang muka, sudah sangat lama ia tak pernah mengunjungi ibunya itu, bahkan menghubungi saja juga tak pernah. Mendadak ia merasa rindu pada orangtuanya tersebut."Aku ambilkan uangnya dulu, sebab uangnya berada di rumah. Kamu tinggal di mana sekarang?" tanya Hanif."Aku tidak ingin ada orang yang tau di mana keberadaanku sekarang, jika kamu mau, aku tunggu kamu di sini."Hanif menatap heran, Randi sungguh benar-benar berubah. Ia bahkan sampai tak mengerti, ada apa dengan lelaki di hadapannya ini."Kamu baik-baik saja?" Hanif menatap penuh curiga, tapi secepat kilat ia mengalihkan pembicaraan agar lelaki di depannya itu tidak menaruh curiga."Kamu terlihat kecapean, makanya aku bertanya seperti itu," ucap Hanif lagi."Iya, aku lagi bingung
"Mari berpisah, Mas," ucap Tania pada suaminya saat mereka tengah menikmati makan malam.Sedangkan Hanif tersentak kaget dengan ucapan istrinya. Tidak ada masalah apapun kenapa istrinya tiba-tiba meminta bercerai."Kamu kenapa?" tanyanya sambil menatap tajam ke arah istrinya. Tania yang ditatap seperti itu seketika menundukkan pandangannya dan menyembunyikan tangisannya."Tania?" ucap Hanif lembut sambil memegang tangan Tania."Selama kita menikah, aku baru tahu kalau kamu tidak pernah mencintaiku. Hatimu sudah terikat dengan almarhum Mbak Murni," ucap Tania."Kamu tahu darimana?" tanya Hanif yang sedikit kaget dengan ucapan istrinya. Sebab selama ini ia tidak pernah menceritakan pada siapapun, bahkan ia juga tidak menulis apapun di buku."Kamu tidak perlu tahu. Intinya, aku tidak mau hidup sebagai bayang-bayang Mbak Murni," ucap Tania sambil menatap lekat ke arah Hanif. Pipinya kini basah dan masih terlihat sisa air mata di sana."Maaf," ucap Hanif."Tak perlu meminta maaf, karena d
"Aku tidak bisa," jawab Tania."Kenapa?""Akan jauh lebih sakit ketika aku mencoba bertahan. Tolong kamu mengerti aku.""Kalau kamu pergi, lalu aku bagaimana? Tidak ada yang menyiapkan sarapanku, tidak ada yang menyiapkan baju kerjaku, tidak ada yang menemaniku, intinya tidak akan ada yang mengurusku lagi," jawab Hanif, tetapi bukan itu maksudnya, ada sesuatu yang sulit ia ungkapkan. Semua yang ia ucapkan hanya alasan semata."Kamu bisa cari asisten, gaji mu cukup kok untuk bayar asisten," jawab Tania."Tapi rasanya beda.""Sama saja, kamu harus terbiasa hidup tanpaku," jawab Tania sambil melihat jam. Sudah siang, ia belum menemukan tempat tinggal yang pas setelah keluar dari rumah ini, sedangkan rumah peninggalan orangtuanya sudah ditempati oleh kakak kandungnya yang ekonominya bisa dikatakan cukup untuk sekedar mengisi perut.Ia tidak mungkin pulang ke sana, ia tidak mau membebani hidup kakaknya."Aku yang akan urus surat perpisahan kita, Mas. Jangan khawatir, aku masih punya tabung
Setelah pencarian dibeberapa tempat, akhirnya Tania mendapatkan kontrakan yang cocok untuknya dan sesuai kemampuannya, walaupun bisa dikatakan kontrakan kecil dan tidak sebesar rumah yang ia tempati selama ini tetapi ia bersyukur bisa mempunyai tempat tinggal.Setelah itu ia membereskan rumah itu dan memasukkan bajunya ke dalam almari. Tania sama sekali belum membuka ponsel, bukan tidak mau tetapi ia belum sempat.Kontrakan ini terlalu banyak debu karena jarang ditempati, maka dari itu ia akan membersihkan dulu sebelum ia mengistirahatkan tubuh.Setelah ini ia berniat menghubungi temannya yang berjanji akan mencarikannya pekerjaan. Selepas ia berpisah dengan Hanif tidak ada lagi yang memberinya nafkah, ia harus bekerja untuk bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.***Rentetan panggilan tak terjawab memenuhi layar ponsel Tania saat ia berniat menghubungi temannya, siapa lagi kalau bukan Hanif yang menelponnya sampai beberapa kali.Ia hanya bisa menghela nafas panjang, bingung dengan suam
Telepon Tania matikan begitu saja dan tanpa mengucapkan salam seperti biasanya. Ia tidak mau terbuai oleh bujuk rayu Hanif yang nantinya akan membuat hatinya goyah.Ia tidak akan menemui Ibu mertuanya tersebut, walau bagaimanapun, ia sudah berpisah dengan Hanif. Biarlah Hanif sendiri yang akan menjelaskan pada ibunya perihal perpisahan ini. Dia anaknya dan sudah menjadi tugasnya untuk memberi tahu ibunya, bukan dirinya yang notabennya adalah seorang menantu.Tak mau pikirannya terganggu, lalu ia melanjutkan bekerja. Ia harus menyibukkan diri untuk bisa melupakan semuanya.***"Murni, sulit sekali menghapus namamu dari hati ini. Sekuat apapun aku mencoba, nyatanya semakin kuat saja rasa cintaku padamu.""Murni, raga ini memang sudah ada yang memiliki tetapi percayalah, hatiku masih terus bersamamu, tak akan terganti walaupun oleh seorang Tania. Kamu tahu, dia istri yang baik buatku tetapi aku sama sekali tak mencintainya. Hatiku masih tertawan olehmu. Kamu tenang di sana ya? Tunggu ak
"Mbah meminta saya datang ke sini ada keperluan apa, ya?" tanya Hanif pada inti maksud kedatangannya kemari. Bukan maksud ia mengalihkan pembicaraan tetapi kedatangannya ke sini bukan untuk membahas rumah tangganya tetapi karena mendapat telepon dari Mbak Nanik, tetangga Mbah War."Mbah pengen menemui anak Mbah. Bisa kamu antar Mbah ke sana?" Hanif nampak berpikir, bukan maksudnya menolak tetapi ia tidak mau Mbah War merasakan kecewa seperti yang sudah-sudah. Anak Mbah War yang bernama Anton itu tidak pernah menganggap Mbah War sebagai ibunya.Ia merasa cuma menjadi angkat maka dari itu setelah ia tahu, ia sama sekali tidak pernah peduli lagi terhadap kehidupan Mbah War.Masa lalu yang kelam, membuat Mbah War tidak ingin menikah dan hanya mengangkat anak yang terbuang. Selama ini ia hanya mempunyai dua anak angkat, yang satu Hanif dan yang satu Anton.Anton sendiri ditemukan saat masih bayi dan kemungkinan besar memang sengaja dibuang oleh orangtua kandungnya, berbeda dengan Hanif.H