Share

bab 4

Telepon Tania matikan begitu saja dan tanpa mengucapkan salam seperti biasanya. Ia tidak mau terbuai oleh bujuk rayu Hanif yang nantinya akan membuat hatinya goyah.

Ia tidak akan menemui Ibu mertuanya tersebut, walau bagaimanapun, ia sudah berpisah dengan Hanif.

Biarlah Hanif sendiri yang akan menjelaskan pada ibunya perihal perpisahan ini. Dia anaknya dan sudah menjadi tugasnya untuk memberi tahu ibunya, bukan dirinya yang notabennya adalah seorang menantu.

Tak mau pikirannya terganggu, lalu ia melanjutkan bekerja. Ia harus menyibukkan diri untuk bisa melupakan semuanya.

***

"Murni, sulit sekali menghapus namamu dari hati ini. Sekuat apapun aku mencoba, nyatanya semakin kuat saja rasa cintaku padamu."

"Murni, raga ini memang sudah ada yang memiliki tetapi percayalah, hatiku masih terus bersamamu, tak akan terganti walaupun oleh seorang Tania. Kamu tahu, dia istri yang baik buatku tetapi aku sama sekali tak mencintainya. Hatiku masih tertawan olehmu. Kamu tenang di sana ya? Tunggu aku di surga."

Perkataan Hanif tempo hari Tania dengar saat ia tak sengaja menengok makam abah uminya. Saat itu ia melihat Hanif sedang berziarah ke makam Murni. Tania yang melihat suaminya berada di sana berniat menghampiri, tetapi langkahnya terhenti mana kala ia mendengar ungkapan isi hati suaminya di depan pusara yang sudah terlihat tak terawat.

Awalnya ia ingin memberi sebuah kejutan tetapi malah ia sendiri yang mendapat kejutan.

Tak mau suaminya melihat, ia cepat-cepat pergi dari sana dan berniat berziarah ke makam abah uminya di lain waktu.

"Woy! Nglamun aja. Kenapa? Ada masalah di sini?" tanya Arnold membuyarkan lamunan Tania tentang waktu itu, waktu dimana ia mengetahui semuanya. Wanita itu terlonjak kaget dengan kedatangan Arnold.

"Enggak. Aku betah kok di sini," jawab Tania.

"Kok murung?"

"Nggak apa-apa. Eh, sudah waktunya pulang ya?" tanya Tania mengalihkan pembicaraan.

"Sudah dari tadi."

Tania menganggukkan kepala, setelah itu ia pamit pulang tanpa banyak bicara.

Jujur saja, setelah mendapat telepon dari Hanif dan pertemuannya kemarin membuat pikirannya kacau.

Hati yang awalnya mulai tertata kini kembali porak poranda. Ia sendiri bingung dengan suaminya. Perasaan lelaki itu sangat sulit ditebak dan membuatnya ragu.

Arnold melihat kepergian Tania dengan bingung dan menyimpan banyak tanya terhadap perempuan itu tetapi semua pertanyaan hanya berada di dalam hati, tak sampai ia lontarkan.

Semenjak awal mengenal sampai sekarang ini, Tania terkenal lebih pendiam, seperti sedang menyembunyikan luka di hati tetapi tidak mau berbagi.

Diam-diam lelaki itu menaruh hati dan kekaguman pada Tania, tetapi ia tak berani mengungkapkan. Tania terlalu tertutup, jadi sangat sulit untuk menyelami kehidupannya.

***

Di tempat lain...

Hanif bingung dengan isi hatinya. Apa mungkin rasa itu sudah tumbuh secara diam-diam tanpa ia sadari.

Tetapi apa mungkin saat ia mengungkapkan isi hatinya, Tania mau mempercayai? Sedangkan sekarang saja wanita itu tengah menghindari dirinya.

"Ya, Hallo..." Hanif mengangkat telepon dari seseorang.

"Baiklah. Aku ke sana sekarang juga," jawab Hanif.

Tanpa pikir panjang, ia langsung keluar dan menjalankan mobilnya menuju ke suatu tempat.

Terlihat seorang wanita tua sedang duduk termenung di depan rumah. Sesekali ia seka air matanya.

Hanif pun membuka pintu mobilnya dan turun untuk menghampiri wanita tua itu.

"Kamu datang?" Ada sebuah binar kebahagiaan terpancar dari wajah wanita tua itu melihat kedatangan Hanif.

"Iya, Mbah. Saya datang," jawab Hanif dengan lembut.

"Mana istri kamu? Mbah kok kangen sama istrimu. Lama sekali kamu tidak datang ke sini," ucap wanita itu. Wanita yang diketahui bernama Mbah Warsini atau biasa disebut dengan Mbah War.

"Tidak ada, Mbah," jawab Hanif lesu.

Wanita itu menangkap ada sesuatu yang aneh dari wajah wajah Hanif, lelaki yang sudah dia anggap sebagai anaknya.

"Kamu baik-baik saja, Nak?" tanya Mbah War.

Hanif mengangguk. "Memangnya kenapa, Mbah?"

"Mana Tania. Mbah kangen sama Tania," ucapnya.

"Tania sudah pergi, Mbah."

"Pergi kemana? Meninggal?" tanya Mbah War dengan sedikit terkejut. Ia menduga-duga sesuatu yang jelek terhadap Tania, wanita yang selalu bersikap lembut terhadapnya dan mampu membuat senyumnya terukir manakala ia sedang berkunjung ke sini.

Hanif menggelengkan kepalanya. "Kita sudah berpisah."

Mendengar jawaban itu, hati Mbah War sedikit tercabik. Ia tidak menyangka kalau kedatangan Hanif kali ini akan memberikan kabar yang sama sekali tidak ingin ia dengar.

"Jangan main-main dengan pernikahan, Le," ucap Mbah War.

Hanif menggelengkan kepala. "Semuanya benar adanya. Kami sudah berpisah."

"Tapi kenapa? Apa ada masalah serius sampai jalan satu-satunya adalah perpisahan?"

Hanif mengangguk. "Tania tahu kalau Hanif selama ini tidak mencintainya, makanya Tania pergi dari hidup Hanif."

Mbah War menghela nafas panjang. Kali kedua ia terkejut mendengar penuturan Hanif yang mengatakan kalau selama ini dia tidak mencintai wanita itu.

"Selama menikah, apa kamu yakin tidak mencintai istrimu?" tanya Mbah War dengan tatapan menelisik. Ia tidak yakin kalau lelaki di hadapannya tidak ada rasa cinta terhadap Tania. Sebab yang ia tahu selama ini, Hanif selalu bersikap mesra dan lembut terhadap Tania. Tidak mungkin kalau rasa itu belum ada.

"Hanif rasa memang belum ada, Mbah."

Mendengar jawaban itu, Mbah War hanya bisa menghela nafa panjang. Tidak tahu harus berkata apa sebab hati tidak bisa dipaksakan.

"Mbah tidak menyalahkan istrimu pergi. Wanita mana yang mau bersama lelaki yang tidak mencintainya," ucap Mbah War.

Tetapi kali ini Hanif tidak setuju dengan ucapan Mbah War. Kalau boleh egois, harusnya Tania memberinya kesempatan sekali lagi, tetapi wanita itu tidak mau dan malah menghindari dirinya terus.

Bahkan ketika ditanya tempat tinggalnya, Tania tak mau mengaku.

"Mbah," panggil Hanif.

Wanita itu menoleh, diusap kembali air mata yang kembali terjatuh itu.

"Saat Tania memutuskan pergi, Hanif merasa sangat kehilangan. Awalnya Hanif kira akan baik-baik saja setelah itu, tetapi ternyata tidak. Hati Hanif juga sakit, Mbah."

Baru kali ini Hanif mau bercerita pada seseorang, sebelumnya apapun itu selalu ia pendam sendiri.

"Apa kamu tahu dimana tempat tinggal istrimu?"

Hanif menggeleng keras." Tania tidak mau memberi tahu dimana sekarang ia tinggal. Tetapi Hanif tahu dimana Tania bekerja."

"Sekarang tolong jujur sama, Mbah. Apa secara diam-diam kamu mulai menaruh hati pada istrimu?"

Bimbang, itulah yang Hanif rasa saat ini. Tetapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri, ia ingin Tania kembali pada dirinya dan melewati waktu berdua seperti dulu.

"Kenapa diam?"

"Saya sendiri tidak tahu, rasa ini sebuah cinta atau rasa bersalah saja. Tetapi Hidup Hanif terasa kosong ketika tidak adanya Tania," jawa Hanif.

"Kalau kamu yakin rasa mu itu adalah cinta, kejar Tania dan jangan lepaskan kembali. Tetapi kalau rasa cintamu itu hanya rasa bersalah, maka biarkan Tania dengan hidupnya," jawab Mbah War.

"Kamu renungkan apa yang kamu rasa, cinta atau rasa bersalah," pungkas Mbah War dan berhasil membuat hati Hanif bimbang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status