Telepon Tania matikan begitu saja dan tanpa mengucapkan salam seperti biasanya. Ia tidak mau terbuai oleh bujuk rayu Hanif yang nantinya akan membuat hatinya goyah.
Ia tidak akan menemui Ibu mertuanya tersebut, walau bagaimanapun, ia sudah berpisah dengan Hanif.Biarlah Hanif sendiri yang akan menjelaskan pada ibunya perihal perpisahan ini. Dia anaknya dan sudah menjadi tugasnya untuk memberi tahu ibunya, bukan dirinya yang notabennya adalah seorang menantu.Tak mau pikirannya terganggu, lalu ia melanjutkan bekerja. Ia harus menyibukkan diri untuk bisa melupakan semuanya.***"Murni, sulit sekali menghapus namamu dari hati ini. Sekuat apapun aku mencoba, nyatanya semakin kuat saja rasa cintaku padamu.""Murni, raga ini memang sudah ada yang memiliki tetapi percayalah, hatiku masih terus bersamamu, tak akan terganti walaupun oleh seorang Tania. Kamu tahu, dia istri yang baik buatku tetapi aku sama sekali tak mencintainya. Hatiku masih tertawan olehmu. Kamu tenang di sana ya? Tunggu aku di surga."Perkataan Hanif tempo hari Tania dengar saat ia tak sengaja menengok makam abah uminya. Saat itu ia melihat Hanif sedang berziarah ke makam Murni. Tania yang melihat suaminya berada di sana berniat menghampiri, tetapi langkahnya terhenti mana kala ia mendengar ungkapan isi hati suaminya di depan pusara yang sudah terlihat tak terawat.Awalnya ia ingin memberi sebuah kejutan tetapi malah ia sendiri yang mendapat kejutan.Tak mau suaminya melihat, ia cepat-cepat pergi dari sana dan berniat berziarah ke makam abah uminya di lain waktu."Woy! Nglamun aja. Kenapa? Ada masalah di sini?" tanya Arnold membuyarkan lamunan Tania tentang waktu itu, waktu dimana ia mengetahui semuanya. Wanita itu terlonjak kaget dengan kedatangan Arnold."Enggak. Aku betah kok di sini," jawab Tania."Kok murung?""Nggak apa-apa. Eh, sudah waktunya pulang ya?" tanya Tania mengalihkan pembicaraan."Sudah dari tadi."Tania menganggukkan kepala, setelah itu ia pamit pulang tanpa banyak bicara.Jujur saja, setelah mendapat telepon dari Hanif dan pertemuannya kemarin membuat pikirannya kacau.Hati yang awalnya mulai tertata kini kembali porak poranda. Ia sendiri bingung dengan suaminya. Perasaan lelaki itu sangat sulit ditebak dan membuatnya ragu.Arnold melihat kepergian Tania dengan bingung dan menyimpan banyak tanya terhadap perempuan itu tetapi semua pertanyaan hanya berada di dalam hati, tak sampai ia lontarkan.Semenjak awal mengenal sampai sekarang ini, Tania terkenal lebih pendiam, seperti sedang menyembunyikan luka di hati tetapi tidak mau berbagi.Diam-diam lelaki itu menaruh hati dan kekaguman pada Tania, tetapi ia tak berani mengungkapkan. Tania terlalu tertutup, jadi sangat sulit untuk menyelami kehidupannya.***Di tempat lain...Hanif bingung dengan isi hatinya. Apa mungkin rasa itu sudah tumbuh secara diam-diam tanpa ia sadari.Tetapi apa mungkin saat ia mengungkapkan isi hatinya, Tania mau mempercayai? Sedangkan sekarang saja wanita itu tengah menghindari dirinya."Ya, Hallo..." Hanif mengangkat telepon dari seseorang."Baiklah. Aku ke sana sekarang juga," jawab Hanif.Tanpa pikir panjang, ia langsung keluar dan menjalankan mobilnya menuju ke suatu tempat.Terlihat seorang wanita tua sedang duduk termenung di depan rumah. Sesekali ia seka air matanya.Hanif pun membuka pintu mobilnya dan turun untuk menghampiri wanita tua itu."Kamu datang?" Ada sebuah binar kebahagiaan terpancar dari wajah wanita tua itu melihat kedatangan Hanif."Iya, Mbah. Saya datang," jawab Hanif dengan lembut."Mana istri kamu? Mbah kok kangen sama istrimu. Lama sekali kamu tidak datang ke sini," ucap wanita itu. Wanita yang diketahui bernama Mbah Warsini atau biasa disebut dengan Mbah War."Tidak ada, Mbah," jawab Hanif lesu.Wanita itu menangkap ada sesuatu yang aneh dari wajah wajah Hanif, lelaki yang sudah dia anggap sebagai anaknya."Kamu baik-baik saja, Nak?" tanya Mbah War.Hanif mengangguk. "Memangnya kenapa, Mbah?""Mana Tania. Mbah kangen sama Tania," ucapnya."Tania sudah pergi, Mbah.""Pergi kemana? Meninggal?" tanya Mbah War dengan sedikit terkejut. Ia menduga-duga sesuatu yang jelek terhadap Tania, wanita yang selalu bersikap lembut terhadapnya dan mampu membuat senyumnya terukir manakala ia sedang berkunjung ke sini.Hanif menggelengkan kepalanya. "Kita sudah berpisah."Mendengar jawaban itu, hati Mbah War sedikit tercabik. Ia tidak menyangka kalau kedatangan Hanif kali ini akan memberikan kabar yang sama sekali tidak ingin ia dengar."Jangan main-main dengan pernikahan, Le," ucap Mbah War.Hanif menggelengkan kepala. "Semuanya benar adanya. Kami sudah berpisah.""Tapi kenapa? Apa ada masalah serius sampai jalan satu-satunya adalah perpisahan?"Hanif mengangguk. "Tania tahu kalau Hanif selama ini tidak mencintainya, makanya Tania pergi dari hidup Hanif."Mbah War menghela nafas panjang. Kali kedua ia terkejut mendengar penuturan Hanif yang mengatakan kalau selama ini dia tidak mencintai wanita itu."Selama menikah, apa kamu yakin tidak mencintai istrimu?" tanya Mbah War dengan tatapan menelisik. Ia tidak yakin kalau lelaki di hadapannya tidak ada rasa cinta terhadap Tania. Sebab yang ia tahu selama ini, Hanif selalu bersikap mesra dan lembut terhadap Tania. Tidak mungkin kalau rasa itu belum ada."Hanif rasa memang belum ada, Mbah."Mendengar jawaban itu, Mbah War hanya bisa menghela nafa panjang. Tidak tahu harus berkata apa sebab hati tidak bisa dipaksakan."Mbah tidak menyalahkan istrimu pergi. Wanita mana yang mau bersama lelaki yang tidak mencintainya," ucap Mbah War.Tetapi kali ini Hanif tidak setuju dengan ucapan Mbah War. Kalau boleh egois, harusnya Tania memberinya kesempatan sekali lagi, tetapi wanita itu tidak mau dan malah menghindari dirinya terus.Bahkan ketika ditanya tempat tinggalnya, Tania tak mau mengaku."Mbah," panggil Hanif.Wanita itu menoleh, diusap kembali air mata yang kembali terjatuh itu."Saat Tania memutuskan pergi, Hanif merasa sangat kehilangan. Awalnya Hanif kira akan baik-baik saja setelah itu, tetapi ternyata tidak. Hati Hanif juga sakit, Mbah."Baru kali ini Hanif mau bercerita pada seseorang, sebelumnya apapun itu selalu ia pendam sendiri."Apa kamu tahu dimana tempat tinggal istrimu?"Hanif menggeleng keras." Tania tidak mau memberi tahu dimana sekarang ia tinggal. Tetapi Hanif tahu dimana Tania bekerja.""Sekarang tolong jujur sama, Mbah. Apa secara diam-diam kamu mulai menaruh hati pada istrimu?"Bimbang, itulah yang Hanif rasa saat ini. Tetapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri, ia ingin Tania kembali pada dirinya dan melewati waktu berdua seperti dulu."Kenapa diam?""Saya sendiri tidak tahu, rasa ini sebuah cinta atau rasa bersalah saja. Tetapi Hidup Hanif terasa kosong ketika tidak adanya Tania," jawa Hanif."Kalau kamu yakin rasa mu itu adalah cinta, kejar Tania dan jangan lepaskan kembali. Tetapi kalau rasa cintamu itu hanya rasa bersalah, maka biarkan Tania dengan hidupnya," jawab Mbah War."Kamu renungkan apa yang kamu rasa, cinta atau rasa bersalah," pungkas Mbah War dan berhasil membuat hati Hanif bimbang."Mbah meminta saya datang ke sini ada keperluan apa, ya?" tanya Hanif pada inti maksud kedatangannya kemari. Bukan maksud ia mengalihkan pembicaraan tetapi kedatangannya ke sini bukan untuk membahas rumah tangganya tetapi karena mendapat telepon dari Mbak Nanik, tetangga Mbah War."Mbah pengen menemui anak Mbah. Bisa kamu antar Mbah ke sana?" Hanif nampak berpikir, bukan maksudnya menolak tetapi ia tidak mau Mbah War merasakan kecewa seperti yang sudah-sudah. Anak Mbah War yang bernama Anton itu tidak pernah menganggap Mbah War sebagai ibunya.Ia merasa cuma menjadi angkat maka dari itu setelah ia tahu, ia sama sekali tidak pernah peduli lagi terhadap kehidupan Mbah War.Masa lalu yang kelam, membuat Mbah War tidak ingin menikah dan hanya mengangkat anak yang terbuang. Selama ini ia hanya mempunyai dua anak angkat, yang satu Hanif dan yang satu Anton.Anton sendiri ditemukan saat masih bayi dan kemungkinan besar memang sengaja dibuang oleh orangtua kandungnya, berbeda dengan Hanif.H
Awalnya ia ingin marah-marah terhadap Tania, tetapi ketika melihat wajah teduh dari wanita yang menghampirinya tersebut, mendadak amarah itu sirna seketika.Apalagi ketika melihat wajah pucat Tania, ia semakin merasa iba. "Ada apa?" tanya Tania dingin. Ia terpaksa menemui Hanif, ia takut Hanif akan nekat menemui atasannya dan ia akan dipecat dari pekerjaan ini. Ia membutuhkan uang untuk menyambung hidupnya."Duduklah." Hanif memerintah sambil tatapannya tak lepas dari istrinya."Aku masih sibuk. Kamu tahu restoran ini sangat ramai.""Aku akan meminta izin pada atasanmu," jawab Hanif."Tidak perlu. Kamu hanya akan membuat masalah buatku dikemudian hari."Hanif menatap tak percaya pada wanita dihadapannya. Kemana Tania yang selama ini ia kenal, Tania yang lembut, Tania yang peduli, Tania yang selalu nurut apa kata suami."Tak usah menatapku seperti itu. Cepat katakan apa mau mu. Aku tidak bisa berlama-lama di sini," ketus Tania."Kamu kenapa?" tanya Hanif dengan tatapan masih tak perca
"Maaf," ucap Hanif sambil melepas pelukan itu. Jujur saja, saat memeluk Tania tadi, ada perasaan yang sulit diungkapkan.Perasaan yang sebelumnya belum pernah ia rasakan selama ia bersama Tania selama ini. Entah itu cinta atau rindu yang terlalu dalam, Hanif mencoba mencerna, mencoba memahami apa yang kini ia rasa tetapi sangat sulit. Ia tak menemukan jawaban itu dalam dirinya."Tidak apa-apa," jawab Tania sambil berlalu. Jujur saja, ia juga gugup. Dulu sebelum semuanya terkuak, berlama-lama dalam dekapan suaminya adalah sesuatu yang sangat ia sukai. Dalam dekapan suaminya, ia merasa terlindungi, merasa dicintai dan tempat paling nyaman ketika ia merasakan lelah seharian.Tetapi semua itu hanyalah semu, kenyamanan yang ia dapatkan pada lelaki itu hanya ia saja yang merasa, tidak dengan Hanif.Setelah itu ia kembali ke belakang dan ternyata terdapat Bu Rina di sana. Tania takut, tidak biasanya Bu Rina mendatangi karyawan saat mereka tengah bekerja. Apa ada sesuatu? Atau kedatangan Bu
"Kamu terlihat cantik malam ini," bisik Hanif."Kamu jangan macam-macam," jawab Tania. Tubuhnya kini bergetar hebat, tampak sekali wajahnya pucat pasi.Walaupun hal yang lebih dari ini pernah ia rasakan tetapi kini rasanya berbeda dan dalam situasi yang tidak sama.Hanif tersenyum. Ntah kenapa ia tidak bisa menahan diri, lalu membawa tubuhnya semakin dekat dan tanpa sekat.Tanpa menunggu apapun, Hanif langsung memeluk tubuh istrinya dengan sangat erat. Tak bisa dipungkiri, ia begitu sangat merindukan Tania.Hari-harinya terasa kosong tanpa ada wanita itu di hidupnya. Sedangkan Tania mencoba melepaskan pelukan itu."Biarkan sejenak aku di sini. Aku benar-benar rindu," ucap Hanif pelan."Tetapi kita tidak ada hubungan apapun lagi, Mas.""Kata siapa? Kamu masih istriku, dan selama ini aku belum menjatuhkan talak untukmu. Kita masih muhrim."Tania diam, tak lama kemudian, pelukan itu Hanif lepaskan. Ia tatap lekat wajah cantik wanitanya itu, terlihat pucat pasi.Tania benar-benar ketakuta
Semenjak kejadian beberapa waktu lalu yang melihat kebersamaan Tania dengan pria lain, Hanif sama sekali tidak mencoba menghubungi dan menemui Tania.Malam itu ia langsung pulang dan membuang bunga itu ke tong sampah. Ia sama sekali tak menegur Tania dan berlalu begitu saja. Bahkan untuk sekedar menemui saja ia sudah tidak mau.Malam itu hatinya benar-benar hancur. Untuk kali kedua ia merasakan rasa sakit yang mendalam. Ingin kembali membina rumahtangga tapi sepertinya mustahil.Ia sadar, sudah seharusnya dirinya membiarkan Tania bahagia dengan hidupnya yang baru bukan malah egois seperti itu.Walau rasa cinta itu sudah ia sadari, tetapi ia belum yakin kalau Tania akan mempercayai ucapannya.Selain itu, sampai saat ini ia sendiri belum tahu, darimana Tania tahu perihal perasaannya selama ini. Apa ada orang dibalik semua ini?"Hanif menyerah, Bu," ucap Hanif saat ia tengah menceritakan isi hatinya pada sang Ibu, juga menceritakan peristiwa beberapa hari yang lalu.Sedangkan ibunya hany
"Bagaimana, Mas?" tanya Linda pada suaminya."Tania besok akan ke sini. Nanti aku yang akan bicara kepadanya," jawab Zaki dengan lesu.Jujur saja, saat ini ia bingung, biaya operasi anaknya harus segera dilunasi sedangkan uang yang dipegang tidak lah cukup. Mana beberapa akhir ini jualannya sepi dan tak jarang hanya balik modal saja."Kalau Tania tidak bisa minjami bagaimana, Mas? Lalu anak kita bagaimana, aku tidak mau kehilangan Tristan secepat itu," jawab Linda sambil sesenggukan.Ya, Linda dan Zaki adalah kakak dari Tania yang anaknya korban tabrak lari. Bahkan kondisi anaknya sampai saat ini belum sadar, Tristan harus dioperasi karena ada darah yang membeku di kepalanya."Terpaksa kita gadaikan rumah peninggalan Abah dan Umi," jawab Zaki."Apa Tania akan setuju?""Tania tidak akan tega melihat keponakannya sekarat. Aku tahu dia itu bagaimana," jawab Zaki.Tania adalah adik satu-satunya Zaki. Mereka hanya dua bersaudara. Sejak kecil Tania adalah adik kesayangannya, kemanapun ia p
Tania pun juga tak kalah kaget, ia juga mengira kalau wanita itu adalah Murni. "Kamu Murni, kan?" tanya Hanif. Kini tatapannya sedang menelisik ke arah wanita di depannya.Sedangkan wanita itu nampak kebingungan dengan respon keduanya. Ia menggeleng lemah sambil menahan sakit atas luka nya yang dirasa karena terjatuh dari montor."Murni siapa? Kalian salah orang. Saya Mitha," jawab wanita itu."Tidak. Kamu jangan berbohong, kamu pasti Murni," ucap Hanif.Sedangkan Tania menatap keduanya dengan bingung. Dalam benaknya bertanya, apa benar wanita ini adalah Murni, lalu yang dikubur itu siapa?"Maaf, saya Mitha. Saya bukan Murni," ucap wanita itu sambil berlalu lalu naik ke montornya.Sial, montornya tidak mau menyala, sudah beberapa kali distarter tetapi tidak mau menyala juga.Hanif mendekat." Biar saya cek dulu.""Saya harus segera pulang. Kasihan Ibu saya apalagi ini sudah malam," ucap wanita yang mengaku bernama Mitha."Kalau begitu montornya biar diambil orang bengkel, kamu saya an
Karena tidak ada jawaban dari suaminya, lantas Tania melanjutkan tidurnya. Yang ia yakini saat ini adalah suaminya masih sangat mencintai Murni.Sedangkan dalam benak Hanif, ia tidak berpikir untuk kembali pada Murni. Wanita itu hanya masa lalu, dan masa depannya adalah dengan Tania dan juga calon anaknya nanti, apalagi dirinya saat ini sangat mencintai Tania. Wanita yang secara diam-diam telah merebut seluruh hatinya tanpa menyisakan untuk menyimpan nama wanita lain lagi.***"Kenapa kamu tidak bilang pada lelaki itu?" tanya seorang wanita yang sudah sangat tua pada wanita yang baru saja menceritakan kejadian yang dialami barusan."Saya tidak mau dia kenapa-napa, Mbah. Saya hanya ingin melihatnya bahagia," jawab wanita itu."Apa kamu yakin lelaki itu bahagia?"Wanita itu mengangguk, tetapi dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia belum yakin kalau pria itu bahagia. Ia masih yakin dirinya mampu menempati tempat istimewa di hati lelaki tersebut. Tetapi untuk bicara jujur, ia belum mamp