Tania pun juga tak kalah kaget, ia juga mengira kalau wanita itu adalah Murni. "Kamu Murni, kan?" tanya Hanif. Kini tatapannya sedang menelisik ke arah wanita di depannya.Sedangkan wanita itu nampak kebingungan dengan respon keduanya. Ia menggeleng lemah sambil menahan sakit atas luka nya yang dirasa karena terjatuh dari montor."Murni siapa? Kalian salah orang. Saya Mitha," jawab wanita itu."Tidak. Kamu jangan berbohong, kamu pasti Murni," ucap Hanif.Sedangkan Tania menatap keduanya dengan bingung. Dalam benaknya bertanya, apa benar wanita ini adalah Murni, lalu yang dikubur itu siapa?"Maaf, saya Mitha. Saya bukan Murni," ucap wanita itu sambil berlalu lalu naik ke montornya.Sial, montornya tidak mau menyala, sudah beberapa kali distarter tetapi tidak mau menyala juga.Hanif mendekat." Biar saya cek dulu.""Saya harus segera pulang. Kasihan Ibu saya apalagi ini sudah malam," ucap wanita yang mengaku bernama Mitha."Kalau begitu montornya biar diambil orang bengkel, kamu saya an
Karena tidak ada jawaban dari suaminya, lantas Tania melanjutkan tidurnya. Yang ia yakini saat ini adalah suaminya masih sangat mencintai Murni.Sedangkan dalam benak Hanif, ia tidak berpikir untuk kembali pada Murni. Wanita itu hanya masa lalu, dan masa depannya adalah dengan Tania dan juga calon anaknya nanti, apalagi dirinya saat ini sangat mencintai Tania. Wanita yang secara diam-diam telah merebut seluruh hatinya tanpa menyisakan untuk menyimpan nama wanita lain lagi.***"Kenapa kamu tidak bilang pada lelaki itu?" tanya seorang wanita yang sudah sangat tua pada wanita yang baru saja menceritakan kejadian yang dialami barusan."Saya tidak mau dia kenapa-napa, Mbah. Saya hanya ingin melihatnya bahagia," jawab wanita itu."Apa kamu yakin lelaki itu bahagia?"Wanita itu mengangguk, tetapi dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia belum yakin kalau pria itu bahagia. Ia masih yakin dirinya mampu menempati tempat istimewa di hati lelaki tersebut. Tetapi untuk bicara jujur, ia belum mamp
"Adik Tristan harus segera dioperasi," ucap Dokter itu."Lakukan, Dok. Tolong selamatkan anak saya," ucap Linda."Admistrasi sudah saya lunasi, tolong lakukan yang terbaik," ucap Hanif."Baik."Dokter itu pun berlalu dan meminta seseorang untuk menyiapkan ruang operasi."Kamu tenang, Tristan akan selamat," ucap Hanif sambil membelai lembut kepala istrinya. Ia sendiri juga sama seperti Tania, rasa khawatir itu juga ada tetapi saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa, meminta pada yang memberi hidup untuk menyelamatkan nyawa bocah kecil itu."Aku takut," jawab Tania yang masih membenamkan wajah di dada suaminya. Ia benar-benar takut kehilangan keponakannya itu. Situasi ini selalu membuatnya teringat ketika Abah uminya menghembuskan nafas terakhir. Tania tidak mau kehilangan orang-orang yang ia sayangi lagi. Rasa trauma ditinggalkan masih saja membekas walaupun kata ikhlas sering ia lontarkan."Tidak perlu takut. Pasrahkan dan banyak berdoa."Tania mengangguk. Hanif sendiri tidak me
"Gajian kurang berapa hari?" tanya Tania pada Niar."Sepuluh hari lagi. Kenapa, Tan? Kamu sudah kehabisan uang? Mau pinjam sama aku?"Tania menggeleng lemah sambil tersenyum. "Setelah gajian aku akan mengundurkan diri."Niar yang mendengar tersentak kaget. "Kenapa?""Suamiku melarang.""Suami? Memang kamu sudah bersuami?""Ya. Lelaki yang menemuiku beberapa waktu lalu adalah suamiku, namanya Mas Hanif," jawab Tania."Wah, bakal patah hati si Arnold," ucap Niar sambil cekikikan. Ia malah punya rencana konyol untuk mengerjai temannya itu. Tidak bisa dipungkiri kalau selama ini ia menyukai Arnold secara diam-diam, tetapi lelaki itu lebih memilih Tania."Kenapa dengan Arnold?""Nggak apa-apa, udah, lupain saja," jawab Niar.***Malam hari...Tania sudah ditunggu oleh Hanif diluar. Ia melangkahkan kaki nya dengan cepat."Sudah lama menunggu?" tanya Tania sambil memakai sabuk pengaman. "Belum, paling setengah jam yang lalu.""Itu mah sudah lama.""Bagiku tidak lama, karena aku menunggu cal
"Aku tidak bisa hidup denganmu, Beni. Tolong, mengertilah," ucap Murni sambil terisak."Baiklah, aku tidak akan memaksa. Tetapi ingat, aku akan bawa anakku pergi!""Apa kamu belum jera membuatku menderita? Kamu sudah menodaiku, kamu juga sudah memisahkanku dengan lelaki yang ku cintai. Apa itu semua belum cukup?""Itu karena salahmu. Dulu kau menghinaku dan keluargaku, juga Hanif kesayanganmu yang selalu ikut campur!""Tapi aku sudah meminta maaf. Apa itu masih kurang?"Beni tersenyum sinis."Bahkan selama itu aku masih sangat membenci lelaki itu, ingin sekali aku membunuhnya.""Jangan sakiti dia, biarkan dia bahagia. Cukup aku yang kamu sakiti," pinta Tania."Jangan berpikir sepicik itu. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang buruk terhadapnya.""Aku mohon, jangan ambil anakku.""Kalau begitu, menikahlah denganku, maka semuanya akan ku anggap selesai, aku tidak akan menyakiti keluargamu dan juga lelaki itu," ucap Beni.Murni nampak berpikir, tetapi mau gimana lagi. Ia tidak mau dipisah
"Aku memang belum merasakan bagaimana rasanya mempunyai anak, tetapi aku tahu rasanya kehilangan," ucap Tania selesai pemakaman Tristan.Malam ini mereka menginap di rumah kakaknya untuk mengikuti acara tahlilan."Kita semua merasa kehilangan tetapi jangan sampai larut dalam kesedihan. Kasihan Tristan, dia tidak akan tenang kalau terus-terusan ditangisi," ucap Hanif sambil membelai lembut kepala istrinya.Tania pun mengangguk. Ia naik turunkan pikirannya dan mencoba ikhlas dengan apa yang telah terjadi.Setelah itu Hanif mengajak istrinya untuk tidur. Sedangkan Tania sama sekali tidak bisa memejamkan mata.Hanif yang sadar akan kegelisahan istrinya pun langsung memeluk tubuh istrinya dan berharap bisa memberikan ketenangan."Tidur," ucap Hanif."Aku nggak bisa tidur.""Dipaksa, jangan sampai kamu sakit. Besok kita masih repot, kalau kamu kurang tidur, yang ada badan kamu akan drop. Aku nggak mau kamu sakit," ucap Hanif sambil merekatkan pelukannya."Iya, Mas." Lalu Tania pun mencoba m
"Sebelumnya maaf, Bu. Anak yang di bawa Murni anak siapa? Karena selama kami menjalin hubungan, saya belum pernah menyentuhnya sama sekali," ucap Hanif. Ia tidak mau kalau kedatangan ibunya Murni untuk meminta pertanggungjawaban atas sesuatu yang tidak dia lakukan."Ibu percaya kamu lelaki baik, Hanif. Kamu tidak akan melakukan hal itu. Adapun tentang anak itu, itu anak dari hasil pemerkosaan. Murni telah diperkosa."Hanif yang mendengar tersentak tidak percaya. Kini ia tatap tajam wanita paruh baya dihadapannya. Banyak sekali pertanyaan yang ingin ia lontarkan."Murni diperkosa?" tanya Hanif lagi."Iya, jiwanya hancur. Dua hari yang lalu dia pulang dan menceritakan semuanya. Awalnya Ibu tidak percaya, Ibu kira dia orang yang mirip sama Murni, tetapi setelah penjelasannya dan beberapa bukti kuat kalau dia Murni, baru Ibu bisa mempercayainya.""Maaf waktu itu saya tidak bisa menjaga Murni dengan baik. Semua yang terjadi karena salah saya," ucap Hanif penuh penyesalan."Semuanya sudah m
"Kamu bicara apa sih? Aku nggak suka kamu bicara tentang perpisahan," ucap Hanif yang mulai terpancing emosi. Dia memang tidak suka kalau istrinya membahas masalah perceraian."Kalau kita berpisah, kamu bisa balik pada Mbak Murni, kamu bisa melanjutkan hubunganmu yang pernah terputus dan kamu bisa menebus kesalahanmu di masa lampau.""Bicaramu semakin ngawur! Aku nggak suka kamu seperti ini," ucap Hanif.Tania diam saja. Dalam hatinya ia juga merasakan sakit saat mengatakan ini, tetapi ia sudah dikuasi rasa cemburu."Kamu kenapa, Tania?" ucap Hanif yang mulai melunak. Ia sadar, ketika istrinya bersikap keterlaluan, pasti ada hal yang memicu."Aku capek. Aku mau tidur.""Kamar kamu bukan di sini, tetapi di sebelah.""Malam ini aku ingin tidur di sini," jawab Tania."Baiklah. Aku tidak akan memaksa," ucap Hanif lalu beranjak meninggalkan Tania sendiri, ia merasa lelah dan tak tahu harus berbuat. Ia merasa benar-benar kesal terhadap istrinya itu. Makanya lebih baik ia memberikan ruang te