Awalnya ia ingin marah-marah terhadap Tania, tetapi ketika melihat wajah teduh dari wanita yang menghampirinya tersebut, mendadak amarah itu sirna seketika.
Apalagi ketika melihat wajah pucat Tania, ia semakin merasa iba."Ada apa?" tanya Tania dingin. Ia terpaksa menemui Hanif, ia takut Hanif akan nekat menemui atasannya dan ia akan dipecat dari pekerjaan ini. Ia membutuhkan uang untuk menyambung hidupnya."Duduklah." Hanif memerintah sambil tatapannya tak lepas dari istrinya."Aku masih sibuk. Kamu tahu restoran ini sangat ramai.""Aku akan meminta izin pada atasanmu," jawab Hanif."Tidak perlu. Kamu hanya akan membuat masalah buatku dikemudian hari."Hanif menatap tak percaya pada wanita dihadapannya. Kemana Tania yang selama ini ia kenal, Tania yang lembut, Tania yang peduli, Tania yang selalu nurut apa kata suami."Tak usah menatapku seperti itu. Cepat katakan apa mau mu. Aku tidak bisa berlama-lama di sini," ketus Tania."Kamu kenapa?" tanya Hanif dengan tatapan masih tak percaya."Memangnya ada apa?" Kini Tania yang balik bertanya, sebab ia tidak merasa melakukan kesalahan."Kamu aneh. Kamu bukan seperti Tania yang ku kenal," ucap Hanif.Tania tertawa kecil."Aku masih sama, masih Tania yang dulu, maaf ya, aku tidak ada waktu untuk membicarakan hal konyol seperti ini, pekerjaanku masih banyak."Tanpa menunggu jawaban dari Hanif, Tania pun langsung meninggalkannya begitu saja.Mbah War yang melihat keduanya tersenyum geli. Lalu ia mendekat pada Hanif."Kejar kalau sudah cinta," ucap Mbah War."Apaan sih, Mbah," jawab Hanif tersipu.Setelah itu mereka memesan makanan. Hanif berharap yang melayaninya adalah Tania ternyata ia salah, wanita itu lebih melayani pengunjung yang lain dan tetap menghindari dirinya.***Sore hari ibunya datang ke rumah. Dia berniat mengajak anak dan menantunya itu liburan, rasanya sudah sangat lama mereka tidak melakukan liburan bareng. Rencananya ia akan menyuruh anaknya melakukan bulan madu, siapa tahu ada kabar baik setelahnya. Sebab selama ini anaknya terlalu sibuk bekerja dan jarang mempunyai waktu untuk sekedar berduaan bersama istrinya.Saat sampai di dalam rumah, dia mengedarkan pandangannya mencari sosok menantu yang ia sayangi selama ini.Tetapi nihil, sosoknya belum terlihat, suaranya pun juga tak ia dengar. Biasanya Tania akan keluar ketika mendengar dirinya akan datang, menantunya itu akan datang menyambutnya dengan seulas senyum dan mereka berdua akan ngobrol banyak sepanjang hari. Ada saja bahan pembicaraan ketika ia bersama menantunya tersebut.Tania sosok wanita yang enak diajak berbicara, juga cocok sebagai teman curhat."Mana Tania?" tanya ibunya karena sosok yang ia cari belum juga muncul di hadapannya.Hanif sudah menduga kalau ibunya akan mencari Tania. Ia bingung harus menjawab apa, apa mungkin ia harus berterus terang kepada ibunya. Untuk berbohong rasanya juga tidak mungkin.Tetapi untuk berbicara jujur, rasanya lidah terlalu kelu."Tania mana, Hanif? Kok diam saja?" tanya ibunya lagi."Anu...itu...""Kebiasaan. Ngomong itu yang jelas jangan cuma ona anu saja," jawab ibunya terlihat sebal."Tania pergi," jawab Hanif sambil menunduk, tak tega ia menatap wajah ibunya. Ia tak tega melihat gurat kekecewaan di wajah wanita yang telah melahirkannya itu."Healing? Kamu nggak ikut?" tanya ibunya lagi.Hanif menggeleng keras. "Tania pergi, dia tidak akan kembali."Ibunya terhenyak sesaat, mencoba mencerna maksud dari ucapan anak lelakinya tersebut."Kamu sedang berbohong kan?" tanya ibunya sambil menatap ke arah anaknya. Ia pandangi dalam-dalam mata anaknya, mencoba mencari kejujuran di sana.Tidak, selama ini Hanif tidak pernah mengatakan kebohongan padanya untuk masalah serius. Kali ini apa yang diucapkan anaknya kemungkinan besar adalah kenyataan."Kenapa bisa kalian berpisah?" tanya ibunya lirih.Hanif masih diam membisu, ia tak bisa menjawab apapun sekarang ini. Tak mungkin ia akan menjawab kalau ia tidak mencintai Tania, ibunya pasti akan marah besar."Ada sesuatu yang coba kamu tutupi dari ibu?"Tak terasa, satu bulir air matanya jatuh. Ia tak tahu harus bicara apalagi pada ibunya."Maaf, Bu. Hanif gagal menjadi kepala rumah tangga," jawabnya lirih."Apa alasan kalian berpisah? Kamu selingkuh? Kamu KDRT?"Hanif menggeleng keras. Bukan itu alasannya, Ibu. Teriak Hanif dalam hati."Lalu apa?""Murni.""Murni? Almarhum Murni?" tanya ibunya memastikan.Hanif mengangguk. "Hanif masih mencintai Murni dan hal itu yang membuat Tania pergi dari hidup Hanif."Ibunya menatap anak lelakinya dengan tidak percaya. Selama ini ia kira anaknya sudah bisa move on dari wanita itu, ternyata tidak."Hanif tidak tahu Tania tahu hal ini dari siapa. Tiba-tiba saja malam itu Tania meminta berpisah, saat Hanif tanya, ia tidak mengatakan apapun.""Dan dengan suka rela kamu membiarkan istrimu pergi?" tanya ibunya.Hanif mengangguk. Sebenarnya ia sudah mencegah Tania, tetapi wanita itu bersikukuh untuk meminta pisah darinya."Antarkan Ibu untuk bertemu Tania," ucap ibunya. Hanif mendongak menatap ibunya.Bagaimana mungkin ia mempertemukan ibunya dengan Tania. Ia sendiri saja sangat sulit menemui istrinya."Ayo Hanif!" ajak ibunya."Untuk apa, Bu? Tania tidak mau bertemu kita," jawab Hanif."Tania tidak akan melakukan itu terhadap Ibu. Ayo, antarkan Ibu bertemu Tania."Tanpa banyak bicara, Hanif membawa ibunya pergi ke restoran itu. Hari sudah menjelang malam.Ia berniat menemui atasan restoran ini dan meminta izin untuk membawa Tania pulang terlebih dahulu."Itu Tania," ucap ibunya. Lalu ia melangkah dan memanggil menantu kesayangannya tersebut.Tania yang melihat kedatangan mertuanya terlonjak kaget bahkan minuman yang ia bawa nyaris tumpah."Ibu di sini?" tanya Tania mencoba menghilangkan gugup. Ia tidak tahu, Hanif sudah menceritakan semuanya atau belum."Ibu mencarimu," jawabnya."Ibu mau pesan apa?""Tidak. Ibu mau bicara sama kamu," jawab ibunya.Tania menghela nafas panjang. Ini masih jam kerja, tidak mungkin ia meninggalkan pekerjaannya dan lebih mengobrol dengan Ibu mertuanya."Tania kerja, Bu," jawab Tania."Kamu sudah mendapat izin pulang lebih awal," jawab Hanif yang datang mendekat. Ia baru saja menemui atasan Tania dan mengutarakan maksud kedatangannya. Untung saja atasannya itu memahami. Ia memberikan kelonggaran pada Tania untuk pulang lebih awal.Di tempat lain, Arnold masih bertanya-tanya, siapa lelaki berkulit putih yang ditemui Tania?Apa mungkin itu calon wanita itu? Mendadak hatinya sedikit nyeri kalau memang lelaki itu adalah calon dari wanita yang secara diam-diam telah memiliki hatinya.Kembali lagi..."Aku tidak merasa meminta izin," jawab Tania tanpa melihat ke arah suaminya."Aku yang sudah bicara pada Bu Rina. Kamu boleh bertanya kalau tidak percaya," jawab Hanif.Tania masih tak percaya, lalu ia melangkahkan kakinya untuk menemui atasannya, tetapi naas, kakinya tersandung kaki Hanif dan ia nyaris saja terjatuh. Untung ada Hanif yang siaga menangkapnya. Kini posisi Tania dalam dekapan Hanif. Lelaki itu memeluk erat tubuh Tania, ntah kenapa kali ini ada yang berdetak lebih kencang saat tubuh mereka berdempetan.Apakah cinta itu secara diam-diam sudah tumbuh?"Maaf," ucap Hanif sambil melepas pelukan itu. Jujur saja, saat memeluk Tania tadi, ada perasaan yang sulit diungkapkan.Perasaan yang sebelumnya belum pernah ia rasakan selama ia bersama Tania selama ini. Entah itu cinta atau rindu yang terlalu dalam, Hanif mencoba mencerna, mencoba memahami apa yang kini ia rasa tetapi sangat sulit. Ia tak menemukan jawaban itu dalam dirinya."Tidak apa-apa," jawab Tania sambil berlalu. Jujur saja, ia juga gugup. Dulu sebelum semuanya terkuak, berlama-lama dalam dekapan suaminya adalah sesuatu yang sangat ia sukai. Dalam dekapan suaminya, ia merasa terlindungi, merasa dicintai dan tempat paling nyaman ketika ia merasakan lelah seharian.Tetapi semua itu hanyalah semu, kenyamanan yang ia dapatkan pada lelaki itu hanya ia saja yang merasa, tidak dengan Hanif.Setelah itu ia kembali ke belakang dan ternyata terdapat Bu Rina di sana. Tania takut, tidak biasanya Bu Rina mendatangi karyawan saat mereka tengah bekerja. Apa ada sesuatu? Atau kedatangan Bu
"Kamu terlihat cantik malam ini," bisik Hanif."Kamu jangan macam-macam," jawab Tania. Tubuhnya kini bergetar hebat, tampak sekali wajahnya pucat pasi.Walaupun hal yang lebih dari ini pernah ia rasakan tetapi kini rasanya berbeda dan dalam situasi yang tidak sama.Hanif tersenyum. Ntah kenapa ia tidak bisa menahan diri, lalu membawa tubuhnya semakin dekat dan tanpa sekat.Tanpa menunggu apapun, Hanif langsung memeluk tubuh istrinya dengan sangat erat. Tak bisa dipungkiri, ia begitu sangat merindukan Tania.Hari-harinya terasa kosong tanpa ada wanita itu di hidupnya. Sedangkan Tania mencoba melepaskan pelukan itu."Biarkan sejenak aku di sini. Aku benar-benar rindu," ucap Hanif pelan."Tetapi kita tidak ada hubungan apapun lagi, Mas.""Kata siapa? Kamu masih istriku, dan selama ini aku belum menjatuhkan talak untukmu. Kita masih muhrim."Tania diam, tak lama kemudian, pelukan itu Hanif lepaskan. Ia tatap lekat wajah cantik wanitanya itu, terlihat pucat pasi.Tania benar-benar ketakuta
Semenjak kejadian beberapa waktu lalu yang melihat kebersamaan Tania dengan pria lain, Hanif sama sekali tidak mencoba menghubungi dan menemui Tania.Malam itu ia langsung pulang dan membuang bunga itu ke tong sampah. Ia sama sekali tak menegur Tania dan berlalu begitu saja. Bahkan untuk sekedar menemui saja ia sudah tidak mau.Malam itu hatinya benar-benar hancur. Untuk kali kedua ia merasakan rasa sakit yang mendalam. Ingin kembali membina rumahtangga tapi sepertinya mustahil.Ia sadar, sudah seharusnya dirinya membiarkan Tania bahagia dengan hidupnya yang baru bukan malah egois seperti itu.Walau rasa cinta itu sudah ia sadari, tetapi ia belum yakin kalau Tania akan mempercayai ucapannya.Selain itu, sampai saat ini ia sendiri belum tahu, darimana Tania tahu perihal perasaannya selama ini. Apa ada orang dibalik semua ini?"Hanif menyerah, Bu," ucap Hanif saat ia tengah menceritakan isi hatinya pada sang Ibu, juga menceritakan peristiwa beberapa hari yang lalu.Sedangkan ibunya hany
"Bagaimana, Mas?" tanya Linda pada suaminya."Tania besok akan ke sini. Nanti aku yang akan bicara kepadanya," jawab Zaki dengan lesu.Jujur saja, saat ini ia bingung, biaya operasi anaknya harus segera dilunasi sedangkan uang yang dipegang tidak lah cukup. Mana beberapa akhir ini jualannya sepi dan tak jarang hanya balik modal saja."Kalau Tania tidak bisa minjami bagaimana, Mas? Lalu anak kita bagaimana, aku tidak mau kehilangan Tristan secepat itu," jawab Linda sambil sesenggukan.Ya, Linda dan Zaki adalah kakak dari Tania yang anaknya korban tabrak lari. Bahkan kondisi anaknya sampai saat ini belum sadar, Tristan harus dioperasi karena ada darah yang membeku di kepalanya."Terpaksa kita gadaikan rumah peninggalan Abah dan Umi," jawab Zaki."Apa Tania akan setuju?""Tania tidak akan tega melihat keponakannya sekarat. Aku tahu dia itu bagaimana," jawab Zaki.Tania adalah adik satu-satunya Zaki. Mereka hanya dua bersaudara. Sejak kecil Tania adalah adik kesayangannya, kemanapun ia p
Tania pun juga tak kalah kaget, ia juga mengira kalau wanita itu adalah Murni. "Kamu Murni, kan?" tanya Hanif. Kini tatapannya sedang menelisik ke arah wanita di depannya.Sedangkan wanita itu nampak kebingungan dengan respon keduanya. Ia menggeleng lemah sambil menahan sakit atas luka nya yang dirasa karena terjatuh dari montor."Murni siapa? Kalian salah orang. Saya Mitha," jawab wanita itu."Tidak. Kamu jangan berbohong, kamu pasti Murni," ucap Hanif.Sedangkan Tania menatap keduanya dengan bingung. Dalam benaknya bertanya, apa benar wanita ini adalah Murni, lalu yang dikubur itu siapa?"Maaf, saya Mitha. Saya bukan Murni," ucap wanita itu sambil berlalu lalu naik ke montornya.Sial, montornya tidak mau menyala, sudah beberapa kali distarter tetapi tidak mau menyala juga.Hanif mendekat." Biar saya cek dulu.""Saya harus segera pulang. Kasihan Ibu saya apalagi ini sudah malam," ucap wanita yang mengaku bernama Mitha."Kalau begitu montornya biar diambil orang bengkel, kamu saya an
Karena tidak ada jawaban dari suaminya, lantas Tania melanjutkan tidurnya. Yang ia yakini saat ini adalah suaminya masih sangat mencintai Murni.Sedangkan dalam benak Hanif, ia tidak berpikir untuk kembali pada Murni. Wanita itu hanya masa lalu, dan masa depannya adalah dengan Tania dan juga calon anaknya nanti, apalagi dirinya saat ini sangat mencintai Tania. Wanita yang secara diam-diam telah merebut seluruh hatinya tanpa menyisakan untuk menyimpan nama wanita lain lagi.***"Kenapa kamu tidak bilang pada lelaki itu?" tanya seorang wanita yang sudah sangat tua pada wanita yang baru saja menceritakan kejadian yang dialami barusan."Saya tidak mau dia kenapa-napa, Mbah. Saya hanya ingin melihatnya bahagia," jawab wanita itu."Apa kamu yakin lelaki itu bahagia?"Wanita itu mengangguk, tetapi dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia belum yakin kalau pria itu bahagia. Ia masih yakin dirinya mampu menempati tempat istimewa di hati lelaki tersebut. Tetapi untuk bicara jujur, ia belum mamp
"Adik Tristan harus segera dioperasi," ucap Dokter itu."Lakukan, Dok. Tolong selamatkan anak saya," ucap Linda."Admistrasi sudah saya lunasi, tolong lakukan yang terbaik," ucap Hanif."Baik."Dokter itu pun berlalu dan meminta seseorang untuk menyiapkan ruang operasi."Kamu tenang, Tristan akan selamat," ucap Hanif sambil membelai lembut kepala istrinya. Ia sendiri juga sama seperti Tania, rasa khawatir itu juga ada tetapi saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa, meminta pada yang memberi hidup untuk menyelamatkan nyawa bocah kecil itu."Aku takut," jawab Tania yang masih membenamkan wajah di dada suaminya. Ia benar-benar takut kehilangan keponakannya itu. Situasi ini selalu membuatnya teringat ketika Abah uminya menghembuskan nafas terakhir. Tania tidak mau kehilangan orang-orang yang ia sayangi lagi. Rasa trauma ditinggalkan masih saja membekas walaupun kata ikhlas sering ia lontarkan."Tidak perlu takut. Pasrahkan dan banyak berdoa."Tania mengangguk. Hanif sendiri tidak me
"Gajian kurang berapa hari?" tanya Tania pada Niar."Sepuluh hari lagi. Kenapa, Tan? Kamu sudah kehabisan uang? Mau pinjam sama aku?"Tania menggeleng lemah sambil tersenyum. "Setelah gajian aku akan mengundurkan diri."Niar yang mendengar tersentak kaget. "Kenapa?""Suamiku melarang.""Suami? Memang kamu sudah bersuami?""Ya. Lelaki yang menemuiku beberapa waktu lalu adalah suamiku, namanya Mas Hanif," jawab Tania."Wah, bakal patah hati si Arnold," ucap Niar sambil cekikikan. Ia malah punya rencana konyol untuk mengerjai temannya itu. Tidak bisa dipungkiri kalau selama ini ia menyukai Arnold secara diam-diam, tetapi lelaki itu lebih memilih Tania."Kenapa dengan Arnold?""Nggak apa-apa, udah, lupain saja," jawab Niar.***Malam hari...Tania sudah ditunggu oleh Hanif diluar. Ia melangkahkan kaki nya dengan cepat."Sudah lama menunggu?" tanya Tania sambil memakai sabuk pengaman. "Belum, paling setengah jam yang lalu.""Itu mah sudah lama.""Bagiku tidak lama, karena aku menunggu cal