Share

bab 6

Awalnya ia ingin marah-marah terhadap Tania, tetapi ketika melihat wajah teduh dari wanita yang menghampirinya tersebut, mendadak amarah itu sirna seketika.

Apalagi ketika melihat wajah pucat Tania, ia semakin merasa iba.

"Ada apa?" tanya Tania dingin. Ia terpaksa menemui Hanif, ia takut Hanif akan nekat menemui atasannya dan ia akan dipecat dari pekerjaan ini. Ia membutuhkan uang untuk menyambung hidupnya.

"Duduklah." Hanif memerintah sambil tatapannya tak lepas dari istrinya.

"Aku masih sibuk. Kamu tahu restoran ini sangat ramai."

"Aku akan meminta izin pada atasanmu," jawab Hanif.

"Tidak perlu. Kamu hanya akan membuat masalah buatku dikemudian hari."

Hanif menatap tak percaya pada wanita dihadapannya. Kemana Tania yang selama ini ia kenal, Tania yang lembut, Tania yang peduli, Tania yang selalu nurut apa kata suami.

"Tak usah menatapku seperti itu. Cepat katakan apa mau mu. Aku tidak bisa berlama-lama di sini," ketus Tania.

"Kamu kenapa?" tanya Hanif dengan tatapan masih tak percaya.

"Memangnya ada apa?" Kini Tania yang balik bertanya, sebab ia tidak merasa melakukan kesalahan.

"Kamu aneh. Kamu bukan seperti Tania yang ku kenal," ucap Hanif.

Tania tertawa kecil."Aku masih sama, masih Tania yang dulu, maaf ya, aku tidak ada waktu untuk membicarakan hal konyol seperti ini, pekerjaanku masih banyak."

Tanpa menunggu jawaban dari Hanif, Tania pun langsung meninggalkannya begitu saja.

Mbah War yang melihat keduanya tersenyum geli. Lalu ia mendekat pada Hanif.

"Kejar kalau sudah cinta," ucap Mbah War.

"Apaan sih, Mbah," jawab Hanif tersipu.

Setelah itu mereka memesan makanan. Hanif berharap yang melayaninya adalah Tania ternyata ia salah, wanita itu lebih melayani pengunjung yang lain dan tetap menghindari dirinya.

***

Sore hari ibunya datang ke rumah. Dia berniat mengajak anak dan menantunya itu liburan, rasanya sudah sangat lama mereka tidak melakukan liburan bareng. Rencananya ia akan menyuruh anaknya melakukan bulan madu, siapa tahu ada kabar baik setelahnya. Sebab selama ini anaknya terlalu sibuk bekerja dan jarang mempunyai waktu untuk sekedar berduaan bersama istrinya.

Saat sampai di dalam rumah, dia mengedarkan pandangannya mencari sosok menantu yang ia sayangi selama ini.

Tetapi nihil, sosoknya belum terlihat, suaranya pun juga tak ia dengar. Biasanya Tania akan keluar ketika mendengar dirinya akan datang, menantunya itu akan datang menyambutnya dengan seulas senyum dan mereka berdua akan ngobrol banyak sepanjang hari. Ada saja bahan pembicaraan ketika ia bersama menantunya tersebut.

Tania sosok wanita yang enak diajak berbicara, juga cocok sebagai teman curhat.

"Mana Tania?" tanya ibunya karena sosok yang ia cari belum juga muncul di hadapannya.

Hanif sudah menduga kalau ibunya akan mencari Tania. Ia bingung harus menjawab apa, apa mungkin ia harus berterus terang kepada ibunya. Untuk berbohong rasanya juga tidak mungkin.

Tetapi untuk berbicara jujur, rasanya lidah terlalu kelu.

"Tania mana, Hanif? Kok diam saja?" tanya ibunya lagi.

"Anu...itu..."

"Kebiasaan. Ngomong itu yang jelas jangan cuma ona anu saja," jawab ibunya terlihat sebal.

"Tania pergi," jawab Hanif sambil menunduk, tak tega ia menatap wajah ibunya. Ia tak tega melihat gurat kekecewaan di wajah wanita yang telah melahirkannya itu.

"Healing? Kamu nggak ikut?" tanya ibunya lagi.

Hanif menggeleng keras. "Tania pergi, dia tidak akan kembali."

Ibunya terhenyak sesaat, mencoba mencerna maksud dari ucapan anak lelakinya tersebut.

"Kamu sedang berbohong kan?" tanya ibunya sambil menatap ke arah anaknya. Ia pandangi dalam-dalam mata anaknya, mencoba mencari kejujuran di sana.

Tidak, selama ini Hanif tidak pernah mengatakan kebohongan padanya untuk masalah serius. Kali ini apa yang diucapkan anaknya kemungkinan besar adalah kenyataan.

"Kenapa bisa kalian berpisah?" tanya ibunya lirih.

Hanif masih diam membisu, ia tak bisa menjawab apapun sekarang ini. Tak mungkin ia akan menjawab kalau ia tidak mencintai Tania, ibunya pasti akan marah besar.

"Ada sesuatu yang coba kamu tutupi dari ibu?"

Tak terasa, satu bulir air matanya jatuh. Ia tak tahu harus bicara apalagi pada ibunya.

"Maaf, Bu. Hanif gagal menjadi kepala rumah tangga," jawabnya lirih.

"Apa alasan kalian berpisah? Kamu selingkuh? Kamu KDRT?"

Hanif menggeleng keras. Bukan itu alasannya, Ibu. Teriak Hanif dalam hati.

"Lalu apa?"

"Murni."

"Murni? Almarhum Murni?" tanya ibunya memastikan.

Hanif mengangguk. "Hanif masih mencintai Murni dan hal itu yang membuat Tania pergi dari hidup Hanif."

Ibunya menatap anak lelakinya dengan tidak percaya. Selama ini ia kira anaknya sudah bisa move on dari wanita itu, ternyata tidak.

"Hanif tidak tahu Tania tahu hal ini dari siapa. Tiba-tiba saja malam itu Tania meminta berpisah, saat Hanif tanya, ia tidak mengatakan apapun."

"Dan dengan suka rela kamu membiarkan istrimu pergi?" tanya ibunya.

Hanif mengangguk. Sebenarnya ia sudah mencegah Tania, tetapi wanita itu bersikukuh untuk meminta pisah darinya.

"Antarkan Ibu untuk bertemu Tania," ucap ibunya. Hanif mendongak menatap ibunya.

Bagaimana mungkin ia mempertemukan ibunya dengan Tania. Ia sendiri saja sangat sulit menemui istrinya.

"Ayo Hanif!" ajak ibunya.

"Untuk apa, Bu? Tania tidak mau bertemu kita," jawab Hanif.

"Tania tidak akan melakukan itu terhadap Ibu. Ayo, antarkan Ibu bertemu Tania."

Tanpa banyak bicara, Hanif membawa ibunya pergi ke restoran itu. Hari sudah menjelang malam.

Ia berniat menemui atasan restoran ini dan meminta izin untuk membawa Tania pulang terlebih dahulu.

"Itu Tania," ucap ibunya. Lalu ia melangkah dan memanggil menantu kesayangannya tersebut.

Tania yang melihat kedatangan mertuanya terlonjak kaget bahkan minuman yang ia bawa nyaris tumpah.

"Ibu di sini?" tanya Tania mencoba menghilangkan gugup. Ia tidak tahu, Hanif sudah menceritakan semuanya atau belum.

"Ibu mencarimu," jawabnya.

"Ibu mau pesan apa?"

"Tidak. Ibu mau bicara sama kamu," jawab ibunya.

Tania menghela nafas panjang. Ini masih jam kerja, tidak mungkin ia meninggalkan pekerjaannya dan lebih mengobrol dengan Ibu mertuanya.

"Tania kerja, Bu," jawab Tania.

"Kamu sudah mendapat izin pulang lebih awal," jawab Hanif yang datang mendekat. Ia baru saja menemui atasan Tania dan mengutarakan maksud kedatangannya. Untung saja atasannya itu memahami. Ia memberikan kelonggaran pada Tania untuk pulang lebih awal.

Di tempat lain, Arnold masih bertanya-tanya, siapa lelaki berkulit putih yang ditemui Tania?

Apa mungkin itu calon wanita itu? Mendadak hatinya sedikit nyeri kalau memang lelaki itu adalah calon dari wanita yang secara diam-diam telah memiliki hatinya.

Kembali lagi...

"Aku tidak merasa meminta izin," jawab Tania tanpa melihat ke arah suaminya.

"Aku yang sudah bicara pada Bu Rina. Kamu boleh bertanya kalau tidak percaya," jawab Hanif.

Tania masih tak percaya, lalu ia melangkahkan kakinya untuk menemui atasannya, tetapi naas, kakinya tersandung kaki Hanif dan ia nyaris saja terjatuh. Untung ada Hanif yang siaga menangkapnya. Kini posisi Tania dalam dekapan Hanif. Lelaki itu memeluk erat tubuh Tania, ntah kenapa kali ini ada yang berdetak lebih kencang saat tubuh mereka berdempetan.

Apakah cinta itu secara diam-diam sudah tumbuh?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status