"Mbah meminta saya datang ke sini ada keperluan apa, ya?" tanya Hanif pada inti maksud kedatangannya kemari. Bukan maksud ia mengalihkan pembicaraan tetapi kedatangannya ke sini bukan untuk membahas rumah tangganya tetapi karena mendapat telepon dari Mbak Nanik, tetangga Mbah War.
"Mbah pengen menemui anak Mbah. Bisa kamu antar Mbah ke sana?"Hanif nampak berpikir, bukan maksudnya menolak tetapi ia tidak mau Mbah War merasakan kecewa seperti yang sudah-sudah. Anak Mbah War yang bernama Anton itu tidak pernah menganggap Mbah War sebagai ibunya.Ia merasa cuma menjadi angkat maka dari itu setelah ia tahu, ia sama sekali tidak pernah peduli lagi terhadap kehidupan Mbah War.Masa lalu yang kelam, membuat Mbah War tidak ingin menikah dan hanya mengangkat anak yang terbuang. Selama ini ia hanya mempunyai dua anak angkat, yang satu Hanif dan yang satu Anton.Anton sendiri ditemukan saat masih bayi dan kemungkinan besar memang sengaja dibuang oleh orangtua kandungnya, berbeda dengan Hanif.Hanif merasa punya hutang budi terhadap Mbah War karena sempat ditolong dalam kecelakaan sepuluh tahun silam. Bukan hanya ditolong, Mbah War juga bersedia mendonorkan darahnya untuk Hanif.Maka semenjak hari itu Hanif berjanji akan menjadikan Mbah War sebagai ibunya selain Ibu kandungnya."Bagaimana, Le? Kamu mau kan?""Gimana ya, Mbah? Saya takut Mbah akan merasakan kecewa lagi," jawab Hanif tidak bisa berbohong."Sudah menjadi makanan sehari-hari kalau Mbah akan merasakan kecewa. Tetapi Mbah sangat rindu Anton," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.Terlihat sekali kalau Mbah War tengah menahan rindu yang begitu dalam. Hanif sendiri yang melihat menjadi tak tega."Tapi janji, kalau nanti Mas Anton bersikap cuek, Mbah tidak boleh menangis lo," jawab Hanif.Sudah beberapa kali ia menemani Mbah War untuk menemui Anton, tetapi harus berakhir dengan tangisan yang berkepanjangan.Ntah terbuat dari apa hati Mbah War, berulang kali disakiti tetapi sama sekali tidak kapok. Baginya Anton tetaplah anaknya walaupun tidak terlahir dari rahimnya."Iya, Mbah janji," jawabnya dengan binar bahagia."Tapi besok saja ya, Mbah? Ini sudah malam. Besok pagi saja Hanif antar Mbah ke sana. Sebab kalau sore, Ibu mau datang ke rumah, jadi Hanif bisanya pagi."Mbah War mengangguk mengerti. Selepas itu tak ada obrolan berlanjut, Hanif pamit pulang untuk mengistirahatkan tubuh.Di dalam mobil ia masih memikirkan ucapan Mbah War, apa benar saat ini ia tengah mencintai Tania? Apa benar rasa itu tumbuh secara diam-diam.Lalu ia mengambil ponselnya dan mencoba mengirim pesan pada istrinya.Rasanya ada yang aneh kalau sehari saja ia tidak menghubungi Tania, walaupun sering kali pesan itu tidak dibalas, tetapi akhir-akhir ini Hanif merasa candu untuk berkirim pesan.[Hai. Sudah tidur?]Dibaca tetapi tidak dibalas. Hanif berpikir, bagaimana agar Tania mau membalas pesannya.[Mbah War ingin menemui Mas Anton. Ia memintaku mengantarkan ke sana. Ia juga bilang rindu padamu]Hanif kirim pesan itu lagi. Tak lama kemudian sebuah balasan ia terima dan mampu membuatnya tersenyum. Ternyata bahagia itu sederhana, mendapat balasan dari orang yang selalu ia pikirkan mampu membuatnya berbunga-bunga, walaupun itu cuma balasan biasa.[Titip salam sama Mbah War. Bilang, Tania juga rindu. Untuk ke rumah Mas Anton, kenapa Mas Hanif tidak mencegahnya? Kasihan kalau Mbah War harus merasakan kekecewaan lagi][Mbah War bersikukuh untuk ke sana][Kamu anaknya, harusnya kamu tahu apa yang harus kamu lakukan][Aku harus gimana, Tania?][Aku juga bingung, Mas]Hanif nampak berpikir, harus membalas apa agar hubungannya dengan Tania kembali intens. Jujur saja, ada rindu yang sulit ia redam, tetapi untuk cinta? Apakah ia benar telah jatuh cinta?[Tania. Aku ingin tahu kontrakanmu. Aku ingin sekedar main kesana][Tidak boleh. Aku tidak menerima tamu lelaki, apalagi yang bukan mahram]Tersentak, itulah yang Hanif rasa. Padahal ia sendiri tidak pernah mengucapkan kata talak bahkan perpisahan secara negara pun juga belum terlaksana tetapi kenapa saat ini mereka bukan lagi mahram.[Kita belum berpisah, Tania. Aku juga belum menjatuhkan talak untukmu, jadi saat ini kamu masih istriku]Hanif berharap balasan kali ini mampu membuat jalan pikiran Tania terbuka, tetapi ia salah. Pesan itu hanya dibaca saja tanpa dibalas.Hanif hanya bisa membuang nafas dengan kasar, setelah itu ia fokus melanjutkan mobilnya menerobos gelapnya malam.***"Pulang saja. Saya mau keluar bersama istri dan anak saya," ucap Anton saat Hanif berada di sana menemani Mbah War.Sesuatu yang sudah ia duga sebelumnya, Anton tidak menerima kehadiran Mbah War."Sebentar saja, Mas. Mbah War sangat merindukan Mas Anton," ucap Hanif membela Mbah War, ia tidak tega melihat wajah tua itu bersedih."Hanif, aku minta maaf. Aku memang ada keperluan di luar. Kalian pulang saja.""Tapi, Mas...""Tolong mengerti aku. Mbah War ini bukan ibu kandungku, tidak usahlah pakai acara drama seperti ini. Aku tidak suka," ucap Anton lalu melenggang masuk dan menutup pintunya dengan keras, menunjukkan ia ingin dua tamunya cepat pergi dari hadapannya.Dia sama sekali tak peduli dengan panggilan dari Mbah War."Kita pulang, Mbah," ucap Hanif sambil menuntun wanita tua itu."Aku rindu Anton, Le. Kenapa dia setega itu sama aku, padahal sedari kecil kasih sayang yang Mbah berikan tidaklah kurang," ucap Mbah War menunjukkan rasa kecewanya.Hanif hanya diam, tak tahu harus menjawab apa. Tapi pikirannya langsung tertuju pada Tania.Biasanya hanya Tania yang mampu menenangkan Mbah War. Sambil menyelam minum air, itulah jalan pikiran Hanif.Ia akan datang ke tempat kerjanya Tania, ia akan menjadikan Mbah War sebagai senjata agar Tania mau menemuinya dan ia bisa menatap wajah istrinya dengan lama."Kita pulang, Mbah," ucap Hanif sambil membawa tubuh wanita tua itu menuju ke mobilnya.Sedangkan Mbah War hanya bisa menurut sambil menyeka air mata. Walaupun tadi malam sudah berjanji tidak akan menangis, nyatanya mendapat penolakan dari anak yang ia cintai sangatlah sakit."Kenapa kita ke sini?" tanya Mbah War ketika Hanif menghentikan mobilnya disebuah restoran."Ada Tania di sana," jawab Hanif sambil tersenyum.Mendengar nama Tania disebut membuat Mbah War tersenyum, memang selama ini ia sangat dekat dengan istri anak angkatnya itu."Kita duduk di sana, Mbah," ucap Hanif.Tetapi saat ia melangkah masuk, matanya tak sengaja melihat pemandangan yang membuat dadanya bergemuruh hebat.Bagaimana tidak, ia melihat Tania sedang bersama seorang lelaki dan mereka terlihat sangat akrab. Hal itu nyaris tidak pernah ia lihat selama ia menikah.Lalu ia pun mengambil ponselnya dan menghubungi Tania."Hallo.." ucap Tania diseberang telepon."Temui aku sekarang. Aku diluar," ucap Hanif."Aku lagi kerja. Aku tidak bisa keluar," jawab Tania."Kerja atau bermesraan dengan lelaki lain?" ketus Hanif."Kamu apa sih, Mas? Nggak jelas banget.""Keluar. Kalau tidak, aku akan menemui atasanmu sekarang juga," ucap Hanif sambil mematikan teleponnya begitu saja.Awalnya ia ingin marah-marah terhadap Tania, tetapi ketika melihat wajah teduh dari wanita yang menghampirinya tersebut, mendadak amarah itu sirna seketika.Apalagi ketika melihat wajah pucat Tania, ia semakin merasa iba. "Ada apa?" tanya Tania dingin. Ia terpaksa menemui Hanif, ia takut Hanif akan nekat menemui atasannya dan ia akan dipecat dari pekerjaan ini. Ia membutuhkan uang untuk menyambung hidupnya."Duduklah." Hanif memerintah sambil tatapannya tak lepas dari istrinya."Aku masih sibuk. Kamu tahu restoran ini sangat ramai.""Aku akan meminta izin pada atasanmu," jawab Hanif."Tidak perlu. Kamu hanya akan membuat masalah buatku dikemudian hari."Hanif menatap tak percaya pada wanita dihadapannya. Kemana Tania yang selama ini ia kenal, Tania yang lembut, Tania yang peduli, Tania yang selalu nurut apa kata suami."Tak usah menatapku seperti itu. Cepat katakan apa mau mu. Aku tidak bisa berlama-lama di sini," ketus Tania."Kamu kenapa?" tanya Hanif dengan tatapan masih tak perca
"Maaf," ucap Hanif sambil melepas pelukan itu. Jujur saja, saat memeluk Tania tadi, ada perasaan yang sulit diungkapkan.Perasaan yang sebelumnya belum pernah ia rasakan selama ia bersama Tania selama ini. Entah itu cinta atau rindu yang terlalu dalam, Hanif mencoba mencerna, mencoba memahami apa yang kini ia rasa tetapi sangat sulit. Ia tak menemukan jawaban itu dalam dirinya."Tidak apa-apa," jawab Tania sambil berlalu. Jujur saja, ia juga gugup. Dulu sebelum semuanya terkuak, berlama-lama dalam dekapan suaminya adalah sesuatu yang sangat ia sukai. Dalam dekapan suaminya, ia merasa terlindungi, merasa dicintai dan tempat paling nyaman ketika ia merasakan lelah seharian.Tetapi semua itu hanyalah semu, kenyamanan yang ia dapatkan pada lelaki itu hanya ia saja yang merasa, tidak dengan Hanif.Setelah itu ia kembali ke belakang dan ternyata terdapat Bu Rina di sana. Tania takut, tidak biasanya Bu Rina mendatangi karyawan saat mereka tengah bekerja. Apa ada sesuatu? Atau kedatangan Bu
"Kamu terlihat cantik malam ini," bisik Hanif."Kamu jangan macam-macam," jawab Tania. Tubuhnya kini bergetar hebat, tampak sekali wajahnya pucat pasi.Walaupun hal yang lebih dari ini pernah ia rasakan tetapi kini rasanya berbeda dan dalam situasi yang tidak sama.Hanif tersenyum. Ntah kenapa ia tidak bisa menahan diri, lalu membawa tubuhnya semakin dekat dan tanpa sekat.Tanpa menunggu apapun, Hanif langsung memeluk tubuh istrinya dengan sangat erat. Tak bisa dipungkiri, ia begitu sangat merindukan Tania.Hari-harinya terasa kosong tanpa ada wanita itu di hidupnya. Sedangkan Tania mencoba melepaskan pelukan itu."Biarkan sejenak aku di sini. Aku benar-benar rindu," ucap Hanif pelan."Tetapi kita tidak ada hubungan apapun lagi, Mas.""Kata siapa? Kamu masih istriku, dan selama ini aku belum menjatuhkan talak untukmu. Kita masih muhrim."Tania diam, tak lama kemudian, pelukan itu Hanif lepaskan. Ia tatap lekat wajah cantik wanitanya itu, terlihat pucat pasi.Tania benar-benar ketakuta
Semenjak kejadian beberapa waktu lalu yang melihat kebersamaan Tania dengan pria lain, Hanif sama sekali tidak mencoba menghubungi dan menemui Tania.Malam itu ia langsung pulang dan membuang bunga itu ke tong sampah. Ia sama sekali tak menegur Tania dan berlalu begitu saja. Bahkan untuk sekedar menemui saja ia sudah tidak mau.Malam itu hatinya benar-benar hancur. Untuk kali kedua ia merasakan rasa sakit yang mendalam. Ingin kembali membina rumahtangga tapi sepertinya mustahil.Ia sadar, sudah seharusnya dirinya membiarkan Tania bahagia dengan hidupnya yang baru bukan malah egois seperti itu.Walau rasa cinta itu sudah ia sadari, tetapi ia belum yakin kalau Tania akan mempercayai ucapannya.Selain itu, sampai saat ini ia sendiri belum tahu, darimana Tania tahu perihal perasaannya selama ini. Apa ada orang dibalik semua ini?"Hanif menyerah, Bu," ucap Hanif saat ia tengah menceritakan isi hatinya pada sang Ibu, juga menceritakan peristiwa beberapa hari yang lalu.Sedangkan ibunya hany
"Bagaimana, Mas?" tanya Linda pada suaminya."Tania besok akan ke sini. Nanti aku yang akan bicara kepadanya," jawab Zaki dengan lesu.Jujur saja, saat ini ia bingung, biaya operasi anaknya harus segera dilunasi sedangkan uang yang dipegang tidak lah cukup. Mana beberapa akhir ini jualannya sepi dan tak jarang hanya balik modal saja."Kalau Tania tidak bisa minjami bagaimana, Mas? Lalu anak kita bagaimana, aku tidak mau kehilangan Tristan secepat itu," jawab Linda sambil sesenggukan.Ya, Linda dan Zaki adalah kakak dari Tania yang anaknya korban tabrak lari. Bahkan kondisi anaknya sampai saat ini belum sadar, Tristan harus dioperasi karena ada darah yang membeku di kepalanya."Terpaksa kita gadaikan rumah peninggalan Abah dan Umi," jawab Zaki."Apa Tania akan setuju?""Tania tidak akan tega melihat keponakannya sekarat. Aku tahu dia itu bagaimana," jawab Zaki.Tania adalah adik satu-satunya Zaki. Mereka hanya dua bersaudara. Sejak kecil Tania adalah adik kesayangannya, kemanapun ia p
Tania pun juga tak kalah kaget, ia juga mengira kalau wanita itu adalah Murni. "Kamu Murni, kan?" tanya Hanif. Kini tatapannya sedang menelisik ke arah wanita di depannya.Sedangkan wanita itu nampak kebingungan dengan respon keduanya. Ia menggeleng lemah sambil menahan sakit atas luka nya yang dirasa karena terjatuh dari montor."Murni siapa? Kalian salah orang. Saya Mitha," jawab wanita itu."Tidak. Kamu jangan berbohong, kamu pasti Murni," ucap Hanif.Sedangkan Tania menatap keduanya dengan bingung. Dalam benaknya bertanya, apa benar wanita ini adalah Murni, lalu yang dikubur itu siapa?"Maaf, saya Mitha. Saya bukan Murni," ucap wanita itu sambil berlalu lalu naik ke montornya.Sial, montornya tidak mau menyala, sudah beberapa kali distarter tetapi tidak mau menyala juga.Hanif mendekat." Biar saya cek dulu.""Saya harus segera pulang. Kasihan Ibu saya apalagi ini sudah malam," ucap wanita yang mengaku bernama Mitha."Kalau begitu montornya biar diambil orang bengkel, kamu saya an
Karena tidak ada jawaban dari suaminya, lantas Tania melanjutkan tidurnya. Yang ia yakini saat ini adalah suaminya masih sangat mencintai Murni.Sedangkan dalam benak Hanif, ia tidak berpikir untuk kembali pada Murni. Wanita itu hanya masa lalu, dan masa depannya adalah dengan Tania dan juga calon anaknya nanti, apalagi dirinya saat ini sangat mencintai Tania. Wanita yang secara diam-diam telah merebut seluruh hatinya tanpa menyisakan untuk menyimpan nama wanita lain lagi.***"Kenapa kamu tidak bilang pada lelaki itu?" tanya seorang wanita yang sudah sangat tua pada wanita yang baru saja menceritakan kejadian yang dialami barusan."Saya tidak mau dia kenapa-napa, Mbah. Saya hanya ingin melihatnya bahagia," jawab wanita itu."Apa kamu yakin lelaki itu bahagia?"Wanita itu mengangguk, tetapi dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia belum yakin kalau pria itu bahagia. Ia masih yakin dirinya mampu menempati tempat istimewa di hati lelaki tersebut. Tetapi untuk bicara jujur, ia belum mamp
"Adik Tristan harus segera dioperasi," ucap Dokter itu."Lakukan, Dok. Tolong selamatkan anak saya," ucap Linda."Admistrasi sudah saya lunasi, tolong lakukan yang terbaik," ucap Hanif."Baik."Dokter itu pun berlalu dan meminta seseorang untuk menyiapkan ruang operasi."Kamu tenang, Tristan akan selamat," ucap Hanif sambil membelai lembut kepala istrinya. Ia sendiri juga sama seperti Tania, rasa khawatir itu juga ada tetapi saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa, meminta pada yang memberi hidup untuk menyelamatkan nyawa bocah kecil itu."Aku takut," jawab Tania yang masih membenamkan wajah di dada suaminya. Ia benar-benar takut kehilangan keponakannya itu. Situasi ini selalu membuatnya teringat ketika Abah uminya menghembuskan nafas terakhir. Tania tidak mau kehilangan orang-orang yang ia sayangi lagi. Rasa trauma ditinggalkan masih saja membekas walaupun kata ikhlas sering ia lontarkan."Tidak perlu takut. Pasrahkan dan banyak berdoa."Tania mengangguk. Hanif sendiri tidak me