Semenjak kejadian beberapa waktu lalu yang melihat kebersamaan Tania dengan pria lain, Hanif sama sekali tidak mencoba menghubungi dan menemui Tania.Malam itu ia langsung pulang dan membuang bunga itu ke tong sampah. Ia sama sekali tak menegur Tania dan berlalu begitu saja. Bahkan untuk sekedar menemui saja ia sudah tidak mau.Malam itu hatinya benar-benar hancur. Untuk kali kedua ia merasakan rasa sakit yang mendalam. Ingin kembali membina rumahtangga tapi sepertinya mustahil.Ia sadar, sudah seharusnya dirinya membiarkan Tania bahagia dengan hidupnya yang baru bukan malah egois seperti itu.Walau rasa cinta itu sudah ia sadari, tetapi ia belum yakin kalau Tania akan mempercayai ucapannya.Selain itu, sampai saat ini ia sendiri belum tahu, darimana Tania tahu perihal perasaannya selama ini. Apa ada orang dibalik semua ini?"Hanif menyerah, Bu," ucap Hanif saat ia tengah menceritakan isi hatinya pada sang Ibu, juga menceritakan peristiwa beberapa hari yang lalu.Sedangkan ibunya hany
"Bagaimana, Mas?" tanya Linda pada suaminya."Tania besok akan ke sini. Nanti aku yang akan bicara kepadanya," jawab Zaki dengan lesu.Jujur saja, saat ini ia bingung, biaya operasi anaknya harus segera dilunasi sedangkan uang yang dipegang tidak lah cukup. Mana beberapa akhir ini jualannya sepi dan tak jarang hanya balik modal saja."Kalau Tania tidak bisa minjami bagaimana, Mas? Lalu anak kita bagaimana, aku tidak mau kehilangan Tristan secepat itu," jawab Linda sambil sesenggukan.Ya, Linda dan Zaki adalah kakak dari Tania yang anaknya korban tabrak lari. Bahkan kondisi anaknya sampai saat ini belum sadar, Tristan harus dioperasi karena ada darah yang membeku di kepalanya."Terpaksa kita gadaikan rumah peninggalan Abah dan Umi," jawab Zaki."Apa Tania akan setuju?""Tania tidak akan tega melihat keponakannya sekarat. Aku tahu dia itu bagaimana," jawab Zaki.Tania adalah adik satu-satunya Zaki. Mereka hanya dua bersaudara. Sejak kecil Tania adalah adik kesayangannya, kemanapun ia p
Tania pun juga tak kalah kaget, ia juga mengira kalau wanita itu adalah Murni. "Kamu Murni, kan?" tanya Hanif. Kini tatapannya sedang menelisik ke arah wanita di depannya.Sedangkan wanita itu nampak kebingungan dengan respon keduanya. Ia menggeleng lemah sambil menahan sakit atas luka nya yang dirasa karena terjatuh dari montor."Murni siapa? Kalian salah orang. Saya Mitha," jawab wanita itu."Tidak. Kamu jangan berbohong, kamu pasti Murni," ucap Hanif.Sedangkan Tania menatap keduanya dengan bingung. Dalam benaknya bertanya, apa benar wanita ini adalah Murni, lalu yang dikubur itu siapa?"Maaf, saya Mitha. Saya bukan Murni," ucap wanita itu sambil berlalu lalu naik ke montornya.Sial, montornya tidak mau menyala, sudah beberapa kali distarter tetapi tidak mau menyala juga.Hanif mendekat." Biar saya cek dulu.""Saya harus segera pulang. Kasihan Ibu saya apalagi ini sudah malam," ucap wanita yang mengaku bernama Mitha."Kalau begitu montornya biar diambil orang bengkel, kamu saya an
Karena tidak ada jawaban dari suaminya, lantas Tania melanjutkan tidurnya. Yang ia yakini saat ini adalah suaminya masih sangat mencintai Murni.Sedangkan dalam benak Hanif, ia tidak berpikir untuk kembali pada Murni. Wanita itu hanya masa lalu, dan masa depannya adalah dengan Tania dan juga calon anaknya nanti, apalagi dirinya saat ini sangat mencintai Tania. Wanita yang secara diam-diam telah merebut seluruh hatinya tanpa menyisakan untuk menyimpan nama wanita lain lagi.***"Kenapa kamu tidak bilang pada lelaki itu?" tanya seorang wanita yang sudah sangat tua pada wanita yang baru saja menceritakan kejadian yang dialami barusan."Saya tidak mau dia kenapa-napa, Mbah. Saya hanya ingin melihatnya bahagia," jawab wanita itu."Apa kamu yakin lelaki itu bahagia?"Wanita itu mengangguk, tetapi dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia belum yakin kalau pria itu bahagia. Ia masih yakin dirinya mampu menempati tempat istimewa di hati lelaki tersebut. Tetapi untuk bicara jujur, ia belum mamp
"Adik Tristan harus segera dioperasi," ucap Dokter itu."Lakukan, Dok. Tolong selamatkan anak saya," ucap Linda."Admistrasi sudah saya lunasi, tolong lakukan yang terbaik," ucap Hanif."Baik."Dokter itu pun berlalu dan meminta seseorang untuk menyiapkan ruang operasi."Kamu tenang, Tristan akan selamat," ucap Hanif sambil membelai lembut kepala istrinya. Ia sendiri juga sama seperti Tania, rasa khawatir itu juga ada tetapi saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa, meminta pada yang memberi hidup untuk menyelamatkan nyawa bocah kecil itu."Aku takut," jawab Tania yang masih membenamkan wajah di dada suaminya. Ia benar-benar takut kehilangan keponakannya itu. Situasi ini selalu membuatnya teringat ketika Abah uminya menghembuskan nafas terakhir. Tania tidak mau kehilangan orang-orang yang ia sayangi lagi. Rasa trauma ditinggalkan masih saja membekas walaupun kata ikhlas sering ia lontarkan."Tidak perlu takut. Pasrahkan dan banyak berdoa."Tania mengangguk. Hanif sendiri tidak me
"Gajian kurang berapa hari?" tanya Tania pada Niar."Sepuluh hari lagi. Kenapa, Tan? Kamu sudah kehabisan uang? Mau pinjam sama aku?"Tania menggeleng lemah sambil tersenyum. "Setelah gajian aku akan mengundurkan diri."Niar yang mendengar tersentak kaget. "Kenapa?""Suamiku melarang.""Suami? Memang kamu sudah bersuami?""Ya. Lelaki yang menemuiku beberapa waktu lalu adalah suamiku, namanya Mas Hanif," jawab Tania."Wah, bakal patah hati si Arnold," ucap Niar sambil cekikikan. Ia malah punya rencana konyol untuk mengerjai temannya itu. Tidak bisa dipungkiri kalau selama ini ia menyukai Arnold secara diam-diam, tetapi lelaki itu lebih memilih Tania."Kenapa dengan Arnold?""Nggak apa-apa, udah, lupain saja," jawab Niar.***Malam hari...Tania sudah ditunggu oleh Hanif diluar. Ia melangkahkan kaki nya dengan cepat."Sudah lama menunggu?" tanya Tania sambil memakai sabuk pengaman. "Belum, paling setengah jam yang lalu.""Itu mah sudah lama.""Bagiku tidak lama, karena aku menunggu cal
"Aku tidak bisa hidup denganmu, Beni. Tolong, mengertilah," ucap Murni sambil terisak."Baiklah, aku tidak akan memaksa. Tetapi ingat, aku akan bawa anakku pergi!""Apa kamu belum jera membuatku menderita? Kamu sudah menodaiku, kamu juga sudah memisahkanku dengan lelaki yang ku cintai. Apa itu semua belum cukup?""Itu karena salahmu. Dulu kau menghinaku dan keluargaku, juga Hanif kesayanganmu yang selalu ikut campur!""Tapi aku sudah meminta maaf. Apa itu masih kurang?"Beni tersenyum sinis."Bahkan selama itu aku masih sangat membenci lelaki itu, ingin sekali aku membunuhnya.""Jangan sakiti dia, biarkan dia bahagia. Cukup aku yang kamu sakiti," pinta Tania."Jangan berpikir sepicik itu. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang buruk terhadapnya.""Aku mohon, jangan ambil anakku.""Kalau begitu, menikahlah denganku, maka semuanya akan ku anggap selesai, aku tidak akan menyakiti keluargamu dan juga lelaki itu," ucap Beni.Murni nampak berpikir, tetapi mau gimana lagi. Ia tidak mau dipisah
"Aku memang belum merasakan bagaimana rasanya mempunyai anak, tetapi aku tahu rasanya kehilangan," ucap Tania selesai pemakaman Tristan.Malam ini mereka menginap di rumah kakaknya untuk mengikuti acara tahlilan."Kita semua merasa kehilangan tetapi jangan sampai larut dalam kesedihan. Kasihan Tristan, dia tidak akan tenang kalau terus-terusan ditangisi," ucap Hanif sambil membelai lembut kepala istrinya.Tania pun mengangguk. Ia naik turunkan pikirannya dan mencoba ikhlas dengan apa yang telah terjadi.Setelah itu Hanif mengajak istrinya untuk tidur. Sedangkan Tania sama sekali tidak bisa memejamkan mata.Hanif yang sadar akan kegelisahan istrinya pun langsung memeluk tubuh istrinya dan berharap bisa memberikan ketenangan."Tidur," ucap Hanif."Aku nggak bisa tidur.""Dipaksa, jangan sampai kamu sakit. Besok kita masih repot, kalau kamu kurang tidur, yang ada badan kamu akan drop. Aku nggak mau kamu sakit," ucap Hanif sambil merekatkan pelukannya."Iya, Mas." Lalu Tania pun mencoba m