Share

bab 7

"Maaf," ucap Hanif sambil melepas pelukan itu. Jujur saja, saat memeluk Tania tadi, ada perasaan yang sulit diungkapkan.

Perasaan yang sebelumnya belum pernah ia rasakan selama ia bersama Tania selama ini. Entah itu cinta atau rindu yang terlalu dalam, Hanif mencoba mencerna, mencoba memahami apa yang kini ia rasa tetapi sangat sulit. Ia tak menemukan jawaban itu dalam dirinya.

"Tidak apa-apa," jawab Tania sambil berlalu. Jujur saja, ia juga gugup.

Dulu sebelum semuanya terkuak, berlama-lama dalam dekapan suaminya adalah sesuatu yang sangat ia sukai. Dalam dekapan suaminya, ia merasa terlindungi, merasa dicintai dan tempat paling nyaman ketika ia merasakan lelah seharian.

Tetapi semua itu hanyalah semu, kenyamanan yang ia dapatkan pada lelaki itu hanya ia saja yang merasa, tidak dengan Hanif.

Setelah itu ia kembali ke belakang dan ternyata terdapat Bu Rina di sana. Tania takut, tidak biasanya Bu Rina mendatangi karyawan saat mereka tengah bekerja. Apa ada sesuatu? Atau kedatangan Bu Rina karena ingin memecatnya?

Semua pikiran jelek terkumpul di kepalanya. Dengan sedikit takut, ia mendekat ke arah mereka.

Bu Rina yang melihat kedatangan Tania mengernyitkan dahinya.

"Katanya pulang lebih awal? Kok kembali ke sini?" tanya Bu Rina.

Tania mendongakkan kepala. Jujur saja, ia tidak mau sampai kehilangan pekerjaan ini.

"Tadi Pak Hanif datang menemui saya, dia memberi alasan kenapa kamu harus pulang cepat. Apa tadi beliau tidak bilang?" tanya Bu Rina.

"Bilang, Bu. Tetapi saya tidak percaya," jawab Tania.

"Hari ini saya izinkan kamu pulang cepat. Kalau urusan kamu sudah selesai, besok kamu bisa kembali bekerja," jawab Bu Rina dengan seulas senyum.

Penuturan Bu Rina membuat Tania bisa bernafas lega. Akhirnya ia tidak jadi dipecat.

***

Tania keluar dari restoran itu dan mendapati Ibu mertuanya masih di sana bersama Hanif.

"Ibu mau bicara sama kamu, Tania," ucap Ibu mertuanya.

"Ada apa, Bu?"

"Kita cari tempat paling nyaman untuk berbicara," ucapnya. Lalu ia mengajak Tania masuk ke dalam mobil.

Awalnya Tania menolak, ia tidak mau satu kendaraan dengan Hanif. Tetapi Ibu mertuanya memaksa dan mengatakan tidak apa-apa.

Tania pun menurut, ia pun duduk di bangku belakang bersama Ibu mertuanya.

"Kita ke kontrakan kamu, ya?" ucap Ibu mertuanya.

Tania terhenyak, ia tidak mau ada satu orang pun yang tahu tempat tinggalnya saat ini. Apalagi saat ini ada Hanif, ia tidak menginginkan calon mantan suaminya itu tahu dimana ia tinggal.

Rasanya belum sanggup kalau tiba-tiba saja Hanif datang bertamu dan akan menimbulkan fitnah. Apalagi setelah ia memutuskan pergi dari kehidupan lelaki itu, hampir setiap

"Kita cari tempat lain saja, Bu," jawab Tania.

"Kenapa? Lebih enak ngobrol di rumah kamu jadi kita akan leluasa bicara banyak."

"Apa tidak sebaiknya bicara di dalam mobil saja? Di sini pun orang lain juga tidak akan tahu kita bicara apa," jawab Tania dengan nada dingin. Ia sengaja bersikap demikian agar Ibu mertuanya ilfil padanya.

Tetapi diluar dugaan. Ibu mertuanya memeluknya dengan erat.

"Ibu tahu yang kamu rasa, Nak. Ibu tahu rasanya hancur," bisiknya.

Sedangkan Hanif tak membuka suara, ia masih tetap diam sambil matanya fokus pada kemudinya sambil mendengarkan apa yang akan diucapkan dua wanita di belakangnya.

"Aku tidak perlu dikasihani," jawab Tania dengan datar. Jujur, berpura-pura kuat sangatlah sulit, apalagi berpura-pura jutek agar orang itu ilfil kepadanya. Tetapi harus ia lakukan, ia tidak mau Ibu mertuanya terlalu berharap agar ia kembali pada anaknya.

Hal itu tidak akan pernah terjadi selagi masih ada bayang-bayang Murni di hidup Hanif.

"Ibu tidak merasa kasihan kepadamu, Ibu ingin kamu kuat."

"Apa aku terlihat tidak kuat?" tanya Tania sambil menatap ke arah Ibu mertuanya.

Kini mertuanya tidak habis pikir dengan sikap yang ditunjukan oleh menantunya tersebut, tetapi ia coba memaklumi. Mungkin terlalu dalam sakit yang telah menantunya itu rasakan.

"Jadi kamu tidak ingin Ibu tahu kontrakanmu?" tanyanya kemudian.

Tania mengangguk membenarkan. Rasanya tidak perlu ada kebohongan lagi.

"Sayang sekali. Padahal Ibu ingin nginap di rumah kamu," ucap Ibunya.

"Maaf," ucap Tania.

"Jadi kita kemana ini?" tanya Hanif membuka suara. Jujur saja, ia lelah kalau harus mutar-mutar tidak jelas.

"Antar Tania ke kontrakannya. Hari sudah malam, kasihan kalau dia pulang sendiri," jawab ibunya.

Tania menatap mertuanya, padahal baru beberapa detik lalu Ibu mertuanya tahu kalau ia tidak ingin mereka tahu dimana kontrakannya.

"Tidak usah memandang seperti itu. Kenapa harus rahasia-rahasiaan? Ibu ingin silaturahmi ke tempat kamu."

"Tidak bisa."

"Beri Ibu alasan yang jelas, kenapa kamu tidak menginginkan Ibu tahu kontrakan kamu," jawab Ibu mertuanya.

Tania bungkam, tetapi tatapannya mengarah ke arah Hanif. Tak sengaja, lelaki itu juga melihat ke arahnya lewat kaca di depannya.

Alasan paling utama adalah ia tidak mau Hanif tahu tempat tinggalnya. Ah, rasanya percuma saja ia bicara pada Ibu mertuanya.

"Ini kemana?" tanya Hanif.

Tania mengalihkan pandangannya ke arah luar, ia merasa risih ketika lelaki di hadapannya menatapnya lama, walaupun itu lewat kaca depan. Lalu ia menyebutkan jalan mana yang harus mereka tempuh untuk menuju ke kontrakannya.

Setelah beberapa menit, akhirnya mereka tiba di kontrakan Tania. Mereka bertiga pun turun. Tak lupa, Tania mempersilahkan tamunya untuk masuk.

Hanif mengedarkan pandangannya di setiap sudut rumah ini. Ia nampak terenyuh dengan tempat tinggal Tania. Ingin sekali saat ini juga ia membawa wanita itu pergi dari tempat ini dan memberikan semua fasilitas yang ia punya saat ini.

Tetapi rasanya mustahil. Tania bersikap dingin terhadapnya.

"Maaf, kalau kalian tidak nyaman masuk ke kontrakanku," ucap Tania membuka suara.

"Tidak apa-apa. Malam ini, Ibu ingin menginap di sini," ucap Ibunya.

"Tidak ada kamar kosong, Bu," jawab Tania yang secara tidak langsung menolak keberadaan Ibu mertuanya.

"Bisa tidur sama kamu. Kita kan sama-sama perempuan."

"Tidak."

"Ada sesuatu yang ingin Ibu ceritakan pada kamu, tetapi Hanif tidak boleh mendengar. Maka dari itu, Ibu akan menginap di sini dan menyuruh Hanif untuk pulang," ucap Ibu mertuanya.

"Ibu jangan aneh-aneh di rumah orang," ucap Hanif merasa tidak enak terhadap Tania. Apalagi ia melihat wajah keberatan dari istrinya tersebut.

"Ibu ingin istirahat," ucap ibunya dan tidak merespon ucapan anak lelakinya tersebut.

Karena merasa tidak enak, Tania pun membawa Ibu mertuanya masuk ke dalam kamar. Lalu ia membawa langkah keluar untuk menemui Hanif dan meminta lelaki itu segera pulang karena ia merasa tidak enak terhadap tetangga kanan kirinya.

"Tania, apa kamu baik-baik saja?" tanya Hanif saat melihat istrinya keluar.

Kini ia tatap lekat wanita di hadapannya. Masih sama, wajah itu masih meneduhkan ketika dipandang.

"Pulanglah, Mas," jawab Tania dengan nada dingin.

"Aku bertanya, tolong kamu jawab. Apa kamu baik-baik saja?"

"Ya, aku baik. Apa aku terlihat tidak baik?" tanya Tania sambil menatap ke arah lelaki tersebut.

"Aku menangkap kamu sedang tidak baik-baik saja," jawab Hanif.

Tania tertawa kecil. "Sudah malam, kamu pulang saja."

"kamu mengusirku?"

"Ya."

"Kalau aku bilang tidak mau?"

"Aku akan memaksa."

Hanif tersenyum lalu ia bawa langkahnya lebih dekat ke arah Tania, wanita itu melangkah mundur ketika melihat Hanif datang mendekat.

Jujur saja, badannya terasa panas dingin. Ia tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh Hanif terhadapnya, kalau sampai macam-macam, ia akan teriak. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi nanti.

Kini langkah Hanif semakin dekat, dan jarak mereka cuma beberapa sentimeter.

Tania tidak bisa berlari, ia sudah kepentok dengan tembok. Ia pasrah malam ini akan jadi apa, rasanya ia benar-benar takut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status