"Maaf," ucap Hanif sambil melepas pelukan itu. Jujur saja, saat memeluk Tania tadi, ada perasaan yang sulit diungkapkan.
Perasaan yang sebelumnya belum pernah ia rasakan selama ia bersama Tania selama ini. Entah itu cinta atau rindu yang terlalu dalam, Hanif mencoba mencerna, mencoba memahami apa yang kini ia rasa tetapi sangat sulit. Ia tak menemukan jawaban itu dalam dirinya."Tidak apa-apa," jawab Tania sambil berlalu. Jujur saja, ia juga gugup.Dulu sebelum semuanya terkuak, berlama-lama dalam dekapan suaminya adalah sesuatu yang sangat ia sukai. Dalam dekapan suaminya, ia merasa terlindungi, merasa dicintai dan tempat paling nyaman ketika ia merasakan lelah seharian.Tetapi semua itu hanyalah semu, kenyamanan yang ia dapatkan pada lelaki itu hanya ia saja yang merasa, tidak dengan Hanif.Setelah itu ia kembali ke belakang dan ternyata terdapat Bu Rina di sana. Tania takut, tidak biasanya Bu Rina mendatangi karyawan saat mereka tengah bekerja. Apa ada sesuatu? Atau kedatangan Bu Rina karena ingin memecatnya?Semua pikiran jelek terkumpul di kepalanya. Dengan sedikit takut, ia mendekat ke arah mereka.Bu Rina yang melihat kedatangan Tania mengernyitkan dahinya."Katanya pulang lebih awal? Kok kembali ke sini?" tanya Bu Rina.Tania mendongakkan kepala. Jujur saja, ia tidak mau sampai kehilangan pekerjaan ini."Tadi Pak Hanif datang menemui saya, dia memberi alasan kenapa kamu harus pulang cepat. Apa tadi beliau tidak bilang?" tanya Bu Rina."Bilang, Bu. Tetapi saya tidak percaya," jawab Tania."Hari ini saya izinkan kamu pulang cepat. Kalau urusan kamu sudah selesai, besok kamu bisa kembali bekerja," jawab Bu Rina dengan seulas senyum.Penuturan Bu Rina membuat Tania bisa bernafas lega. Akhirnya ia tidak jadi dipecat.***Tania keluar dari restoran itu dan mendapati Ibu mertuanya masih di sana bersama Hanif."Ibu mau bicara sama kamu, Tania," ucap Ibu mertuanya."Ada apa, Bu?""Kita cari tempat paling nyaman untuk berbicara," ucapnya. Lalu ia mengajak Tania masuk ke dalam mobil.Awalnya Tania menolak, ia tidak mau satu kendaraan dengan Hanif. Tetapi Ibu mertuanya memaksa dan mengatakan tidak apa-apa.Tania pun menurut, ia pun duduk di bangku belakang bersama Ibu mertuanya."Kita ke kontrakan kamu, ya?" ucap Ibu mertuanya.Tania terhenyak, ia tidak mau ada satu orang pun yang tahu tempat tinggalnya saat ini. Apalagi saat ini ada Hanif, ia tidak menginginkan calon mantan suaminya itu tahu dimana ia tinggal.Rasanya belum sanggup kalau tiba-tiba saja Hanif datang bertamu dan akan menimbulkan fitnah. Apalagi setelah ia memutuskan pergi dari kehidupan lelaki itu, hampir setiap"Kita cari tempat lain saja, Bu," jawab Tania."Kenapa? Lebih enak ngobrol di rumah kamu jadi kita akan leluasa bicara banyak.""Apa tidak sebaiknya bicara di dalam mobil saja? Di sini pun orang lain juga tidak akan tahu kita bicara apa," jawab Tania dengan nada dingin. Ia sengaja bersikap demikian agar Ibu mertuanya ilfil padanya.Tetapi diluar dugaan. Ibu mertuanya memeluknya dengan erat."Ibu tahu yang kamu rasa, Nak. Ibu tahu rasanya hancur," bisiknya.Sedangkan Hanif tak membuka suara, ia masih tetap diam sambil matanya fokus pada kemudinya sambil mendengarkan apa yang akan diucapkan dua wanita di belakangnya."Aku tidak perlu dikasihani," jawab Tania dengan datar. Jujur, berpura-pura kuat sangatlah sulit, apalagi berpura-pura jutek agar orang itu ilfil kepadanya. Tetapi harus ia lakukan, ia tidak mau Ibu mertuanya terlalu berharap agar ia kembali pada anaknya.Hal itu tidak akan pernah terjadi selagi masih ada bayang-bayang Murni di hidup Hanif."Ibu tidak merasa kasihan kepadamu, Ibu ingin kamu kuat.""Apa aku terlihat tidak kuat?" tanya Tania sambil menatap ke arah Ibu mertuanya.Kini mertuanya tidak habis pikir dengan sikap yang ditunjukan oleh menantunya tersebut, tetapi ia coba memaklumi. Mungkin terlalu dalam sakit yang telah menantunya itu rasakan."Jadi kamu tidak ingin Ibu tahu kontrakanmu?" tanyanya kemudian.Tania mengangguk membenarkan. Rasanya tidak perlu ada kebohongan lagi."Sayang sekali. Padahal Ibu ingin nginap di rumah kamu," ucap Ibunya."Maaf," ucap Tania."Jadi kita kemana ini?" tanya Hanif membuka suara. Jujur saja, ia lelah kalau harus mutar-mutar tidak jelas."Antar Tania ke kontrakannya. Hari sudah malam, kasihan kalau dia pulang sendiri," jawab ibunya.Tania menatap mertuanya, padahal baru beberapa detik lalu Ibu mertuanya tahu kalau ia tidak ingin mereka tahu dimana kontrakannya."Tidak usah memandang seperti itu. Kenapa harus rahasia-rahasiaan? Ibu ingin silaturahmi ke tempat kamu.""Tidak bisa.""Beri Ibu alasan yang jelas, kenapa kamu tidak menginginkan Ibu tahu kontrakan kamu," jawab Ibu mertuanya.Tania bungkam, tetapi tatapannya mengarah ke arah Hanif. Tak sengaja, lelaki itu juga melihat ke arahnya lewat kaca di depannya.Alasan paling utama adalah ia tidak mau Hanif tahu tempat tinggalnya. Ah, rasanya percuma saja ia bicara pada Ibu mertuanya."Ini kemana?" tanya Hanif.Tania mengalihkan pandangannya ke arah luar, ia merasa risih ketika lelaki di hadapannya menatapnya lama, walaupun itu lewat kaca depan. Lalu ia menyebutkan jalan mana yang harus mereka tempuh untuk menuju ke kontrakannya.Setelah beberapa menit, akhirnya mereka tiba di kontrakan Tania. Mereka bertiga pun turun. Tak lupa, Tania mempersilahkan tamunya untuk masuk.Hanif mengedarkan pandangannya di setiap sudut rumah ini. Ia nampak terenyuh dengan tempat tinggal Tania. Ingin sekali saat ini juga ia membawa wanita itu pergi dari tempat ini dan memberikan semua fasilitas yang ia punya saat ini.Tetapi rasanya mustahil. Tania bersikap dingin terhadapnya."Maaf, kalau kalian tidak nyaman masuk ke kontrakanku," ucap Tania membuka suara."Tidak apa-apa. Malam ini, Ibu ingin menginap di sini," ucap Ibunya."Tidak ada kamar kosong, Bu," jawab Tania yang secara tidak langsung menolak keberadaan Ibu mertuanya."Bisa tidur sama kamu. Kita kan sama-sama perempuan.""Tidak.""Ada sesuatu yang ingin Ibu ceritakan pada kamu, tetapi Hanif tidak boleh mendengar. Maka dari itu, Ibu akan menginap di sini dan menyuruh Hanif untuk pulang," ucap Ibu mertuanya."Ibu jangan aneh-aneh di rumah orang," ucap Hanif merasa tidak enak terhadap Tania. Apalagi ia melihat wajah keberatan dari istrinya tersebut."Ibu ingin istirahat," ucap ibunya dan tidak merespon ucapan anak lelakinya tersebut.Karena merasa tidak enak, Tania pun membawa Ibu mertuanya masuk ke dalam kamar. Lalu ia membawa langkah keluar untuk menemui Hanif dan meminta lelaki itu segera pulang karena ia merasa tidak enak terhadap tetangga kanan kirinya."Tania, apa kamu baik-baik saja?" tanya Hanif saat melihat istrinya keluar.Kini ia tatap lekat wanita di hadapannya. Masih sama, wajah itu masih meneduhkan ketika dipandang."Pulanglah, Mas," jawab Tania dengan nada dingin."Aku bertanya, tolong kamu jawab. Apa kamu baik-baik saja?""Ya, aku baik. Apa aku terlihat tidak baik?" tanya Tania sambil menatap ke arah lelaki tersebut."Aku menangkap kamu sedang tidak baik-baik saja," jawab Hanif.Tania tertawa kecil. "Sudah malam, kamu pulang saja.""kamu mengusirku?""Ya.""Kalau aku bilang tidak mau?""Aku akan memaksa."Hanif tersenyum lalu ia bawa langkahnya lebih dekat ke arah Tania, wanita itu melangkah mundur ketika melihat Hanif datang mendekat.Jujur saja, badannya terasa panas dingin. Ia tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh Hanif terhadapnya, kalau sampai macam-macam, ia akan teriak. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi nanti.Kini langkah Hanif semakin dekat, dan jarak mereka cuma beberapa sentimeter.Tania tidak bisa berlari, ia sudah kepentok dengan tembok. Ia pasrah malam ini akan jadi apa, rasanya ia benar-benar takut."Kamu terlihat cantik malam ini," bisik Hanif."Kamu jangan macam-macam," jawab Tania. Tubuhnya kini bergetar hebat, tampak sekali wajahnya pucat pasi.Walaupun hal yang lebih dari ini pernah ia rasakan tetapi kini rasanya berbeda dan dalam situasi yang tidak sama.Hanif tersenyum. Ntah kenapa ia tidak bisa menahan diri, lalu membawa tubuhnya semakin dekat dan tanpa sekat.Tanpa menunggu apapun, Hanif langsung memeluk tubuh istrinya dengan sangat erat. Tak bisa dipungkiri, ia begitu sangat merindukan Tania.Hari-harinya terasa kosong tanpa ada wanita itu di hidupnya. Sedangkan Tania mencoba melepaskan pelukan itu."Biarkan sejenak aku di sini. Aku benar-benar rindu," ucap Hanif pelan."Tetapi kita tidak ada hubungan apapun lagi, Mas.""Kata siapa? Kamu masih istriku, dan selama ini aku belum menjatuhkan talak untukmu. Kita masih muhrim."Tania diam, tak lama kemudian, pelukan itu Hanif lepaskan. Ia tatap lekat wajah cantik wanitanya itu, terlihat pucat pasi.Tania benar-benar ketakuta
Semenjak kejadian beberapa waktu lalu yang melihat kebersamaan Tania dengan pria lain, Hanif sama sekali tidak mencoba menghubungi dan menemui Tania.Malam itu ia langsung pulang dan membuang bunga itu ke tong sampah. Ia sama sekali tak menegur Tania dan berlalu begitu saja. Bahkan untuk sekedar menemui saja ia sudah tidak mau.Malam itu hatinya benar-benar hancur. Untuk kali kedua ia merasakan rasa sakit yang mendalam. Ingin kembali membina rumahtangga tapi sepertinya mustahil.Ia sadar, sudah seharusnya dirinya membiarkan Tania bahagia dengan hidupnya yang baru bukan malah egois seperti itu.Walau rasa cinta itu sudah ia sadari, tetapi ia belum yakin kalau Tania akan mempercayai ucapannya.Selain itu, sampai saat ini ia sendiri belum tahu, darimana Tania tahu perihal perasaannya selama ini. Apa ada orang dibalik semua ini?"Hanif menyerah, Bu," ucap Hanif saat ia tengah menceritakan isi hatinya pada sang Ibu, juga menceritakan peristiwa beberapa hari yang lalu.Sedangkan ibunya hany
"Bagaimana, Mas?" tanya Linda pada suaminya."Tania besok akan ke sini. Nanti aku yang akan bicara kepadanya," jawab Zaki dengan lesu.Jujur saja, saat ini ia bingung, biaya operasi anaknya harus segera dilunasi sedangkan uang yang dipegang tidak lah cukup. Mana beberapa akhir ini jualannya sepi dan tak jarang hanya balik modal saja."Kalau Tania tidak bisa minjami bagaimana, Mas? Lalu anak kita bagaimana, aku tidak mau kehilangan Tristan secepat itu," jawab Linda sambil sesenggukan.Ya, Linda dan Zaki adalah kakak dari Tania yang anaknya korban tabrak lari. Bahkan kondisi anaknya sampai saat ini belum sadar, Tristan harus dioperasi karena ada darah yang membeku di kepalanya."Terpaksa kita gadaikan rumah peninggalan Abah dan Umi," jawab Zaki."Apa Tania akan setuju?""Tania tidak akan tega melihat keponakannya sekarat. Aku tahu dia itu bagaimana," jawab Zaki.Tania adalah adik satu-satunya Zaki. Mereka hanya dua bersaudara. Sejak kecil Tania adalah adik kesayangannya, kemanapun ia p
Tania pun juga tak kalah kaget, ia juga mengira kalau wanita itu adalah Murni. "Kamu Murni, kan?" tanya Hanif. Kini tatapannya sedang menelisik ke arah wanita di depannya.Sedangkan wanita itu nampak kebingungan dengan respon keduanya. Ia menggeleng lemah sambil menahan sakit atas luka nya yang dirasa karena terjatuh dari montor."Murni siapa? Kalian salah orang. Saya Mitha," jawab wanita itu."Tidak. Kamu jangan berbohong, kamu pasti Murni," ucap Hanif.Sedangkan Tania menatap keduanya dengan bingung. Dalam benaknya bertanya, apa benar wanita ini adalah Murni, lalu yang dikubur itu siapa?"Maaf, saya Mitha. Saya bukan Murni," ucap wanita itu sambil berlalu lalu naik ke montornya.Sial, montornya tidak mau menyala, sudah beberapa kali distarter tetapi tidak mau menyala juga.Hanif mendekat." Biar saya cek dulu.""Saya harus segera pulang. Kasihan Ibu saya apalagi ini sudah malam," ucap wanita yang mengaku bernama Mitha."Kalau begitu montornya biar diambil orang bengkel, kamu saya an
Karena tidak ada jawaban dari suaminya, lantas Tania melanjutkan tidurnya. Yang ia yakini saat ini adalah suaminya masih sangat mencintai Murni.Sedangkan dalam benak Hanif, ia tidak berpikir untuk kembali pada Murni. Wanita itu hanya masa lalu, dan masa depannya adalah dengan Tania dan juga calon anaknya nanti, apalagi dirinya saat ini sangat mencintai Tania. Wanita yang secara diam-diam telah merebut seluruh hatinya tanpa menyisakan untuk menyimpan nama wanita lain lagi.***"Kenapa kamu tidak bilang pada lelaki itu?" tanya seorang wanita yang sudah sangat tua pada wanita yang baru saja menceritakan kejadian yang dialami barusan."Saya tidak mau dia kenapa-napa, Mbah. Saya hanya ingin melihatnya bahagia," jawab wanita itu."Apa kamu yakin lelaki itu bahagia?"Wanita itu mengangguk, tetapi dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia belum yakin kalau pria itu bahagia. Ia masih yakin dirinya mampu menempati tempat istimewa di hati lelaki tersebut. Tetapi untuk bicara jujur, ia belum mamp
"Adik Tristan harus segera dioperasi," ucap Dokter itu."Lakukan, Dok. Tolong selamatkan anak saya," ucap Linda."Admistrasi sudah saya lunasi, tolong lakukan yang terbaik," ucap Hanif."Baik."Dokter itu pun berlalu dan meminta seseorang untuk menyiapkan ruang operasi."Kamu tenang, Tristan akan selamat," ucap Hanif sambil membelai lembut kepala istrinya. Ia sendiri juga sama seperti Tania, rasa khawatir itu juga ada tetapi saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa, meminta pada yang memberi hidup untuk menyelamatkan nyawa bocah kecil itu."Aku takut," jawab Tania yang masih membenamkan wajah di dada suaminya. Ia benar-benar takut kehilangan keponakannya itu. Situasi ini selalu membuatnya teringat ketika Abah uminya menghembuskan nafas terakhir. Tania tidak mau kehilangan orang-orang yang ia sayangi lagi. Rasa trauma ditinggalkan masih saja membekas walaupun kata ikhlas sering ia lontarkan."Tidak perlu takut. Pasrahkan dan banyak berdoa."Tania mengangguk. Hanif sendiri tidak me
"Gajian kurang berapa hari?" tanya Tania pada Niar."Sepuluh hari lagi. Kenapa, Tan? Kamu sudah kehabisan uang? Mau pinjam sama aku?"Tania menggeleng lemah sambil tersenyum. "Setelah gajian aku akan mengundurkan diri."Niar yang mendengar tersentak kaget. "Kenapa?""Suamiku melarang.""Suami? Memang kamu sudah bersuami?""Ya. Lelaki yang menemuiku beberapa waktu lalu adalah suamiku, namanya Mas Hanif," jawab Tania."Wah, bakal patah hati si Arnold," ucap Niar sambil cekikikan. Ia malah punya rencana konyol untuk mengerjai temannya itu. Tidak bisa dipungkiri kalau selama ini ia menyukai Arnold secara diam-diam, tetapi lelaki itu lebih memilih Tania."Kenapa dengan Arnold?""Nggak apa-apa, udah, lupain saja," jawab Niar.***Malam hari...Tania sudah ditunggu oleh Hanif diluar. Ia melangkahkan kaki nya dengan cepat."Sudah lama menunggu?" tanya Tania sambil memakai sabuk pengaman. "Belum, paling setengah jam yang lalu.""Itu mah sudah lama.""Bagiku tidak lama, karena aku menunggu cal
"Aku tidak bisa hidup denganmu, Beni. Tolong, mengertilah," ucap Murni sambil terisak."Baiklah, aku tidak akan memaksa. Tetapi ingat, aku akan bawa anakku pergi!""Apa kamu belum jera membuatku menderita? Kamu sudah menodaiku, kamu juga sudah memisahkanku dengan lelaki yang ku cintai. Apa itu semua belum cukup?""Itu karena salahmu. Dulu kau menghinaku dan keluargaku, juga Hanif kesayanganmu yang selalu ikut campur!""Tapi aku sudah meminta maaf. Apa itu masih kurang?"Beni tersenyum sinis."Bahkan selama itu aku masih sangat membenci lelaki itu, ingin sekali aku membunuhnya.""Jangan sakiti dia, biarkan dia bahagia. Cukup aku yang kamu sakiti," pinta Tania."Jangan berpikir sepicik itu. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang buruk terhadapnya.""Aku mohon, jangan ambil anakku.""Kalau begitu, menikahlah denganku, maka semuanya akan ku anggap selesai, aku tidak akan menyakiti keluargamu dan juga lelaki itu," ucap Beni.Murni nampak berpikir, tetapi mau gimana lagi. Ia tidak mau dipisah