Setelah pencarian dibeberapa tempat, akhirnya Tania mendapatkan kontrakan yang cocok untuknya dan sesuai kemampuannya, walaupun bisa dikatakan kontrakan kecil dan tidak sebesar rumah yang ia tempati selama ini tetapi ia bersyukur bisa mempunyai tempat tinggal.
Setelah itu ia membereskan rumah itu dan memasukkan bajunya ke dalam almari. Tania sama sekali belum membuka ponsel, bukan tidak mau tetapi ia belum sempat.Kontrakan ini terlalu banyak debu karena jarang ditempati, maka dari itu ia akan membersihkan dulu sebelum ia mengistirahatkan tubuh.Setelah ini ia berniat menghubungi temannya yang berjanji akan mencarikannya pekerjaan.Selepas ia berpisah dengan Hanif tidak ada lagi yang memberinya nafkah, ia harus bekerja untuk bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.***Rentetan panggilan tak terjawab memenuhi layar ponsel Tania saat ia berniat menghubungi temannya, siapa lagi kalau bukan Hanif yang menelponnya sampai beberapa kali.Ia hanya bisa menghela nafas panjang, bingung dengan suaminya itu. Bukankah ini yang dia harapkan tetapi kenapa malah bersikap seperti ini.Tak lama kemudian ponselnya bergetar."Hallo," ucap Tania."Kamu dimana? Kenapa seharian ini tidak memberi kabar?" jawab suara di seberang telepon."Aku sibuk," jawab Tania. Sebenarnya ia sedikit malas meladeni Hanif, kalau terus-terusan seperti ini, kapan ia bisa melupakan Hanif."Sudah dapat kontrakan?""Sudah.""Dimana?""Tak perlu kamu mengetahui," jawab Tania. Bukan maksud apa, ia tidak mau diganggu siapapun, ia ingin memulai hidup yang baru dengan bahagianya sendiri."Tania," panggil Hanif"Ya...""Maafin aku, ya?""Sudah lama aku maafin.""Kamu jaga kesehatan, jangan telat makan. Kalau butuh bantuan, kamu bisa minta tolong sama aku," ucap Hanif."Terimakasih atas perhatian kamu.""Ya...dan aku menyesal atas semuanya.""Semua sudah takdir, tidak perlu lagi ada penyesalan," jawab Tania.Hening beberapa saat sampai akhirnya Tania pamit karena masih ada kesibukan. Panggilan pun ia matikan.Tidak boleh ada kesedihan lagi, ia harus kuat.[Bagaimana? Sudah dapat kerjaan yang ku tanyakan kemarin]Tania mengirim pesan pada temannya yang tadi malam ia hubungi untuk meminta dicarikan pekerjaan.[Sudah, besok kamu bisa mulai bekerja. Kirim alamat rumah mu, besok aku jemput]Sebuah balasan dari temannya mampu membuat bibir Tania menyunggingkan senyum.***"Bagaimana kerja di sini? Kamu betah?" tanya Arnold, teman satu profesinya."Alhamdulillah betah," jawab Tania dengan tersenyum."Gitu dong senyum, bukan murung melulu," ucap Arnold.Semenjak ia mengenal Tania, tak sekalipun wanita itu nampak ceria, walaupun bersikap biasa tetapi Tania jarang mengumbar senyum."Eh, kamu layani orang itu ya. Aku mau ke toilet sebentar," ucap Arnold dan dianggukkan oleh Tania.Setelah kepergian Arnold, Tania pun menghampiri lelaki yang tengah duduk sendiri di pojok restoran."Permisi, Pak," ucap Tania lembut.Lelaki itu menoleh, betapa kagetnya saat mengetahui pelayan yang tengah menghampiri itu adalah istrinya yang beberapa hari ini selalu ia rindukan.Keterkejutan itu bukan hanya pada Hanif, tetapi juga Tania."M-Mas Hanif," ucap Tania terbata. Degub jantungnya berdetak keras.Beberapa waktu ini ia memang mencoba menata hatinya dan melupakan Hanif, bahkan pesan Hanif sengaja ia skip dan tidak ia balas, telepon pun juga tak diangkat karena ia ingin secepatnya move on dari lelaki di hadapannya."Kamu kerja di sini?" tanya Hanif. Ia mencoba mengurangi rasa canggungnya.Jujur saja, beberapa hari ini ia tidak baik-baik saja, ada separuh hidupnya yang hilang setelah ditinggal Tania."I-iya," jawab Tania."Kamu baik-baik saja, Tania?" tanya Hanif sambil menatap lekat ke arah wanita itu.Tania mengangguk lalu setelah itu ia menanyakan mau pesan apa pada Hanif."Baiklah, kamu tunggu sebentar. Pesananmu akan segara datang," ucap Tania sambil melangkah pergi.Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin Hanif lontarkan pada wanita itu, juga ada rindu yang bergemuruh di dadanya. Ingin menahannya tetapi ia tidak bisa lakukan itu.Ia sadar, saat ini Tania sedang bekerja, ia tidak mau membuat wanita itu kehilangan pekerjaan karenanya.Di tempat lain..."Kamu yang antar makanan ini, ya?" pinta Tania pada salah satu temannya. Jujur saja, pertemuan tadi mampu membuat luka yang awalnya terkikis kembali menganga, maka dari itu untuk menjaga hatinya, ia tidak mau bertemu dengan Hanif untuk waktu dekat ini."Baiklah.""Kamu kenapa, Tania? Kenapa wajah kamu pucat. Kamu sakit?" tanya Arnold yang melihat Tania sepucat mayat.Tania menggeleng lemah, bukan karena ia sakit tetapi karena bertemu dengan lelaki yang coba ia lupakan.Hati yang awalnya mulai tertata kini porak poranda karena pertemuan yang tidak sengaja tadi."Kamu bisa izin pulang kalau sakit," ucap Arnold memberi perhatian sedikit."Tidak. Aku karyawan baru di sini, takutnya malah kehilangan pekerjaan," jawab Tania."Ya sudah, tapi kerjain yang ringannya saja," ucap Arnold.Tania pun mengangguk. Selama bekerja di sini, Arnold selalu bersikap baik padanya, padahal ia mengenal juga belum lama.***[Ibuku mau ke sini. Dia mencarimu]Pesan dari Hanif. Tania menghela nafas panjang, ia tidak habis pikir, kenapa sulit sekali lepas dari bayang-bayang Hanif.Pengajuan gugatan perceraian sudah ia ajukan dan tinggal menunggu panggilan, tetapi selama menunggu kenapa banyak sekali rintangan untuk ia terlepas dari lelaki itu.Ingin sekali memblokir nomor Hanif, tetapi ia tidak lakukan. Seperti perjanjian awal, mereka akan tetap menjalin komunikasi sebagai teman.[Maaf, aku tidak bisa][Datanglah demi ibuku, bukan aku][Jangan memaksa][Demi ibuku, aku akan memaksa][Aku lagi kerja][Sepulang kerja. Aku jemput kamu][Apa ibumu tidak tahu kalau kita telah berpisah]Tidak ada balasan dari Hanif tetapi tak lama kemudian sebuah panggilan masuk."Aku mohon datanglah," ucap Hanif si seberang telepon."Aku tidak bisa, Mas. Kita itu tidak ada hubungan apapun sekarang ini," jawab Tania."Bukan kita, tetapi kamu sama ibuku.""Ibu belum tahu kalau kita udah berpisah?" tanya Tania."Belum.""Kenapa?""Karena aku belum yakin kalau kita benar-benar berpisah. Aku masih berharap keajaiban itu datang dan kita masih bisa bersama-sama lagi seperti dulu," jawab Hanif.Tania terdiam dan tidak tahu harus menjawab apa.Telepon Tania matikan begitu saja dan tanpa mengucapkan salam seperti biasanya. Ia tidak mau terbuai oleh bujuk rayu Hanif yang nantinya akan membuat hatinya goyah.Ia tidak akan menemui Ibu mertuanya tersebut, walau bagaimanapun, ia sudah berpisah dengan Hanif. Biarlah Hanif sendiri yang akan menjelaskan pada ibunya perihal perpisahan ini. Dia anaknya dan sudah menjadi tugasnya untuk memberi tahu ibunya, bukan dirinya yang notabennya adalah seorang menantu.Tak mau pikirannya terganggu, lalu ia melanjutkan bekerja. Ia harus menyibukkan diri untuk bisa melupakan semuanya.***"Murni, sulit sekali menghapus namamu dari hati ini. Sekuat apapun aku mencoba, nyatanya semakin kuat saja rasa cintaku padamu.""Murni, raga ini memang sudah ada yang memiliki tetapi percayalah, hatiku masih terus bersamamu, tak akan terganti walaupun oleh seorang Tania. Kamu tahu, dia istri yang baik buatku tetapi aku sama sekali tak mencintainya. Hatiku masih tertawan olehmu. Kamu tenang di sana ya? Tunggu ak
"Mbah meminta saya datang ke sini ada keperluan apa, ya?" tanya Hanif pada inti maksud kedatangannya kemari. Bukan maksud ia mengalihkan pembicaraan tetapi kedatangannya ke sini bukan untuk membahas rumah tangganya tetapi karena mendapat telepon dari Mbak Nanik, tetangga Mbah War."Mbah pengen menemui anak Mbah. Bisa kamu antar Mbah ke sana?" Hanif nampak berpikir, bukan maksudnya menolak tetapi ia tidak mau Mbah War merasakan kecewa seperti yang sudah-sudah. Anak Mbah War yang bernama Anton itu tidak pernah menganggap Mbah War sebagai ibunya.Ia merasa cuma menjadi angkat maka dari itu setelah ia tahu, ia sama sekali tidak pernah peduli lagi terhadap kehidupan Mbah War.Masa lalu yang kelam, membuat Mbah War tidak ingin menikah dan hanya mengangkat anak yang terbuang. Selama ini ia hanya mempunyai dua anak angkat, yang satu Hanif dan yang satu Anton.Anton sendiri ditemukan saat masih bayi dan kemungkinan besar memang sengaja dibuang oleh orangtua kandungnya, berbeda dengan Hanif.H
Awalnya ia ingin marah-marah terhadap Tania, tetapi ketika melihat wajah teduh dari wanita yang menghampirinya tersebut, mendadak amarah itu sirna seketika.Apalagi ketika melihat wajah pucat Tania, ia semakin merasa iba. "Ada apa?" tanya Tania dingin. Ia terpaksa menemui Hanif, ia takut Hanif akan nekat menemui atasannya dan ia akan dipecat dari pekerjaan ini. Ia membutuhkan uang untuk menyambung hidupnya."Duduklah." Hanif memerintah sambil tatapannya tak lepas dari istrinya."Aku masih sibuk. Kamu tahu restoran ini sangat ramai.""Aku akan meminta izin pada atasanmu," jawab Hanif."Tidak perlu. Kamu hanya akan membuat masalah buatku dikemudian hari."Hanif menatap tak percaya pada wanita dihadapannya. Kemana Tania yang selama ini ia kenal, Tania yang lembut, Tania yang peduli, Tania yang selalu nurut apa kata suami."Tak usah menatapku seperti itu. Cepat katakan apa mau mu. Aku tidak bisa berlama-lama di sini," ketus Tania."Kamu kenapa?" tanya Hanif dengan tatapan masih tak perca
"Maaf," ucap Hanif sambil melepas pelukan itu. Jujur saja, saat memeluk Tania tadi, ada perasaan yang sulit diungkapkan.Perasaan yang sebelumnya belum pernah ia rasakan selama ia bersama Tania selama ini. Entah itu cinta atau rindu yang terlalu dalam, Hanif mencoba mencerna, mencoba memahami apa yang kini ia rasa tetapi sangat sulit. Ia tak menemukan jawaban itu dalam dirinya."Tidak apa-apa," jawab Tania sambil berlalu. Jujur saja, ia juga gugup. Dulu sebelum semuanya terkuak, berlama-lama dalam dekapan suaminya adalah sesuatu yang sangat ia sukai. Dalam dekapan suaminya, ia merasa terlindungi, merasa dicintai dan tempat paling nyaman ketika ia merasakan lelah seharian.Tetapi semua itu hanyalah semu, kenyamanan yang ia dapatkan pada lelaki itu hanya ia saja yang merasa, tidak dengan Hanif.Setelah itu ia kembali ke belakang dan ternyata terdapat Bu Rina di sana. Tania takut, tidak biasanya Bu Rina mendatangi karyawan saat mereka tengah bekerja. Apa ada sesuatu? Atau kedatangan Bu
"Kamu terlihat cantik malam ini," bisik Hanif."Kamu jangan macam-macam," jawab Tania. Tubuhnya kini bergetar hebat, tampak sekali wajahnya pucat pasi.Walaupun hal yang lebih dari ini pernah ia rasakan tetapi kini rasanya berbeda dan dalam situasi yang tidak sama.Hanif tersenyum. Ntah kenapa ia tidak bisa menahan diri, lalu membawa tubuhnya semakin dekat dan tanpa sekat.Tanpa menunggu apapun, Hanif langsung memeluk tubuh istrinya dengan sangat erat. Tak bisa dipungkiri, ia begitu sangat merindukan Tania.Hari-harinya terasa kosong tanpa ada wanita itu di hidupnya. Sedangkan Tania mencoba melepaskan pelukan itu."Biarkan sejenak aku di sini. Aku benar-benar rindu," ucap Hanif pelan."Tetapi kita tidak ada hubungan apapun lagi, Mas.""Kata siapa? Kamu masih istriku, dan selama ini aku belum menjatuhkan talak untukmu. Kita masih muhrim."Tania diam, tak lama kemudian, pelukan itu Hanif lepaskan. Ia tatap lekat wajah cantik wanitanya itu, terlihat pucat pasi.Tania benar-benar ketakuta
Semenjak kejadian beberapa waktu lalu yang melihat kebersamaan Tania dengan pria lain, Hanif sama sekali tidak mencoba menghubungi dan menemui Tania.Malam itu ia langsung pulang dan membuang bunga itu ke tong sampah. Ia sama sekali tak menegur Tania dan berlalu begitu saja. Bahkan untuk sekedar menemui saja ia sudah tidak mau.Malam itu hatinya benar-benar hancur. Untuk kali kedua ia merasakan rasa sakit yang mendalam. Ingin kembali membina rumahtangga tapi sepertinya mustahil.Ia sadar, sudah seharusnya dirinya membiarkan Tania bahagia dengan hidupnya yang baru bukan malah egois seperti itu.Walau rasa cinta itu sudah ia sadari, tetapi ia belum yakin kalau Tania akan mempercayai ucapannya.Selain itu, sampai saat ini ia sendiri belum tahu, darimana Tania tahu perihal perasaannya selama ini. Apa ada orang dibalik semua ini?"Hanif menyerah, Bu," ucap Hanif saat ia tengah menceritakan isi hatinya pada sang Ibu, juga menceritakan peristiwa beberapa hari yang lalu.Sedangkan ibunya hany
"Bagaimana, Mas?" tanya Linda pada suaminya."Tania besok akan ke sini. Nanti aku yang akan bicara kepadanya," jawab Zaki dengan lesu.Jujur saja, saat ini ia bingung, biaya operasi anaknya harus segera dilunasi sedangkan uang yang dipegang tidak lah cukup. Mana beberapa akhir ini jualannya sepi dan tak jarang hanya balik modal saja."Kalau Tania tidak bisa minjami bagaimana, Mas? Lalu anak kita bagaimana, aku tidak mau kehilangan Tristan secepat itu," jawab Linda sambil sesenggukan.Ya, Linda dan Zaki adalah kakak dari Tania yang anaknya korban tabrak lari. Bahkan kondisi anaknya sampai saat ini belum sadar, Tristan harus dioperasi karena ada darah yang membeku di kepalanya."Terpaksa kita gadaikan rumah peninggalan Abah dan Umi," jawab Zaki."Apa Tania akan setuju?""Tania tidak akan tega melihat keponakannya sekarat. Aku tahu dia itu bagaimana," jawab Zaki.Tania adalah adik satu-satunya Zaki. Mereka hanya dua bersaudara. Sejak kecil Tania adalah adik kesayangannya, kemanapun ia p
Tania pun juga tak kalah kaget, ia juga mengira kalau wanita itu adalah Murni. "Kamu Murni, kan?" tanya Hanif. Kini tatapannya sedang menelisik ke arah wanita di depannya.Sedangkan wanita itu nampak kebingungan dengan respon keduanya. Ia menggeleng lemah sambil menahan sakit atas luka nya yang dirasa karena terjatuh dari montor."Murni siapa? Kalian salah orang. Saya Mitha," jawab wanita itu."Tidak. Kamu jangan berbohong, kamu pasti Murni," ucap Hanif.Sedangkan Tania menatap keduanya dengan bingung. Dalam benaknya bertanya, apa benar wanita ini adalah Murni, lalu yang dikubur itu siapa?"Maaf, saya Mitha. Saya bukan Murni," ucap wanita itu sambil berlalu lalu naik ke montornya.Sial, montornya tidak mau menyala, sudah beberapa kali distarter tetapi tidak mau menyala juga.Hanif mendekat." Biar saya cek dulu.""Saya harus segera pulang. Kasihan Ibu saya apalagi ini sudah malam," ucap wanita yang mengaku bernama Mitha."Kalau begitu montornya biar diambil orang bengkel, kamu saya an