Share

bab 3

Setelah pencarian dibeberapa tempat, akhirnya Tania mendapatkan kontrakan yang cocok untuknya dan sesuai kemampuannya, walaupun bisa dikatakan kontrakan kecil dan tidak sebesar rumah yang ia tempati selama ini tetapi ia bersyukur bisa mempunyai tempat tinggal.

Setelah itu ia membereskan rumah itu dan memasukkan bajunya ke dalam almari. Tania sama sekali belum membuka ponsel, bukan tidak mau tetapi ia belum sempat.

Kontrakan ini terlalu banyak debu karena jarang ditempati, maka dari itu ia akan membersihkan dulu sebelum ia mengistirahatkan tubuh.

Setelah ini ia berniat menghubungi temannya yang berjanji akan mencarikannya pekerjaan.

Selepas ia berpisah dengan Hanif tidak ada lagi yang memberinya nafkah, ia harus bekerja untuk bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.

***

Rentetan panggilan tak terjawab memenuhi layar ponsel Tania saat ia berniat menghubungi temannya, siapa lagi kalau bukan Hanif yang menelponnya sampai beberapa kali.

Ia hanya bisa menghela nafas panjang, bingung dengan suaminya itu. Bukankah ini yang dia harapkan tetapi kenapa malah bersikap seperti ini.

Tak lama kemudian ponselnya bergetar.

"Hallo," ucap Tania.

"Kamu dimana? Kenapa seharian ini tidak memberi kabar?" jawab suara di seberang telepon.

"Aku sibuk," jawab Tania. Sebenarnya ia sedikit malas meladeni Hanif, kalau terus-terusan seperti ini, kapan ia bisa melupakan Hanif.

"Sudah dapat kontrakan?"

"Sudah."

"Dimana?"

"Tak perlu kamu mengetahui," jawab Tania. Bukan maksud apa, ia tidak mau diganggu siapapun, ia ingin memulai hidup yang baru dengan bahagianya sendiri.

"Tania," panggil Hanif

"Ya..."

"Maafin aku, ya?"

"Sudah lama aku maafin."

"Kamu jaga kesehatan, jangan telat makan. Kalau butuh bantuan, kamu bisa minta tolong sama aku," ucap Hanif.

"Terimakasih atas perhatian kamu."

"Ya...dan aku menyesal atas semuanya."

"Semua sudah takdir, tidak perlu lagi ada penyesalan," jawab Tania.

Hening beberapa saat sampai akhirnya Tania pamit karena masih ada kesibukan. Panggilan pun ia matikan.

Tidak boleh ada kesedihan lagi, ia harus kuat.

[Bagaimana? Sudah dapat kerjaan yang ku tanyakan kemarin]

Tania mengirim pesan pada temannya yang tadi malam ia hubungi untuk meminta dicarikan pekerjaan.

[Sudah, besok kamu bisa mulai bekerja. Kirim alamat rumah mu, besok aku jemput]

Sebuah balasan dari temannya mampu membuat bibir Tania menyunggingkan senyum.

***

"Bagaimana kerja di sini? Kamu betah?" tanya Arnold, teman satu profesinya.

"Alhamdulillah betah," jawab Tania dengan tersenyum.

"Gitu dong senyum, bukan murung melulu," ucap Arnold.

Semenjak ia mengenal Tania, tak sekalipun wanita itu nampak ceria, walaupun bersikap biasa tetapi Tania jarang mengumbar senyum.

"Eh, kamu layani orang itu ya. Aku mau ke toilet sebentar," ucap Arnold dan dianggukkan oleh Tania.

Setelah kepergian Arnold, Tania pun menghampiri lelaki yang tengah duduk sendiri di pojok restoran.

"Permisi, Pak," ucap Tania lembut.

Lelaki itu menoleh, betapa kagetnya saat mengetahui pelayan yang tengah menghampiri itu adalah istrinya yang beberapa hari ini selalu ia rindukan.

Keterkejutan itu bukan hanya pada Hanif, tetapi juga Tania.

"M-Mas Hanif," ucap Tania terbata. Degub jantungnya berdetak keras.

Beberapa waktu ini ia memang mencoba menata hatinya dan melupakan Hanif, bahkan pesan Hanif sengaja ia skip dan tidak ia balas, telepon pun juga tak diangkat karena ia ingin secepatnya move on dari lelaki di hadapannya.

"Kamu kerja di sini?" tanya Hanif. Ia mencoba mengurangi rasa canggungnya.

Jujur saja, beberapa hari ini ia tidak baik-baik saja, ada separuh hidupnya yang hilang setelah ditinggal Tania.

"I-iya," jawab Tania.

"Kamu baik-baik saja, Tania?" tanya Hanif sambil menatap lekat ke arah wanita itu.

Tania mengangguk lalu setelah itu ia menanyakan mau pesan apa pada Hanif.

"Baiklah, kamu tunggu sebentar. Pesananmu akan segara datang," ucap Tania sambil melangkah pergi.

Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin Hanif lontarkan pada wanita itu, juga ada rindu yang bergemuruh di dadanya. Ingin menahannya tetapi ia tidak bisa lakukan itu.

Ia sadar, saat ini Tania sedang bekerja, ia tidak mau membuat wanita itu kehilangan pekerjaan karenanya.

Di tempat lain...

"Kamu yang antar makanan ini, ya?" pinta Tania pada salah satu temannya. Jujur saja, pertemuan tadi mampu membuat luka yang awalnya terkikis kembali menganga, maka dari itu untuk menjaga hatinya, ia tidak mau bertemu dengan Hanif untuk waktu dekat ini.

"Baiklah."

"Kamu kenapa, Tania? Kenapa wajah kamu pucat. Kamu sakit?" tanya Arnold yang melihat Tania sepucat mayat.

Tania menggeleng lemah, bukan karena ia sakit tetapi karena bertemu dengan lelaki yang coba ia lupakan.

Hati yang awalnya mulai tertata kini porak poranda karena pertemuan yang tidak sengaja tadi.

"Kamu bisa izin pulang kalau sakit," ucap Arnold memberi perhatian sedikit.

"Tidak. Aku karyawan baru di sini, takutnya malah kehilangan pekerjaan," jawab Tania.

"Ya sudah, tapi kerjain yang ringannya saja," ucap Arnold.

Tania pun mengangguk. Selama bekerja di sini, Arnold selalu bersikap baik padanya, padahal ia mengenal juga belum lama.

***

[Ibuku mau ke sini. Dia mencarimu]

Pesan dari Hanif. Tania menghela nafas panjang, ia tidak habis pikir, kenapa sulit sekali lepas dari bayang-bayang Hanif.

Pengajuan gugatan perceraian sudah ia ajukan dan tinggal menunggu panggilan, tetapi selama menunggu kenapa banyak sekali rintangan untuk ia terlepas dari lelaki itu.

Ingin sekali memblokir nomor Hanif, tetapi ia tidak lakukan. Seperti perjanjian awal, mereka akan tetap menjalin komunikasi sebagai teman.

[Maaf, aku tidak bisa]

[Datanglah demi ibuku, bukan aku]

[Jangan memaksa]

[Demi ibuku, aku akan memaksa]

[Aku lagi kerja]

[Sepulang kerja. Aku jemput kamu]

[Apa ibumu tidak tahu kalau kita telah berpisah]

Tidak ada balasan dari Hanif tetapi tak lama kemudian sebuah panggilan masuk.

"Aku mohon datanglah," ucap Hanif si seberang telepon.

"Aku tidak bisa, Mas. Kita itu tidak ada hubungan apapun sekarang ini," jawab Tania.

"Bukan kita, tetapi kamu sama ibuku."

"Ibu belum tahu kalau kita udah berpisah?" tanya Tania.

"Belum."

"Kenapa?"

"Karena aku belum yakin kalau kita benar-benar berpisah. Aku masih berharap keajaiban itu datang dan kita masih bisa bersama-sama lagi seperti dulu," jawab Hanif.

Tania terdiam dan tidak tahu harus menjawab apa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status