"Aku tidak bisa," jawab Tania.
"Kenapa?""Akan jauh lebih sakit ketika aku mencoba bertahan. Tolong kamu mengerti aku.""Kalau kamu pergi, lalu aku bagaimana? Tidak ada yang menyiapkan sarapanku, tidak ada yang menyiapkan baju kerjaku, tidak ada yang menemaniku, intinya tidak akan ada yang mengurusku lagi," jawab Hanif, tetapi bukan itu maksudnya, ada sesuatu yang sulit ia ungkapkan. Semua yang ia ucapkan hanya alasan semata."Kamu bisa cari asisten, gaji mu cukup kok untuk bayar asisten," jawab Tania."Tapi rasanya beda.""Sama saja, kamu harus terbiasa hidup tanpaku," jawab Tania sambil melihat jam. Sudah siang, ia belum menemukan tempat tinggal yang pas setelah keluar dari rumah ini, sedangkan rumah peninggalan orangtuanya sudah ditempati oleh kakak kandungnya yang ekonominya bisa dikatakan cukup untuk sekedar mengisi perut.Ia tidak mungkin pulang ke sana, ia tidak mau membebani hidup kakaknya."Aku yang akan urus surat perpisahan kita, Mas. Jangan khawatir, aku masih punya tabungan kok untuk mengurus semuanya, kamu tinggal terima suratnya saja," ucap Tania lagi.Hanif menggelengkan kepala." Jangan seperti ini.""Ku harap, hubungan kita sebagai teman tetap terjalin walau kita sudah berpisah, jangan ada dendam ataupun benci. Semoga kamu menemukan kebahagiaan kamu, Mas, walaupun tanpa aku," ucap Tania dengan suara parau.Sekuat tenaga ia menahan air mata agar jangan sampai jatuh, tidak mungkin ia menangis di hadapan suami yang sebentar lagi menjadi mantan suami."Aku bukan tidak mencintaimu, aku hanya belum mencintaimu. Tolong beri kesempatan sekali lagi buat aku. Aku janji akan membuka hatiku padamu," ucap Hanif."Maaf, Mas. Waktu dua tahun itu bukanlah waktu yang singkat untuk kamu membuka hati, kalaupun kamu mau, sekarang ini kamu sudah mencintaiku, tetapi nyatanya tidak. Almarhum Mbak Murni masih saja bertahta di hatimu. Aku tidak mau jadi selir." Setelah mengatakan itu, Tania pun melangkah pergi. Ia tidak mau berlama-lama yang akhirnya ia tidak bisa menahan air matanya."Tunggu Tania," cegah Hanif sambil memegang lengan istrinya.Tania menoleh."Ada sesuatu?""Apa tanggungjawab ku sebagai kepala rumah tangga kurang selama ini?"Tania menggeleng lemah." Kamu suami yang baik, hanya saja aku tidak cuma butuh itu saja, aku wanita, aku juga butuh dicintai, bukan hanya mencintai. Kamu tahu rasanya cinta bertepuk sebelah tangan? Rasanya sakit, teramat sakit."Tak terasa, bulir air mata yang coba ia tahan turun begitu saja. Sedangkan Hanif yang melihat istrinya menangis tidak bisa berbuat apapun.Tania menghapus air matanya, lalu menarik pergelangan tangan yang sempat suaminya pegang. Setelah itu ia melangkah pergi."Maafin aku," ucap Hanif sambil memeluk tubuh istrinya dari belakang sebelum istrinya hilang dari pandangan."Tolong jangan seperti ini," ucap Tania. Ia mencoba melepaskan pelukan suaminya, tetapi pelukan itu teramat kuat.Hanif membenamkan wajahnya di pundak Tania, ia menangis sesenggukan di sana.Kejadian itu terjadi beberapa menit sampai Hanif bisa menguasai dirinya. Tetapi ia tidak melepaskan pelukannya.Jujur, melihat kepergian Tania membuat hatinya juga merasakan sakit."Tania," panggil Hanif, karena istrinya hanya diam sambil mencoba melepaskan pelukannya."Aku tidak akan melepaskan pelukan ini, aku tidak mau kamu pergi," ucap Hanif lagi."Tidak bisa. Kamu jangan egois, Mas.""Tinggallah di sini sebentar saja, sampai aku bisa membuktikan semua ucapanku.""Terlalu lama," jawab Tania"Tiga bulan.""No.""Dua bulan.""Aku tidak bisa, Mas.""Satu bulan."Tania menggelengkan kepala. "Kamu akan membuatku semakin sakit."Hanif memaksa tubuh istrinya untuk menghadap ke arahnya, lalu ia pegang kedua pipi Tania dengan telapak tangannya."Aku bersyukur punya istri seperti kamu, ibuku tidak pernah salah memilih, tetapi izinkan aku untuk mencoba membuka hatiku padamu. Tolong beri kesempatan itu padaku, sekali saja," ucap Hanif tulus. Ada air mata di sana yang mencoba untuk menerobos kembali, tetapi masih ia tahan. Ia ingin mendengar jawaban istrinya. Jawaban yang membuatnya merasa lega."Mas, bukan aku tidak mau. Kalaupun kamu mau mencoba mencintaiku, sudah dari dulu. Tidak sekarang yang posisinya aku sudah menyerah," jawab Tania. Kini ia lepaskan pelukan suaminya dengan mudah.Tak ada perlawanan dari Hanif, sepertinya lelaki itu sudah pasrah. Hidupnya hancur dua kali, pertama setelah ditinggal Murni untuk selamanya dan yang kedua, ia ditinggal wanita yang sangat berarti dihidupnya, walaupun ia terlambat menyadari."Jaga kesehatan. Aku pamit," ucap Tania."Kita masih bisa berhubungan kan?" tanya Hanif."Ya... Nomorku tidak akan pernah ku ganti. Kapan pun kamu menghubungi, selagi aku tidak repot, pasti akan aku balas," ucap Tania sambil tersenyum mencoba menutupi luka di hatinya."Kami hati-hati," ucap Hanif. Tania pun mengangguk."Akan pergi kemana?""Tidak tahu. Belum cari tempat tinggal, setelah ini masih mau mencari kontrakan sambil mencari kerja," jawab Tania."Tinggallah di sini dulu, nanti ku antar kamu cari kontrakan," ucap Hanif."Tak perlu repot-repot, aku bisa sendiri. Assalamualaikum," ucap Tania. Kini ia benar-benar pergi dari rumah itu.Sejenak saat di luar, ia pandangi rumah yang sudah menampungnya selama dua tahun itu, banyak sekali kenangan di sini tetapi ia tidak bisa bertahan. Ada luka yang sulit sembuh, apalagi perkataan seseorang kemarin siang saat suaminya telah pergi.Sedangkan Hanif terpaku melihat kepergian istrinya, air matanya turun begitu saja. Siapa sebenarnya biang kerok dari semua ini.Tahu darimana Tania tentang isi hatinya?Setelah pencarian dibeberapa tempat, akhirnya Tania mendapatkan kontrakan yang cocok untuknya dan sesuai kemampuannya, walaupun bisa dikatakan kontrakan kecil dan tidak sebesar rumah yang ia tempati selama ini tetapi ia bersyukur bisa mempunyai tempat tinggal.Setelah itu ia membereskan rumah itu dan memasukkan bajunya ke dalam almari. Tania sama sekali belum membuka ponsel, bukan tidak mau tetapi ia belum sempat.Kontrakan ini terlalu banyak debu karena jarang ditempati, maka dari itu ia akan membersihkan dulu sebelum ia mengistirahatkan tubuh.Setelah ini ia berniat menghubungi temannya yang berjanji akan mencarikannya pekerjaan. Selepas ia berpisah dengan Hanif tidak ada lagi yang memberinya nafkah, ia harus bekerja untuk bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.***Rentetan panggilan tak terjawab memenuhi layar ponsel Tania saat ia berniat menghubungi temannya, siapa lagi kalau bukan Hanif yang menelponnya sampai beberapa kali.Ia hanya bisa menghela nafas panjang, bingung dengan suam
Telepon Tania matikan begitu saja dan tanpa mengucapkan salam seperti biasanya. Ia tidak mau terbuai oleh bujuk rayu Hanif yang nantinya akan membuat hatinya goyah.Ia tidak akan menemui Ibu mertuanya tersebut, walau bagaimanapun, ia sudah berpisah dengan Hanif. Biarlah Hanif sendiri yang akan menjelaskan pada ibunya perihal perpisahan ini. Dia anaknya dan sudah menjadi tugasnya untuk memberi tahu ibunya, bukan dirinya yang notabennya adalah seorang menantu.Tak mau pikirannya terganggu, lalu ia melanjutkan bekerja. Ia harus menyibukkan diri untuk bisa melupakan semuanya.***"Murni, sulit sekali menghapus namamu dari hati ini. Sekuat apapun aku mencoba, nyatanya semakin kuat saja rasa cintaku padamu.""Murni, raga ini memang sudah ada yang memiliki tetapi percayalah, hatiku masih terus bersamamu, tak akan terganti walaupun oleh seorang Tania. Kamu tahu, dia istri yang baik buatku tetapi aku sama sekali tak mencintainya. Hatiku masih tertawan olehmu. Kamu tenang di sana ya? Tunggu ak
"Mbah meminta saya datang ke sini ada keperluan apa, ya?" tanya Hanif pada inti maksud kedatangannya kemari. Bukan maksud ia mengalihkan pembicaraan tetapi kedatangannya ke sini bukan untuk membahas rumah tangganya tetapi karena mendapat telepon dari Mbak Nanik, tetangga Mbah War."Mbah pengen menemui anak Mbah. Bisa kamu antar Mbah ke sana?" Hanif nampak berpikir, bukan maksudnya menolak tetapi ia tidak mau Mbah War merasakan kecewa seperti yang sudah-sudah. Anak Mbah War yang bernama Anton itu tidak pernah menganggap Mbah War sebagai ibunya.Ia merasa cuma menjadi angkat maka dari itu setelah ia tahu, ia sama sekali tidak pernah peduli lagi terhadap kehidupan Mbah War.Masa lalu yang kelam, membuat Mbah War tidak ingin menikah dan hanya mengangkat anak yang terbuang. Selama ini ia hanya mempunyai dua anak angkat, yang satu Hanif dan yang satu Anton.Anton sendiri ditemukan saat masih bayi dan kemungkinan besar memang sengaja dibuang oleh orangtua kandungnya, berbeda dengan Hanif.H
Awalnya ia ingin marah-marah terhadap Tania, tetapi ketika melihat wajah teduh dari wanita yang menghampirinya tersebut, mendadak amarah itu sirna seketika.Apalagi ketika melihat wajah pucat Tania, ia semakin merasa iba. "Ada apa?" tanya Tania dingin. Ia terpaksa menemui Hanif, ia takut Hanif akan nekat menemui atasannya dan ia akan dipecat dari pekerjaan ini. Ia membutuhkan uang untuk menyambung hidupnya."Duduklah." Hanif memerintah sambil tatapannya tak lepas dari istrinya."Aku masih sibuk. Kamu tahu restoran ini sangat ramai.""Aku akan meminta izin pada atasanmu," jawab Hanif."Tidak perlu. Kamu hanya akan membuat masalah buatku dikemudian hari."Hanif menatap tak percaya pada wanita dihadapannya. Kemana Tania yang selama ini ia kenal, Tania yang lembut, Tania yang peduli, Tania yang selalu nurut apa kata suami."Tak usah menatapku seperti itu. Cepat katakan apa mau mu. Aku tidak bisa berlama-lama di sini," ketus Tania."Kamu kenapa?" tanya Hanif dengan tatapan masih tak perca
"Maaf," ucap Hanif sambil melepas pelukan itu. Jujur saja, saat memeluk Tania tadi, ada perasaan yang sulit diungkapkan.Perasaan yang sebelumnya belum pernah ia rasakan selama ia bersama Tania selama ini. Entah itu cinta atau rindu yang terlalu dalam, Hanif mencoba mencerna, mencoba memahami apa yang kini ia rasa tetapi sangat sulit. Ia tak menemukan jawaban itu dalam dirinya."Tidak apa-apa," jawab Tania sambil berlalu. Jujur saja, ia juga gugup. Dulu sebelum semuanya terkuak, berlama-lama dalam dekapan suaminya adalah sesuatu yang sangat ia sukai. Dalam dekapan suaminya, ia merasa terlindungi, merasa dicintai dan tempat paling nyaman ketika ia merasakan lelah seharian.Tetapi semua itu hanyalah semu, kenyamanan yang ia dapatkan pada lelaki itu hanya ia saja yang merasa, tidak dengan Hanif.Setelah itu ia kembali ke belakang dan ternyata terdapat Bu Rina di sana. Tania takut, tidak biasanya Bu Rina mendatangi karyawan saat mereka tengah bekerja. Apa ada sesuatu? Atau kedatangan Bu
"Kamu terlihat cantik malam ini," bisik Hanif."Kamu jangan macam-macam," jawab Tania. Tubuhnya kini bergetar hebat, tampak sekali wajahnya pucat pasi.Walaupun hal yang lebih dari ini pernah ia rasakan tetapi kini rasanya berbeda dan dalam situasi yang tidak sama.Hanif tersenyum. Ntah kenapa ia tidak bisa menahan diri, lalu membawa tubuhnya semakin dekat dan tanpa sekat.Tanpa menunggu apapun, Hanif langsung memeluk tubuh istrinya dengan sangat erat. Tak bisa dipungkiri, ia begitu sangat merindukan Tania.Hari-harinya terasa kosong tanpa ada wanita itu di hidupnya. Sedangkan Tania mencoba melepaskan pelukan itu."Biarkan sejenak aku di sini. Aku benar-benar rindu," ucap Hanif pelan."Tetapi kita tidak ada hubungan apapun lagi, Mas.""Kata siapa? Kamu masih istriku, dan selama ini aku belum menjatuhkan talak untukmu. Kita masih muhrim."Tania diam, tak lama kemudian, pelukan itu Hanif lepaskan. Ia tatap lekat wajah cantik wanitanya itu, terlihat pucat pasi.Tania benar-benar ketakuta
Semenjak kejadian beberapa waktu lalu yang melihat kebersamaan Tania dengan pria lain, Hanif sama sekali tidak mencoba menghubungi dan menemui Tania.Malam itu ia langsung pulang dan membuang bunga itu ke tong sampah. Ia sama sekali tak menegur Tania dan berlalu begitu saja. Bahkan untuk sekedar menemui saja ia sudah tidak mau.Malam itu hatinya benar-benar hancur. Untuk kali kedua ia merasakan rasa sakit yang mendalam. Ingin kembali membina rumahtangga tapi sepertinya mustahil.Ia sadar, sudah seharusnya dirinya membiarkan Tania bahagia dengan hidupnya yang baru bukan malah egois seperti itu.Walau rasa cinta itu sudah ia sadari, tetapi ia belum yakin kalau Tania akan mempercayai ucapannya.Selain itu, sampai saat ini ia sendiri belum tahu, darimana Tania tahu perihal perasaannya selama ini. Apa ada orang dibalik semua ini?"Hanif menyerah, Bu," ucap Hanif saat ia tengah menceritakan isi hatinya pada sang Ibu, juga menceritakan peristiwa beberapa hari yang lalu.Sedangkan ibunya hany
"Bagaimana, Mas?" tanya Linda pada suaminya."Tania besok akan ke sini. Nanti aku yang akan bicara kepadanya," jawab Zaki dengan lesu.Jujur saja, saat ini ia bingung, biaya operasi anaknya harus segera dilunasi sedangkan uang yang dipegang tidak lah cukup. Mana beberapa akhir ini jualannya sepi dan tak jarang hanya balik modal saja."Kalau Tania tidak bisa minjami bagaimana, Mas? Lalu anak kita bagaimana, aku tidak mau kehilangan Tristan secepat itu," jawab Linda sambil sesenggukan.Ya, Linda dan Zaki adalah kakak dari Tania yang anaknya korban tabrak lari. Bahkan kondisi anaknya sampai saat ini belum sadar, Tristan harus dioperasi karena ada darah yang membeku di kepalanya."Terpaksa kita gadaikan rumah peninggalan Abah dan Umi," jawab Zaki."Apa Tania akan setuju?""Tania tidak akan tega melihat keponakannya sekarat. Aku tahu dia itu bagaimana," jawab Zaki.Tania adalah adik satu-satunya Zaki. Mereka hanya dua bersaudara. Sejak kecil Tania adalah adik kesayangannya, kemanapun ia p