Share

bab 2

"Aku tidak bisa," jawab Tania.

"Kenapa?"

"Akan jauh lebih sakit ketika aku mencoba bertahan. Tolong kamu mengerti aku."

"Kalau kamu pergi, lalu aku bagaimana? Tidak ada yang menyiapkan sarapanku, tidak ada yang menyiapkan baju kerjaku, tidak ada yang menemaniku, intinya tidak akan ada yang mengurusku lagi," jawab Hanif, tetapi bukan itu maksudnya, ada sesuatu yang sulit ia ungkapkan. Semua yang ia ucapkan hanya alasan semata.

"Kamu bisa cari asisten, gaji mu cukup kok untuk bayar asisten," jawab Tania.

"Tapi rasanya beda."

"Sama saja, kamu harus terbiasa hidup tanpaku," jawab Tania sambil melihat jam. Sudah siang, ia belum menemukan tempat tinggal yang pas setelah keluar dari rumah ini, sedangkan rumah peninggalan orangtuanya sudah ditempati oleh kakak kandungnya yang ekonominya bisa dikatakan cukup untuk sekedar mengisi perut.

Ia tidak mungkin pulang ke sana, ia tidak mau membebani hidup kakaknya.

"Aku yang akan urus surat perpisahan kita, Mas. Jangan khawatir, aku masih punya tabungan kok untuk mengurus semuanya, kamu tinggal terima suratnya saja," ucap Tania lagi.

Hanif menggelengkan kepala." Jangan seperti ini."

"Ku harap, hubungan kita sebagai teman tetap terjalin walau kita sudah berpisah, jangan ada dendam ataupun benci. Semoga kamu menemukan kebahagiaan kamu, Mas, walaupun tanpa aku," ucap Tania dengan suara parau.

Sekuat tenaga ia menahan air mata agar jangan sampai jatuh, tidak mungkin ia menangis di hadapan suami yang sebentar lagi menjadi mantan suami.

"Aku bukan tidak mencintaimu, aku hanya belum mencintaimu. Tolong beri kesempatan sekali lagi buat aku. Aku janji akan membuka hatiku padamu," ucap Hanif.

"Maaf, Mas. Waktu dua tahun itu bukanlah waktu yang singkat untuk kamu membuka hati, kalaupun kamu mau, sekarang ini kamu sudah mencintaiku, tetapi nyatanya tidak. Almarhum Mbak Murni masih saja bertahta di hatimu. Aku tidak mau jadi selir." Setelah mengatakan itu, Tania pun melangkah pergi. Ia tidak mau berlama-lama yang akhirnya ia tidak bisa menahan air matanya.

"Tunggu Tania," cegah Hanif sambil memegang lengan istrinya.

Tania menoleh."Ada sesuatu?"

"Apa tanggungjawab ku sebagai kepala rumah tangga kurang selama ini?"

Tania menggeleng lemah." Kamu suami yang baik, hanya saja aku tidak cuma butuh itu saja, aku wanita, aku juga butuh dicintai, bukan hanya mencintai. Kamu tahu rasanya cinta bertepuk sebelah tangan? Rasanya sakit, teramat sakit."

Tak terasa, bulir air mata yang coba ia tahan turun begitu saja. Sedangkan Hanif yang melihat istrinya menangis tidak bisa berbuat apapun.

Tania menghapus air matanya, lalu menarik pergelangan tangan yang sempat suaminya pegang. Setelah itu ia melangkah pergi.

"Maafin aku," ucap Hanif sambil memeluk tubuh istrinya dari belakang sebelum istrinya hilang dari pandangan.

"Tolong jangan seperti ini," ucap Tania. Ia mencoba melepaskan pelukan suaminya, tetapi pelukan itu teramat kuat.

Hanif membenamkan wajahnya di pundak Tania, ia menangis sesenggukan di sana.

Kejadian itu terjadi beberapa menit sampai Hanif bisa menguasai dirinya. Tetapi ia tidak melepaskan pelukannya.

Jujur, melihat kepergian Tania membuat hatinya juga merasakan sakit.

"Tania," panggil Hanif, karena istrinya hanya diam sambil mencoba melepaskan pelukannya.

"Aku tidak akan melepaskan pelukan ini, aku tidak mau kamu pergi," ucap Hanif lagi.

"Tidak bisa. Kamu jangan egois, Mas."

"Tinggallah di sini sebentar saja, sampai aku bisa membuktikan semua ucapanku."

"Terlalu lama," jawab Tania

"Tiga bulan."

"No."

"Dua bulan."

"Aku tidak bisa, Mas."

"Satu bulan."

Tania menggelengkan kepala. "Kamu akan membuatku semakin sakit."

Hanif memaksa tubuh istrinya untuk menghadap ke arahnya, lalu ia pegang kedua pipi Tania dengan telapak tangannya.

"Aku bersyukur punya istri seperti kamu, ibuku tidak pernah salah memilih, tetapi izinkan aku untuk mencoba membuka hatiku padamu. Tolong beri kesempatan itu padaku, sekali saja," ucap Hanif tulus. Ada air mata di sana yang mencoba untuk menerobos kembali, tetapi masih ia tahan. Ia ingin mendengar jawaban istrinya. Jawaban yang membuatnya merasa lega.

"Mas, bukan aku tidak mau. Kalaupun kamu mau mencoba mencintaiku, sudah dari dulu. Tidak sekarang yang posisinya aku sudah menyerah," jawab Tania. Kini ia lepaskan pelukan suaminya dengan mudah.

Tak ada perlawanan dari Hanif, sepertinya lelaki itu sudah pasrah. Hidupnya hancur dua kali, pertama setelah ditinggal Murni untuk selamanya dan yang kedua, ia ditinggal wanita yang sangat berarti dihidupnya, walaupun ia terlambat menyadari.

"Jaga kesehatan. Aku pamit," ucap Tania.

"Kita masih bisa berhubungan kan?" tanya Hanif.

"Ya... Nomorku tidak akan pernah ku ganti. Kapan pun kamu menghubungi, selagi aku tidak repot, pasti akan aku balas," ucap Tania sambil tersenyum mencoba menutupi luka di hatinya.

"Kami hati-hati," ucap Hanif. Tania pun mengangguk.

"Akan pergi kemana?"

"Tidak tahu. Belum cari tempat tinggal, setelah ini masih mau mencari kontrakan sambil mencari kerja," jawab Tania.

"Tinggallah di sini dulu, nanti ku antar kamu cari kontrakan," ucap Hanif.

"Tak perlu repot-repot, aku bisa sendiri. Assalamualaikum," ucap Tania. Kini ia benar-benar pergi dari rumah itu.

Sejenak saat di luar, ia pandangi rumah yang sudah menampungnya selama dua tahun itu, banyak sekali kenangan di sini tetapi ia tidak bisa bertahan. Ada luka yang sulit sembuh, apalagi perkataan seseorang kemarin siang saat suaminya telah pergi.

Sedangkan Hanif terpaku melihat kepergian istrinya, air matanya turun begitu saja. Siapa sebenarnya biang kerok dari semua ini.

Tahu darimana Tania tentang isi hatinya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
ikhlaskan yg sudah meninggal cintai yg akan masa depan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status