“Jadi istri saya akan tidur cukup lama, ‘kan?” tanya Hail memastikan, kini dirinya sedang berbincang ringan dengan salah seorang dokter kepercayaan.
“Iya. Apa Anda ada keperluan lain yang sangat mendesak? Tidak apa-apa, saya dan para perawat bisa menjaga istri Anda, Pak,” tawar sang dokter dengan diakhiri senyuman bisnis.
Hail mengangguk setuju. “Tolong buat alasan apa saja yang sekiranya mustahil untuk dia menghubungi apalagi menyusul saya,” tukas pria tersebut. Ia paham betul isi kepala Meriel, jadi dirinya harus menyiapkan tameng untuk jaga-jaga saja, sebagai antisipasi belaka.
“Baik, akan saya lakukan.”
“Terima kasih, Dokter.”
“Terima kasih kembali, Pak Hail.”
“Kalau begitu saya pamit undur diri dulu.”
“Silakan. Semoga segala urusan Anda da
“Aku sudah memutuskan untuk memilihmu, Ran,” tegas Hail lagi ketika tidak mendapat respon apa-apa dari Ranesha. Dadanya terasa sesak karena pasokan okisgen di ruangan seolah masih kurang dan semakin menipis.Hail gugup. Hail takut. Hail sangat berharap ia tidak terlambat untuk menjelaskan. Pria ini sudah bulat dalam mengambil keputusan. Bahkan jika bayi di dalam janin Meriel sungguh anaknya … dia tidak yakin bisa hidup bahagia kalau tidak bersama Ranesha.Hail berniat untuk mengajak Ranesha tinggal bersama, membesarkan bayi itu kelak. Jika ia bisa memenangkan hak asuhnya. Jika tidak, Hail akan berkunjung secara ruitn dan mengadakan perjanjian dengan Meriel. Lagi pula, Hail yakin Ranesha tidak akan mempermasalahkan anaknya. Karena Hail tahu sendiri dan perempuan ini … sangatlah baik hati.“Katakan … ugh.” Ranesha menuduk dalam, kedua bahunya yang masih Hail pegang tampak gemeta
Hujan. Hari tidak hanya mendung lagi, akan tetapi sudah mulai menumpahkan segala isinya. Bahkan kali ini bersama dengan kilat dan petir yang disertai guntur juga. Seakan langit tengah bersaksi untuk mewakili hati salah seorang hamba Tuhan di dalam ruang VIP dari salah satu rumah sakit ini.“Jadi … begitu, ya,” respon Meriel sambil menggigit jari. Di sebelah sana ada seorang pengawal berbadan kurus tinggi dengan pakaian bebas rapi dan juga memakai masker serta topi. Ia diberikan tugas sedang menyamar kini.“Benar, Nyonya. Tuan Hail saat ini sedang bersama dengan Nona Ranesha Seibert dan … berdasarkan pengamatan saya. Tuan Hail akan memilih Nona Ranesha Seibert dari pada Anda, Nyonya. Mungkin Tuan Hail hanya pura-pura saat itu atau bisa jadi … beliau sangat kaget saat melihat Nyonya Meriel tiba-tiba kesakitan.” Pengawal tadi menjelaskan kembali. Iris mata yang tegas itu tidak menyiratkan barang seti
“Hail, kau datang,” sapa Meriel ketika melihat sosok suaminya itu akhirnya pulang setelah mengaku menyelesaikan berbagai pekerjaan di perusahaan.“Aku pulang,” balas Hail sambil tersenyum lembut. Ia tanpa basa-basi menghampiri Meriel, mencium kening sang istri lalu tak lupa mengelus dan mengecup singkat perut Meriel. “Selamat malam anak, Ayah. Apa kau menjaga ibumu dengan baik hari ini? Kenapa tidak memintanya untuk tidur, hm? Ibumu harus istirahat yang cukup demimu, apa kau tahu?”Meriel tersenyum hambar. Ia sangat benci ketika melihat Hail bahagia begini. Karena alasan sesungguhnya Meriel menerima lamaran dari Hail adalah demi balas dendam. Benar, Meriel sangat iri dengan kehidupan cemerlang yang Hail miliki. Bagaimana bisa seorang anak jalanan hidup di atas awan? Tidak. Meriel tidak bisa menerima hal tersebut. Terlebih lagi, malah Hail lah yang mendapat semua harta warisan dari mendiang ibunya.&
Pusing. Kepala Hail terasa berdenyut dan sangat pening. Segala macam masalah seakan datang tanpa ingin berantrian lagi, tidak sudi menemui Hail secara silih berganti, melainkan datang beramai-ramai. Ini namanya pembunuhan berencana oleh Tuhan.“Ugh ….” Hail memijat pelipis. Wajah tampannya tidaklah pucat, hanya jiwa Hail saja yang kelelahan. Seolah dibantai habis-habisan. Jadi, tidak ada yang sadar bahwa pria ini pikirannya sedang kusut bagai kaset yang rusak.“Pak, kenapa masih di sini? Apa Anda sakit?” tegur Ranesah cemas. Pasalnya dari sebelum berangkat sampai sekarang sudah tiba di Inggris, Ranesha lihat energi Hail seakan semakin menipis, lalu lambat laun terkuras habis.“Ah, aku tidak apa-apa.” Hail tersenyum hambar. Menepuk singkat pundak Ranesha lalu melanjutkan lagi langkah kakinya, masuk ke dalam taksi.Aneh. Ranesha terdiam. Hail kini mengambil ti
“Ahmph … ngghh … hmphhh ….” Desahan demi desahan serta lenguhan yang panas mulai keluar dari bibir manis Ranesha, meski acap kali tertahan karena lidah Hail yang masih gencar bermain di dalam rongga mulutnya.“Hail—hh … a—kku—ah! Ti—dak … bisa ber—hh nap—as … ahgg!” lirih Ranesha yang terbata-bata. Tubuhnya yang dihimpit Hail ke dinding bergerak gelisah. Ciuman yang Hail layangkan begitu penuh nafsu, penuh gairah, dan tentu saja sangat menuntut dengan terburu.Ranesha ingin melawan, Ranesha ingin menolak, dan Ranesha cukup ingin untuk berontak. Namun, desakan kenikmatan dan rasa panas di dalam tubuhnya berkata lain. Otak Ranesha tidak menerima, tapi tubuh perempuan ini berkata sebaliknya. Apalagi ketika tubuh Ranesha dan Hail bergesekkan, membuat sekretaris cantik ini semakin kehilangan akal sehat."Pak-hh ... kita masih-hh ... di luar ahggh!"
Ranesha tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan Hail. Bagaimana cara pikir pria tersebut dan apa yang sudah terjadi dengan kekasih beristrinya itu hanya dalam kurun waktu beberapa jam saja setelah Hail memutuskan untuk memilih Ranesha.Namun yang jelas sekarang adalah penampilan erotis Hail yang tidak bisa matanya abaikan begitu saja. Rambut yang biasanya ditata ke atas dan selalu rapi, kini turun dan terlihat acak-acakan, tapi … terkesan sangat seksi. Apalagi ditambah dengan keringat yang mengalir dari pelipis sampai dengan ke leher Hail membuat Ranesha meneguk ludahnya bulat-bulat.Gila. Dia sangat bernafsu melihat Hail lebih dari pada melihat makanan sekarang. Sinting. Ranesha pasti sudah meninggalkan otaknya di pesawat tadi. Hanya saja … bagaimana ini? Ranesha merasakan desakkan sensasi asing dari dalam tubuhnya yang sangat sulit dikendalikan. Padahal … Hail hanya mencium dan menggesekkan tubuh mereka. 
“Akhh … Hail—hh!” Lenguhan keluar dari bibir merah Ranesha ketika ia dibaringkan dengan cukup kasar, lalu kemudian ditindih oleh Hail. Mata mereka berdua kembali bertemu, kali ini saling memandang dengan sangat intens, dipenuhi oleh nafsu yang memburu.“Ran?” panggil Hail pelan sambil memepetkan badan, menghilangkan jarak antara tubuhnya dan Ranesha, kini wajah mereka hanya berjarak satu jari saja.“Hah … kenapa—hh?” Ranesha merasakan deru napas Hail yang menerpa kulit wajahnya, terasa hangat dan membuat kepala perempuan itu semakin menggila. Mata Ranesha tidak bisa lepas menatap wajah tampan yang terlihat sangat memikat milik Hail sekarang dan … bibir Ranesha seolah meminta untuk dilumat oleh mulut Hail lagi.Sebenarnya dia kenapa hari ini? Ranesha merasa tubuhnya jadi sangat sensitif sekali padahal … sekretaris cantik ini sangat ia yakin tidak
Tidak ada sosok Hail di sisi Ranesha ketika perempuan yang telah menyerahkan mahkotanya ini bangun di pagi hari. Tidak ada perlakuan istimewa lainnya yang padahal sempat Ranesha bayanngkan, layaknya pasangan pengantin baru di hari pertama mereka menjadi suami dan istri.Tidak ada sapaan untuk mengucapkan selamat pagi. Tidak ada pelukan karena masih merasa malas bangun saat matahari menunjukkan diri. Tidak ada morning kiss. Tidak ada sarapan yang hangat. Tidak ada percakapan panas seputar bagaimana mereka melewati malam penuh gairah itu. Sungguh, sungguh, dan sungguh … tidak ada yang berbeda. Tak ada kata istmewa.“Sebenaarnya … apa yang Hail inginkan, sih?” Ranesha yang masih merasakan nyeri di area bawah miliknya, juga kesulitan berjalan karena pinggang dan punggungnya yang masih kesakitan, harus tetap memaksakan diri untuk terus bekerja di hari yang sudah diawali dengan menyebalkan ini.