Hingga matahari terbenam, Vela masih belum menampakkan batang hidung. Pukul tujuh, pukul delapan, pukul sembilan. Pintu rumah tidak kunjung dibuka olehnya. Sang suami yang semula duduk di ruang tamu, kini tidak bisa lagi tinggal diam.
“Kenapa belum pulang juga?” gerutu pria yang berjalan mondar-mandir dengan ponsel melekat di telinga. Selang beberapa detik, ia menekan tombol merah lalu kembali menghubungi nomor yang sama untuk kesekian kalinya.
“Ayo, Vel! Nyalakan HP-mu …. Angkat teleponku!”
Cekrek! Pintu rumah akhirnya terbuka. Eridan sontak mematung hingga wajah pucat sang istri menyapa.
“Vela?” Tanpa sempat mengakhiri panggilan, pria itu menghampiri sosok yang dinanti-nantikan. “Kamu—“
“Maaf, Ridan. Aku capek banget,” sela sang istri sembari menyeret langkah menuju kamar mandi.
“Tadi—“
“Nanti, ya. Aku mau mandi dulu,” tutur Vela dengan suara pelan.
Vela mengernyit, lalu membuka mata. Dengan pandangan yang masih belum jelas sepenuhnya, ia berusaha duduk dan mengamati jam. Begitu melihat jarum pendek hampir menyentuh angka delapan, pelupuknya sontak tertarik maksimal.“Astaga! Kenapa jam bekerku enggak berbunyi?” gerutu sang wanita sembari turun dari ranjang. Sambil menahan pusing, Vela berjalan menuju kamar mandi.“Eits! Hati-hati, Vel! Kenapa kamu buru-buru? Ini kan hari Minggu,” celetuk Eridan yang hampir ditabrak oleh sang istri.“Maaf, Ridan! Aku terlambat,” timpal Vela sembari menarik lengannya dari genggaman sang suami.“Terlambat ke mana?” tanya sang pria dengan sorot mata melekat pada punggung istrinya.Tanpa menjawab, Vela menghilang di balik pintu kamar mandi. Perempuan itu tidak tahu bahwa sang suami sedang mengulum senyum. Pria itu senang karena misi rahasianya telah dimulai dengan lancar. Setelah mengangguk-angguk misterius, Eridan
Vela dan Eridan bertatapan dalam diam. Sang pria baru sadar bahwa lidahnya telah mengucapkan kata yang tak seharusnya, sedangkan sang wanita sudah telanjur menanam kekesalan suaminya dalam hati.“Oke,” ucap Vela memecah keheningan. Kepalanya mengangguk-angguk dengan wajah sendu. “Kalau begitu, aku minta maaf. Aku enggak tahu kalau ternyata, aku enggak boleh membantu kamu.”Melihat Vela melangkah pergi usai menyelesaikan kalimat, Eridan spontan turun dari motor dan berlari mengejar. “Tunggu dulu, Vel. Bukan begitu maksudku,” bisik sang pria sambil menggenggam lengan istrinya.“Terus, apa? Harga dirimu terlalu tinggi untuk menerima bantuan dari orang lain, termasuk aku? Begitu, kan?” tutur sang wanita dengan suara tertahan. Meski emosinya meledak-ledak, ia tidak ingin orang lain mendengar pembicaraan mereka.Eridan pun mendesah lelah. “Enggak, Vel. Aku bukannya enggak mau menerima bantuan kamu. Aku cuma kasihan—“
“Engh, Ridan? Emh ….”Vela kesulitan bernapas. Sang suami seakan tidak ingin lepas dari bibirnya. Sudah beberapa menit kedua insan itu bergelut di atas ranjang, Eridan masih belum memberi istrinya kesempatan untuk bicara.“Ridan!” pekik Vela sembari memalingkan wajahnya yang sudah memerah. Dengan tergesa-gesa, wanita itu memaksa paru-parunya untuk memompa lebih banyak udara.Sadar bahwa sang istri sudah kewalahan, sang pria pun bergerilya menuruni Vela. Tanpa memberi jeda, ia terus menghujani tubuh wanita itu dengan kemesraan.“Ah … Ridan ....” Vela mencengkeram kepala yang sedang menaklukkan puncak bukitnya. Perempuan itu sama sekali tidak sadar bahwa gaun tidurnya sudah mendarat di atas lantai.“Kamu menikmatinya, kan?” bisik Eridan ketika kembali menyejajarkan pandangan. Akal sehatnya telah tertutupi kepulan hasrat. Belum sempat istrinya menjawab, sang pria sudah kembali membungkam mulut manis it
“Eridan, kamu sudah pulang? Bagaimana tadi? Lancar?” sambut Vela ketika suaminya tiba di teras rumah. Senyum manis telah melengkapi tatapan hangatnya.“Lancar,” angguk Eridan seadanya.Sadar akan sikap dingin suaminya, bibir sang istri sontak mengerucut. Setelah memutar otak sejenak, mulutnya kembali terbuka. “Malam ini, kamu jadi mengantarku? Ada sesi les dua jam,” tanya Vela dengan nada pelan. Ada keraguan terselip di antara kata-kata.Selang beberapa detik, sang suami belum juga menjawab. Vela pun memberanikan diri untuk lanjut bicara. “Kalau bisa, kita berangkat lebih awal, ya. Soalnya, ini pertemuan pertama. Jadi, kita harus mencari alamatnya dulu.”Tiba-tiba, Eridan menarik napas panjang. “Maaf, Vel. Kamu pesan ojek online saja, ya. Aku capek banget,” tolaknya tak terduga. Laki-laki itu belum pernah mengingkari kata-katanya.“Oh … oke,” sahut Vela menyembunyikan kecewa. Lengkung bibirnya yang
Mau tidak mau, Vela meraih ponselnya di bawah selimut. Dengan tangan kiri yang masih mulus, ia menyerahkan benda itu kepada sang suami.“Loh? Kenapa HP-mu retak?” selidik Eridan dengan sebelah alis melengkungkan tanya.Perasaan Vela mendadak menjadi sedikit lega. Pria di hadapannya ternyata belum mengetahui kecelakaan itu. Bukankah itu berarti, si perempuan masih memiliki harapan untuk menutupi rahasianya?“T-tadi, enggak sengaja jatuh,” jawab Vela dengan bola mata terus berputar.Tanpa menaruh curiga, sang pria mulai memeriksa isi ponsel istrinya. Beberapa detik kemudian, dengan rahang mengeras, ia menunjukkan layar yang retak itu kepada Vela.“Kenapa kamu enggak bilang kalau Cassie masih mengganggu kamu?” tanya Eridan dengan penekanan. Mata sang istri pun terbelalak.“O-oh, itu ….” Vela hampir
Eridan mengunci pintu dengan raut datar. Tamunya baru saja pulang, meninggalkan kesan misterius yang menyuburkan tanda tanya dalam benaknya. “Jadi, apa yang sebenarnya disembunyikan oleh Vela?” gumamnya. Sambil menerka-nerka, pria itu berjalan masuk ke kamar.Belum semenit Eridan kembali di depan laptop, suara khas dari tuas pintu kamar lamanya terdengar. “Hm? Vela keluar kamar?”Selama beberapa detik, sang pria memutar otak. “Benar juga. Hari ini, dia hanya keluar setiap aku masuk kamar.” Setelah celingak-celinguk mencari ide, tangannya pun meraih botol minum. Seperti orang kehausan, ia menenggak habis sisa air yang ada.Dengan berpura-pura santai, Eridan berjalan memasuki dapur. “Kamu enggak mengajar malam ini?” tanyanya sembari menghampiri galon.Vela yang sedang berdiri di depan bak pencucian piring pun terperanjat. Tanpa menoleh, perempuan itu menjawab, “Enggak.”“Kenapa?”“Aku
Vela meletakkan sepiring nasi goreng ke atas meja. Sambil mengingat-ingat kejadian semalam, ia mengunyah makanannya dengan kasar seolah-olah itu Eridan.“Dasar semena-mena!” umpatnya dalam hati. “Padahal, dia dulu yang memintaku untuk tidak mencampuri urusannya. Lalu, kenapa dia malah sok peduli padaku? Apa dia mau membuatku menjadi sosok istri yang jahat?”Sekali lagi, Vela memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut. “Awas saja kalau dia menarik ucapan kemarin. Pokoknya, aku enggak bakal memberi bantuan ataupun perhatian lagi, sekecil apa pun itu.”Tatapan Vela beralih ke arah jam dinding. Selang satu kedipan, sendok di tangannya kembali mengantar nasi ke depan mulut meskipun suapan sebelumnya masih dikunyah. “Aku harus cepat. Jangan sampai dia masuk dapur sebelum aku selesai makan,” batinnya.“Wah, ada nasi goreng!” seru Eridan tanpa terduga. Mata si wanita pun terbelalak. Detik berikutnya, dengan tatapan heran, Vela m
“Kenapa kamu ikut masuk? Keluar!” pekik Vela ketika lengan Eridan mulai melingkari dirinya.“Aku juga takut, Vel. Biarkan aku bersembunyi di sini,” ujar sang pria sembari memantapkan posisi menjiplak pose istrinya. Tubuh mereka kini sudah tidak lagi berjarak.“Bohong! Kamu kan suka petir,” protes Vela sambil mendorong tangan Eridan menjauhinya.“Bukan petir, Vel, tapi kesempatan ini. Aku takut melewatkan kesempatan untuk berbaikan denganmu,” bisik sang suami sambil menempelkan bibir di cuping telinga si wanita. Kerut alis Vela pun bertambah dalam.“Bohong! Kamu pasti mau mengambil kesempatan dalam kesempitan,” tuduh perempuan yang masih berjuang mengendurkan pelukan suaminya. Akan tetapi, tenaga Eridan bukanlah tandingannya.“Kalau itu sih tergantung dirimu, Vel. Kalau kamu terus bergerak-gerak, aku bisa saja mengambil kesempatan,” ancam sang pria secara tidak langsung.“Ih … lepas!