Siang hari yang seharusnya indah sekarang berubah menjadi suram. Fiya terkejut saat mendapati seseorang di depan pintu apartemennya. Ia yang saat itu sangat berantakan karena belum mandi dan tentunya juga ia baru bangun dari tidurnya. "Bukannya Go Food," batin Fiya. "Perasaan tadi pesen makanan sama Go Food. Kok sekarang malah Pak Aryan," batinnya lagi sambil melihat wajah Aryan sambil tersenyum. Fiya yang melihat Aryan jarang-jarang senyum malah menjadi takut. "Bapak ngapain di sini?" "Pesanan kamu, udah saya bayar tadi. Boleh masuk?" Tanyanya. "Ada yang harus saya bicarakan." "Kayaknya sekarang gak bisa Pak," ucap Fiya sambil tersenyum kemudian melihat apartemennya yang sangat berantakan itu. "Saya ada kegiatan lain. Habis makan saya langsung keluar," ucapnya lambat karena posisinya saat ini adalah membohongi Aryan. "Kalau gitu saya antar," ucap Aryan. "Gak usah Pak, beneran gak usah," ucap Fiya yang sebenarnya tidak nyaman sekarang. Sangat susah untuk menolak orang, apalagi A
"Siapa takut," ucap Fiya sambil tersenyum. Ia sangat percaya diri. Menembak adalah sebuah keahliannya. Hanya saja sekarang ia sudah jarang untuk bermain game ini. Karena bermain game seperti ini adalah membuang uang Fiya secara cuma-cuma. Mereka kemudian mengambil senapan itu. Aryan memperhatikan Fiya yang sangat serius memperhatikan botol yang sangat jauh itu. Ia hanya tersenyum tipis. Kemudian ia fokus untuk menembak. Sebab ia harus menang. Pekerjaan adalah taruhannya. Setelah menyelesaikan 3 babak kini hasilnya sudah keluar. Yang memenangkan pertandingan itu adalah Fiya. Fiya begitu kegirangan dan tertawa bahagia sambil memperhatikan Aryan yang kesal karena kalah. "Permainan lain," ucap Aryan yang kemudian menariknya dan membawanya ke tempat game lain. Sekarang adalah game Bowling, melempar bola ke arah pin bowling untuk mendapatkan skor. "Ini?" Tanya Fiya sambil percaya diri. "Ini sih gampang Pak.""Gak usah ngomong dulu, buktiin!" Fiya tersenyum tipis. Mereka kemudian bertan
"Oh ya Pak, kata Bapak tadi ada yang harus dibicarakan. Tentang apa?" tanya Fiya penasaran."Setelah saya pikir-pikir tentang kamu yang akan mundur dari posisi sekretaris. Saya akan menerima itu dengan syarat kamu harus tetap berada di perusahaan sampai ada yang menggantikan posisimu," jelas Aryan.Fiya mengernyitkan dahi tanda tak paham. "Maksud Bapak, saya tetap harus bekerja sebagai sekretaris Bapak sampai pengganti saya ditemukan dan siap mengambil alih?" tanya Fiya memastikan.Aryan mengangguk, "Ya, kamu yang akan memberi pelatihan untuk penggantimu nanti. Saya akan segera mengirim permintaan rekrutmen sekretaris baru ke bagian SDM.""Oh begitu..." gumam Fiya. Sejujurnya ia agak keberatan harus bertahan lebih lama lagi menjadi sekretaris boss-nya yang temperamental itu. Tapi ia juga paham alasan Aryan. "Baiklah Pak, saya mengerti. Akan saya lakukan," ucap Fiya akhirnya.Aryan tersenyum lega. Setidaknya untuk sementara, ia bisa menikmati kebersamaannya dengan Fiya lebih lama lagi
"Aneh," batin Fiya. "Apa mungkin tentang gosip tentang pacaran itu ya?" Batin Fiya. "Gak ada Pak, emangnya kenapa?" Tanya Fiya balik. Fiya berpikir akan lebih baik jika Aryan tidak perlu tau masalah itu. Lagi pula gosip akan reda dengan seiringnya waktu. Di tambah lagi dia hanya tinggal menunggu waktu ia akan pergi dari perusahaan itu. "Kamu yakin?" Tanya Aryan lagi yang penasaran. "Mungkin itu perasaan Bapak aja. Apalagi hari ini ketemu klien-klien yang sangat penting." Aryan hanya terdiam. Hanya berpikir seperti apa yang dikatakan oleh Fiya. Mungkin memang hanya perasannya saja. Karena tidak ada yang perlu di bicarakan lagi. Fiya kemudian izin untuk keluar dari mobilnya. Seperti biasa Aryan selalu menatap Fiya hingga ia sampai masuk di apartemennya. ***Tidak terasa sudah dua hari berlalu. Tapi pada hari ini ada yang aneh lagi. Kejadiannya hampir sama seperti gosip tentang Fiya dan Aryan yang pacaran. Fiya dengan yakin seratus persen, kalau tatapan mereka semuanya tidak suka de
"Aku harus cari tau gimana tentang pengganti aku," batin Fiya. "Semuanya harus selesai!"Fiya berniat untuk segera menanyakan soal pengganti dirinya pada Aryan. Namun langkahnya terhenti begitu melihat sang atasan tengah sibuk berkutat dengan tumpukan berkas dan laptopnya. "Bapak ngasih apa sih ke saya? Bahkan mau bertanya tentang itupun rasanya gak enak," batin Fiya. Raut wajah Aryan nampak letih, sesekali memijit keningnya yang berkerut. Jelas sekali ia sedang menghadapi banyak tekanan pekerjaan.Melihat pemandangan itu, niat Fiya untuk berunding mundur dari jabatannya jadi urung. Bagaimanapun butuh proses untuk mencari pengganti sekretaris yang kompeten menggantikan dirinya. Sementara Aryan sangat bergantung padanya saat ini.Fiya mengurungkan niatnya untuk bicara hari ini. Ia tidak tega memberi beban tambahan pada atasannya yang sudah kepayahan itu dengan permintaan mundur mendadak. Mungkin lain waktu jika kondisinya lebih tepat. Sementara ini, Fiya harus tetap bertahan. Bukan
Situasi yang semula tegang mendadak menjadi kacau balau ketika Riani yang temperamental hilang kesabaran. Dengan gerakan kilat, ia menerjang dan mencengkeram kerah baju Fiya."Lo pikir bisa seenaknya nuduh gue hah? Rasain ini!" maki Riani sambil menjambak rambut Fiya kasar."Aduh, lepasin! Sakit tau!" erang Fiya sambil berusaha melepaskan cengkeraman Riani. Tapi tenaga gadis itu luar biasa kuat dalam mode emosi. Tidak terima dijambak, Fiya pun membalas mencakar dan menjambak Riani. Keduanya saling terlibat pergulatan sengit, bergumul dan saling mencakar bak kucing dan anjing.Para karyawan yang menyaksikan hanya bisa melongo, tak ada yang berani ikut campur melerai. Mereka seolah menonton acara gulat gratis live di kantor. "Rasain nih! Biar tau rasa lo bikin hidup gue menderita!" maki Fiya sambil terus mencakar dan menjambak rambut Riani. "Gua bunuh lo!" balas Riani tak kalah garang. Kukunya yang tajam mencakar lengan dan pipi Fiya hingga terluka.Keadaan kian kacau hingga akhirnya
Alarm berdering nyaring di pagi hari membangunkan Fiya dari tidurnya yang tak nyenyak. Ia segera memeriksa suhu tubuhnya dan ternyata masih panas. Demamnya masih juga belum turun."Huh, masih sakit. Kayaknya aku harus izin gak masuk hari ini," gumam Fiya lesu.Dengan sisa tenaga yang ada, ia meraih ponsel di meja dan mengetik pesan singkat pada Aryan, meminta izin untuk absen karena sakit dan tidak enak badan. Setelah mengirim pesan pada Aryan, Fiya tidak kunjung mendapat balasan."Kok belum dibales ya? Apa Pak Aryan masih di luar kota?" gumam Fiya penasaran sambil memandangi layar ponselnya.Ia mencoba mengirim pesan lagi untuk memastikan, tapi tetap tak ada respons dari Aryan. Mungkin benar sang atasan masih ada urusan dinas di luar kota sehingga belum membaca pesannya."Ya sudahlah, mungkin Pak Aryan sedang sibuk sekali," batin Fiya akhirnya. Ia memutuskan untuk beristirahat saja dan tidak memikirkan soal izin absen dulu.Fiya
Fiya bingung harus menjawab apa. Karena jika di tanya seperti itu ya sekarang dia tidak memiliki siapapun itu. Orang tua saja sudah tidak peduli dengannya. Apalagi teman. Zaman sekarang sangat susah untuk mencari teman, apalagi kondisi Fiya sekarang yang bisa di katakan biasa saja. Tapi sudahlah lagi pula ia tidak ada waktu untuk untuk hal itu. Sejak enam bulan yang lalu fokus Fiya adalah pada pekerjaannya. "Bapak kalo ada kerjaan ke kantor aja," ucap Fiya sambil menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut hingga hanya tersisa kepalanya saja. "Luka kamu udah di kasih salep?" Tanya Aryan sambil memperhatikan luka-lukanya. "Udah." "Kapan?" "Semalam." "Dimana salepnya? Biar saya kasih," ucap Aryan hendak pergi untuk mengambil salep itu. "Di toilet," ucap Fiya. "Samping dapur," tambahnya lagi. Aryan lalu segera pergi ke toilet dan mengambil salepnya. Saat datang ia segera mengoleskan krim itu pada waj