Fiya hanya tersenyum tipis. Mendapat perlakuan seperti ini membuatnya sedikit terharu. Rasa kangen yang selama ia pendam bisa di katakan sudah tercurahkan hari ini. Ya walaupun dia tidak tau kedepannya akan bagaimana. Setidaknya ia harus menikmati momen kekeluargaan ini. Saat Fiya memegang gagang pintu kamarnya ia menghela nafasnya. Saat terbuka ia tersenyum. Kamarnya masih begitu tersusun rapi seperti sebelumnya. Tidak ada perubahan sama sekali.Ia berjalan perlahan menyusuri kamarnya yang lumayan besar itu. Saat ia memasuki barang-barangnya pun tidak berubah. Baju-bajunya yang tergantung dengan rapi dan beberapa perhiasannya yang sangat ia sukai itu. Tidak lupa koleksi tas branded nya. "My favorit," ucap Fiya sambil memegang tas itu. "Udah lama kita gak jumpa," ucapnya lagi sambil memeluk tas itu. Setelah puas melihat suasana kamarnya, Fiya lalu tidur siang. Karena matanya entah mengapa sangat mengantuk. Sudah lama ia tidak tidur di kasurnya itu. Sekitar sore hari, suara ketukan
"Dia!" Tunjuk seorang laki-laki dengan wajah yang sedang kebingungan itu. "DIA ADALAH PACAR SAYA. DAN SAYA AKAN MENIKAHINYA," ucapnya lagi dengan lantang."Saya?" Tanya seorang wanita yang baru saja masuk dan berjalan ke arah mereka. Ia kemudian melihat ke kanan dan kiri takut seseorang mendengarnya. Untungnya ruangan itu kedap suara.Wanita itu adalah seorang sekretaris yang bernama Safiya. Ia biasa di panggil Fiya. Tapi orang-orang di perusahaannya memanggilnya dengan sebutan Sekretaris Sa. Ia baru enam bulan bekerja di sana. Fiya adalah lulusan dari luar negeri, Harvard University. Harvard University adalah sebuah kampus terbaik di dunia. Dan sudah di pastikan Fiya adalah sosok yang mempunyai segalanya. Ia cantik dan pintar. Membuat orang-orang di perusahaan tunduk dan tidak berani untuk mendekati Fiya. Di tambah Fiya yang tidak banyak omong. Selama di perusahaan ia tidak ada teman satupun. Mereka segan untuk mengobrol dengan Fiya. Mereka hanya saling berkomunikasi tentang pekerj
"Fiya?" Tanya Aryan yang sedari tadi memperhatikan wajah Fiya yang bengong. "Kenapa Pak?" "Kamu gak dengar apa yang saya bilang tadi?" "Baju?" Tanya Fiya sambil memikirkan khayalan sesaat tadi. Khayalan yang tidak mungkin ia lakukan. Aryan hanya mengangguk kecil dan menyilangkan kedua tangannya. Ia menatap tajam Fiya yang sedari tadi tidak bergerak. Fiya yang malas mencari masalah lalu langsung masuk ke ruang ganti dan diikuti oleh pelayan di sana. Setelah bolak-balik mencoba baju agar sesuai dengan keinginan Bos nya. Akhirnya selesai juga dengan dress berwarna putih yang panjangnya hanya selutut sedikit kembang. Aryan yang sedang memilih-milih heels untuk Fiya terhenti sejenak. Siapa yang tidak terkesima dengan Fiya. Apalagi menggunakan dress yang sangat jarang ia pakai saat bekerja. Saat bekerja Fiya sudah sangat terbiasa menggunakan baju kemeja ataupun kalau tidak ya menggunakan outer dengan bawahan rok span panjang selutut atau celana. Benar-benar mencerminkan seorang sekre
Aryan mengambil tisu dan mengelap bibir Fiya yang terkena air. Aryan sekarang benar-benar berbeda. Seperti memiliki kepribadian ganda. Fiya tentunya agak shock mendengar itu. Tidak mungkin ia menikah dengan orang seperti Aryan. "Jangan sampe deh hidup gua kayak di novel-novel yang ntar gua di hamilin, terus di selingkuhin, terus di tinggal. Jadi janda anak satu. Enggak. GAK BOLEH. JANGAN SAMPAI! Kan gua pengen nikah sama orang yang gua suka dan dia juga suka gua." Batin Fiya. Mama Aryan benar-benar tidak bisa berkata apa-apa sekarang. Apalagi melihat Papa Aryan yang sepertinya menyukai Fiya dan Aryan yang sangat perhatian pada Fiya. "Papa setuju kalau kamu nikah sama Fiya. Tidak masalah dia sekretaris kamu. Bukannya malah bagus. Karna dia pasti ngerti, dan selama ini kinerjanya juga bagus dan layak di samping kamu," ucap Papa Aryan. "Makasih Pa, aku juga yakin dia bisa jadi pendamping hidup aku," ucap Aryan sambil menatap Fiya sambil tersenyum, Fiya pun membalas senyumannya kemudi
Aryan terkejut dan marah mendengar permintaan kliennya itu. Baginya, Fiya bukanlah sekedar aset perusahaan yang bisa dijual untuk keuntungan. "Maaf Pak, saya tidak bisa menerima permintaan Bapak. Fiya adalah karyawan saya sekaligus pacar saya. Saya tidak akan menyerahkannya begitu saja demi uang," tegas Aryan.Klien itu terlihat kesal mendengar penolakan Aryan. "Jadi Bapak menolak kerja sama yang sangat menguntungkan ini hanya karena perempuan itu? Bapak pasti bercanda!""Saya serius, Pak. Ada hal-hal dalam hidup yang lebih berharga dari sekedar uang dan keuntungan bisnis. Lagipula masih banyak peluang kerja sama lain yang bisa kita jajaki," balas Aryan tegas.Aryan lalu berdiri dan berkata, "Saya gak perlu kerja sama ini," ucapnya lalu berjalan mencari Fiya. Klien itu hanya tersenyum tipis melihat kepergian Aryan. Entah apa yang terjadi dengan klien tersebut. Dan entah apa juga yang terjadi dengan Aryan. Padahal apa yang klien katakan adalah benar adanya. Tapi Aryan dengan cepat m
Fiya melihat lekat pelayan yang membawa bunga itu. Memastikan bahwa dia tidak ke arahnya. Tapi sepertinya tidak sesuai harapan. Sekarang ia sudah telat berada di meja makan mereka. Aryan mengambil bunga itu sambil berdiri dan tersenyum. Kemudian ia berjalan pelan ke arah Fiya dan mengulurkan tangannya. Wajah Aryan menyiratkan ia harus melakukan hal romantis itu sekarang. Dengan terpaksa, Fiya menggapai tangan Aryan sambil tersenyum. "Bunga ini buat aku?" Tanya Fiya sambil tertawa bahagia. Aryan tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. "Gimana? Kamu suka kan sayang?" Tanyanya sambil memberikan bunga itu. Fiya mengambil buket bunga itu dan menganggukkan kepalanya. Ia tersenyum begitu indah hingga kantong matanya terlihat. "Makasih." Mereka berdua lalu berpelukan. Orang-orang di sana yang melihat keromantisan itu tentu saja ikut turut bahagia. Hingga yang ada di sana memberikan tepuk tangan yang meriah. Fiya kira kejutan itu sudah sampai sini saja. Tapi ternyata itu baru saja p
"Saya izin keluar Pak," ucap Fiya lalu langsung keluar dari mobil Aryan dan berlari kecil tanpa melihat ke belakang sekalipun. Ia benar-benar bisa gila sekarang. Saat sampai di apartemennya, Fiya melakukan segala aktivitas malamnya sambil memikirkan kejadian tadi dan tentang lamaran Aryan tadi. Sampai akhirnya, sekarang adalah waktunya Fiya tidur. Ia mencoba memejamkan matanya tapi pikirannya terus-menerus berputar ke Aryan. Fiya kemudian melihat obat tidur yang biasanya ia makan. Ya, dia adalah insomnia. Mempunyai penyakit susah tidur, apalagi ketika banyak pikiran. Menjadi seorang sekretaris merupakan bukanlah hal yang mudah. Apalagi ia tidak punya pengalaman. Tapi entah kenapa, dari banyaknya orang yang mendaftar. Fiya adalah satu-satunya yang terpilih. Bukankah harusnya ia syukuri itu sekarang. "Gak bisa!" Fiya kemudian mengambil obat itu dan meminumnya. Kemudian perlahan ia memejamkan matanya. Menunggu obat itu bereaksi. Di sisi lain, Aryan yang menatap layar laptopnya terus
"Coba cerita sama kakak," ucap Fiya dengan lembut. Tapi Rini hanya menggelengkan kepalanya. Fiya hanya terdiam, tidak tau harus bagaimana. "Emm, ya udah kalo gak mau cerita gak apa-apa," ucap Fiya sambil berpikir ia harus bagaimana. "Oh iya nama kucing ini siapa? Lucu kayak kamu tau.""Namanya Kitty," ucapnya tertawa begitu bahagia. "Namanya bagus, lucu lagi," ucap Fiya sambil ikut tersenyum. Sekitar tiga puluh menit, Fiya menemani Rini. Hingga kini Aryan sudah kembali dan menghampirinya. "Papa," ucap Rini sambil memeluknya begitu erat. "Papa?" Tanya Fiya yang kebingungan. Apa yang terjadi sekarang? Apakah Aryan mempunyai anak? Ia baru tau sekarang? "Kamu baik-baik aja kan selama Papa gak ada?" Tanya Aryan sambil tersenyum kepada anak itu. Fiya semakin membulatkan matanya. Bagaimana tidak Aryan sendiri memanggilnya dengan sebutan Papa. Sangat begitu jelas terdengar. Apa itu benar anak Aryan? Pertanyaan itu sangat ingin Fiya tanyakan. Tapi ia bungkam, karena ia bukan siapa-siapa