Suasana Minggu siang yang jauh dari harapan dokter Angkasa. Sejak menyampaikan keinginannya untuk mendekati Deandra, ia sudah tahu kalau akan mendapatkan pertentangan keluarga. Dan hari ini, kakaknya sudah bertindak."Bagi seorang janda seperti saya, nggak bisa hanya memikirkan kebahagiaan sendiri, Dok. Tapi ada anak yang harus saya pikirkan. Bagaimana perasaannya jika dia nggak disukai di keluarga baru mamanya.""Saya bisa menerima Antika.""Tapi keluarga dokter belum tentu menyukainya."Diam.Bu Wetty dan Pak Dedy yang berada di ruang tamu saling pandang. Ia mendengarkan semuanya karena suasana memang sepi, jadi suara Dea dan dokter Angkasa terdengar jelas. Anak-anak juga tengah bermain di lantai atas. Rizal dan Arsy yang duduk di sofa keluarga juga diam menyimak."Dugaan kita nggak meleset kan, Pa," ujar Bu Wetty lirih.Kemudian hening kembali. Pak Dedy memandang sang istri dengan perasaan terluka."Saya akan berusaha meyakinkan keluarga saya lagi. Beri saya waktu." Dokter Angkasa
MASIH TENTANGMU- Keputusan Deandra "Tumben kamu pakai kemeja merah jambu," seloroh Bu Hawa saat melihat putranya yang baru datang duduk di ruang tamu."Antik yang minta, Ma."Bu Hawa tersenyum lebar. Seumur-umur Gama belum pernah memakai hem warna cerah. Apalagi warna merah muda. Namun malam ini dia sanggup melakukan hal itu demi putrinya. Bisa menepis ego yang mendominasi hidupnya selama ini."Mama titip ini buat Antik." Bu Hawa memberikan kado pada Gama. Kotak yang telah dibungkus rapi dengan kertas kado warna merah jambu bergambar kuda poni."Bawa juga kue ini. Tadi mama pesan ke toko kue langganan mama." Bu Hawa menggeser kotak berisi kue tart yang ada foto Antika di permukaannya. Sang cucu pasti suka dengan kue yang didominasi warna merah jambu, warna kesukaan Antika. Juga warna kesukaan anak-anak perempuan pada umumnya.Sebelum berangkat ke rumah Dea, Gama memang mampir terlebih dulu ke rumah sang mama. Tadi Bu Hawa menelepon mau titip kado buat Antika."Meluluhkan hati yang p
Dari arah dalam muncul Dea yang mengenakan dress bercorak kembang-kembang warna soft pink. Rambutnya dibiarkan terurai. Mereka saling pandang dan membuat dada Gama kembali bergetar. Andai malam ini ia ditolak, akan kembali merasakan patah hati yang teramat hebat. Waktu bercerai dulu, masih bercampur dengan rasa marah dan kecewa. Namun kali ini, yang ada hanya rasa nestapa."Masuk, Mas!" Dea mempersilakan."Sayang, kado dari siapa ini?" tanya Gama ketika melihat kado yang ada di meja ruang tamu. Berbungkus kertas kado warna merah muda juga. Namun ada hiasan pita yang mempermanisnya."Dari Om Dokter, Pa," jawab Antika.Seketika Gama memandang ke arah Dea. Yang dipandang terlihat tidak berdosa. Lelaki itu menghampiri dan berdiri tepat di sebelah Deandra."Dari mana dia tahu Antik berulang tahun?" tanya Gama lirih. Dia tidak ingin menunggu nanti untuk bertanya. "Aku yang ngasih tahu," jawab Dea. Rona wajah Gama seketika berubah. Ia lupa pesan mamanya tadi. Ah, mamanya tadi hanya berpesa
MASIH TENTANGMU- Sebuah Janji"Halo, Pa." Gama menjawab telepon dari papanya. Dadanya selalu saja berdebar setiap kali ia mendapatkan telepon dari keluarga. Cemas jika yang diterimanya adalah kabar buruk tentang Mbah Kakungnya yang sekarang masih terbaring di rumah sakit.Dokter Angkasa belum mengizinkan untuk pulang. Sebab kondisinya belum stabil. Namun selama Gama beberapa kali ke rumah sakit, dia belum pernah bertemu lagi dengan dokter itu."Kamu sudah pulang?" "Belum, Pa.""Ada masalah?""Nggak ada.""Bagaimana Dea?""Alhamdulillah, dia mau ngasih kesempatan kedua," jawab Gama seraya memandang pada Deandra."Syukurlah. Tapi hati-hati dengan Alita. Mereka masih kerja satu kantor, kan? Apa Dea resign saja.""Nanti akan kami bicarakan, Pa.""Perempuan itu berbahaya, Ga. Rumahmu sedang diawasi. Ada lelaki yang sering mondar-mandir di jalan depan rumah. Tadi Gandi yang cerita. Anak buahnya beberapa kali lihat lelaki yang sama di sana.""Aku tahu. Aku sudah lihat rekaman CCTV-nya. Pa
Dulu sampai empat bulan lamanya, dia dan Alita bisa menutupi hubungan dari Dea. Gama yakin, sekarang ini dia juga bisa menyembunyikan hubungannya dengan Dea dari Alita.Hanya saja dulu Dea memang tidak mencari tahu tentangnya. Berbeda dengan Alita yang sengaja memata-matai dirinya."Kata istriku, Alita kemarin malam makan di kafe bersama sepupunya.""Masih sering ke sini?""Mungkin tujuannya bukan hanya makan. Pasti ada hal lain yang ingin ia ketahui. Tapi aku sudah pesan ke Melati, kalau tidak perlu mendekati bahkan sampai bicara panjang lebar dengan Alita.""Papa dan mamanya Lita masih di sini?""Mamanya saja yang masih tinggal. Papanya sudah kembali ke Surabaya.""Sebenarnya rumit juga kalau kita melaporkan ancamannya Lita. Sebab dia sekarang diam tanpa tindakan. Yang bekerja hanya orang-orang suruhannya saja.""Gampang, kalau dia mulai bertindak macem-macem. Ancam balik saja. Bilang kita bisa melaporkannya ke pihak berwajib. Kayaknya dia akan mengamuk setelah tahu kamu rujuk denga
MASIH TENTANGMU- RujukLangit cerah sore itu. Awan putih bak gumpalan kapas berarak di langit yang biru bersih. Pemandangan yang langka disaat musim penghujan begini. Hampir sebulan tiap sore pasti hujan, meski hanya sebentar."Han, aku temui dokter Angkasa sebentar." Dea menepuk bahu sahabatnya saat mereka sampai parkiran mobil."Dea, kamu harus ingat kamu siapa sekarang ini. Jangan sampai Gama tahu terus ngamuk sama kamu." Dengan suara lirih, Hani mengingatkan sahabatnya."Aku nggak enak saja sama dokter Angkasa. Dia udah nungguin sejak tadi.""Tapi nggak usah lama-lama. Kasihan kalau dia masih berharap padamu, sedangkan kamu sudah memutuskan untuk kembali pada Gama.""Aku ngerti." Dea mengangguk. Hubungan yang terancam itu memang tidak bisa diceritakan pada siapapun. Untuk memberitahu dokter Angkasa juga tidak mungkin. Khawatir kalau bocor ke orang lain. Akhirnya sampai juga ke Alita. Sebab gadis itu tengah gencar-gencarnya sibuk mencari tahu.Tadi siang Gama mengirimkan pesan. Le
[Maaf, Dok. Terima kasih untuk buket bunga dan bingkisannya. Tapi sebagai seorang teman, ini terlalu istimewa untuk saya.]Dipandangnya deretan kata-kata yang dikirim Deandra. [Nggak apa-apa. Antik bilang suka cokelat. Jadi aku belikan cokelat untuk kalian berdua.] Terkirim. Tidak lama sebuah balasan singkat terbaca olehnya.[Terima kasih, Dok.][Sama-sama, Dea.]Setelah membalas pesan, Dokter Angkasa menyimpan kembali ponselnya, kemudian menyalakan mesin mobil dan meninggalkan halaman klinik. Sementara Dea yang duduk di ranjangnya masih termenung menatap layar ponsel. Dia tidak boleh memberikan harapan. Tapi bagaimana ia akan menjelaskan. Menjabarkan semuanya juga jelas tidak mungkin. Jika diberitahu sekilas kalau dia rujuk dengan Gama, khawatir juga jika sampai pada Alita. Bukankah gadis itu juga sering mengantarkan neneknya ke rumah sakit untuk check up kesehatan.Suara ketukan di pintu kamar membuat Dea beranjak untuk membukanya. Mbak Sri sudah berdiri di sana. "Mbak Dea, disuru
MASIH TENTANGMU- NervousKeluarga Pak Dedy bernapas lega setelah melihat kendaraan siapa yang memasuki halaman rumahnya. Mempelai lelaki yang tengah ditunggu dan membuat mereka khawatir telah sampai meski terlambat. Bukan takut Gama akan melarikan diri, jelas itu tidak mungkin. Sekalipun dulu Gama seperti apa, tapi laki-laki itu tidak mungkin bertindak sepengecut itu.Mereka hanya cemas jika diam-diam Alita telah tahu semuanya dan menggagalkan acara.Tangan Dea berkeringat meski AC di ruang tamu menyala. Nervous. Padahal ini bukan pernikahan yang pertama kalinya. Menikah pun masih dengan pria yang sama. Bahkan mereka juga sering bertemu dan mengajak anak jalan bersama. Namun pagi ini tidak bisa dipungkiri, degup jantungnya tak berpacu seperti biasa.Gemuruh makin menderu saat ia bersitatap dengan pria tegap yang memakai jas warna hitam dan kemeja warna biru muda sebagai dalamannya, muncul di pintu. Gama juga terkesima menatap Dea yang sangat cantik pagi itu. Di mata Gama, Dea tidak b