Share

Hari Pertama Kontrak

Emily menekan-nekan bel apartemen Harold yang tak kunjung dibuka. Emily mendengus jengkel. Ia baru saja beranjak pergi saat terdengar suara dari interkom.

"Siapa? Ada yang bisa kubantu? Ini masih sangat pagi. Bukankah tidak sopan menekan bel apartemen seseorang berulang kali di pagi hari seperti ini?" tanya sebuah suara yang masih terdengar serak seperti baru saja bangun tidur. Nadanya suaranya terlihat kesal karena waktu istirahatnya harus diganggu.

Langkah Emily berderap kembali menuju depan apartemen Harold. "Emily Grace. Aku datang untuk membersihkan apartemenmu seperti kontrak kesepakatan yang sudah kutandatangani. Aku datang karena takut kalau saja kau akan menuntutku karena melanggar kontrak. Dan juga perlu kuingatkan bahwa kau sendiri yang menyuruhku untuk datang pada jam enam pagi. Tapi, jika pagi ini kau merasa terganggu dengan kehadiranku, aku dengan senang hati akan pergi dari sini. Terima—" belum selesai Emily menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara pintu dibuka.

Emily membuang nafasnya kasar, dan bergegas masuk ke dalam apartemen Harold. Nampak Harold yang berpenampilan seperti baru bangun tidur. Bahkan dengan wajah yang masih mengantuk, rambut acak-acakkan dan baju seadanya, Harold masihlah terlihat menawan.

"Kau tidak perlu menekan bel apartemenku setiap pagi. Masuk saja langsung. Kau mengganggu jam tidurku saja," gerutu Harold. Perkataan Harold memecah imajinasi Emily terhadapnya.

"Apa yang kau pikirkan, Em?" rutuk Emily dalam hati.

"Kau tidak memberikanku kartu akses apartemenmu dan aku tidak tau kata sandi pintumu karena kau tidak pernah memberitahuku, remember?" kata Emily yang tak kalah kesalnya karena ia sudah menunggu sangat lama tadi di depan apartemen Harold.

Harold mengangguk pelan. "Begitu ya? Aku akan menyuruh Anthony untuk memberikan kartu akses milikku. Mengenai kata sandi, aku tidak akan memberitahukannya kepadamu. Karena bisa saja kau nanti menyebar luaskannya," kata Harold sambil setengah bercanda.

Emily mendengus. "Kau pikir aku orang macam apa!" serunya jengkel.

"Kau bisa mencari peralatan kebersihan di gudang,"  kata Harold malas.

"Aku akan kembali tidur. Tak usah menghiraukanku dan bekerja saja. Kau juga tak perlu membersihkan kamarku," kata Harold sambil berlalu pergi menuju kamarnya dan menutup pintunya rapat.

Emily sedang membersihkan dapur saat tiba-tiba Harold muncul hadapannya hanya dengam sehelai handuk yang terlilit di pinggang. "Aarrgghh!!!!" pekik Emily hingga ia tanpa sadar menjatuhkan Lap di tangannya. Ia segera berbalik membelakangi Harold.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Harold santai.

"Seharusnya aku yang bertanya. Apa yang kau lakukan! Kau tiba-tiba muncul di hadapanku dengan setengah telanjang seperti itu! Bagaimana bisa aku tidak terkejut. Dan juga, kau bilang tadi mau tidur! Kenapa juga kau tiba-tiba muncul hanya dengan menggunakan handuk? Kau tidak punya baju apa?" seru Emily masih membelakangi Harold. Sekarang Ia berdiri berhadapan dengan meja dapur.

"Ini rumahku. Mau aku berkeliling tanpa busana pun, itu merupakan hakku," balas Harold. Harold terdengar nampak sibuk dengan barang-barang di atas pantry.

"Ya! Kau benar, itu hakmu. Tapi, ada aku disini bodoh!"

"Kau tidak melanjutkan pekerjaanmu?" tanya Harold yang tidak menghiraukan seruan Emily barusan.

Emily membuang nafasnya jengkel. "Bagaimana aku bisa bekerja jika aku berada di ruangan yang sama denganmu dengan kau yang setengah tenajang di sini!"

"Memangnya apa masalahnya, Emily? Apa jantungmu berdebar saat melihat tubuhku?" tanya Harold sambil terkekeh.

Pertanyaan Harold membuat Emily naik pitam. "Berdebar apa—" Emily tak dapat menyelesaikan kalimatnya. Karena, saat ia membalikkan tubuhnya, Harold sudah berdiri di hadapannya dengan jarak yang sangat dekat.

Mata Emily membola. Ia menegak salivanya tat kala  melihat dada bidang Harold di hadapannya. Perutnya rata. Otot-ototnya tak terlihat berlebihan. Tubuhnya terlihat mengkilap karena sehabis mandi.

Emily membuang muka yang sudah memerah ke samping. Harold melangkah semakin mendekat. "Ada apa, Emily? Tak ingin menikmati pemandangan, huh?" bisik Harold di telinga Emily.

Dari jarak sedekat ini, Emily dapat mencium aroma sabun yang menguar dari tubuh Harold. Hal itu membuat Emily kembali meneguk salivanya. "Mengapa kau tidak menjawabku, Em?" bisik Harold lagi.

Emily memejamkan matanya. Ia mengigit bibir bawahnya karena gugup. Jantungnya tak berhenti bedegub kencang. Sejujurnya, wanita mana yang tidak akan merasa deg-degan jika berhadapan sedekat ini dengan Harold Spears? Emily tak mampu menyahuti kalimat yang dilontarkan oleh Harold karena ia merasa tenggokkannya tercekat.

Harold tiba-tiba menyentuh dagu Emily dan menolehkan wajah Emily ke arahnya. Ia lalu menarik bibir bawah Emily dengan jarinya, agar gigitannya terlepas. Hal itu membuat Emily merasakan gelayar aneh di tengkuknya. Ia menahan napasnya.

"Jangan pernah mengigit bibir bawahmu, atau aku akan benar-benar menyerangmu sekarang di sini. Di atas meja ini," kata Harold sambil menepuk meja dapur di belakang tubuh Emily.

Emily hanya terdiam, hingga Harold pergi menjauhinya dan mengambil secangkir kopi miliknya. Emily akhirnya menghembuskan napasnya yang sejak tadi tertahan, tat kala Harold pergi dari dapur dan hilang dari pandangan Emily.

Emily sudah selesai dengan pekerjaannya. Tapi, ia tak menemukan Harold di mana pun. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi saja dari apartemen Harold tanpa berpamitan.

.....

"Ya, Dad. Aku baik-baik saja. Tentu, aku akan pulang. Aku tidak ingin merayakan thanks giving sendirian di apartemen. Karena sepertinya Shopie akan sibuk dengan restorannya dan Jessica sedang berada di luar kota." Emily menjepitkan ponselnya di antara bahu dan telinganya, sementara tangannya sibuk menutup pintu mobil, dan tangan yang lainnya sedang menggenggam tali tas kerjanya.

Emily mengambil ponsel di antara bahu dan telinganya saat salah satu tangannya sudah kosong. Ia lalu menempelkan kembali ponselnya ke telinga sambil berjalan menuju lift yang berada di basement kantornya. "Baiklah. Aku bekerja dulu. Nanti akan kutelepon lagi. Dah, Dad. I love you," katanya sambil menutup panggilan telepon dari ayahnya.

Ayah dan ibunya pagi ini menghubunginya untuk menanyakan kapan Emily pulang untuk mengunjungi mereka. Sejujurnya, Emily ingin sering-sering pulang mengunjungi kedua orang tuanya. Tapi, apalah daya, pekerjaannya selalu menumpuk setiap saat. Saat masih menjadi penulis junior, para seniornya sangat suka memerintahnya melakukan banyak hal sehingga ia memiliki sangat banyak pekerjaan. Tapi, masa itu sudah berakhir karena sekarang ia sudah di angkat menjadi kepala penulis di kantornya.

"Tunggu!" seru Emily sambil berlari ke arah lift yang hampir tertutup.

Lift kembali terbuka lebar lagi dan Emily segera masuk ke dalamnya. Nampak beberapa orang di dalam yang menatap tak suka ke arahnya. Ia sudah biasa dengan hal tersebut dan sudah kebal terhadap orang-orang yang iri terhadapnya di kantor.

Emily baru saja sampai di lantai dasar saat ia melihat keributan yang sedang terjadi. Telinganya mendengar bisik-bisik dari para karyawan.

"Bukankah dia manager Harold Spears?"

"Apa yang ia lakukan disini?"

"Apakah Harold menjadi model majalah kita minggu ini?" dan berbagai gumaman-gumaman lainnya.

Emily memutar bola matanya. "Bahkan managernya pun terkenal," batinnya sebelum menghampiri Anthony cepat. Karena ia yakin laki-laki itu sedang mencarinya.

Emily menarik tangan Anthony yang sedang melangkah menuju resepsionis, dan membawanya ke tempat yang lebih sepi. "Apa yang kau lakukan disini?"

"Aku hanya ingin menyerahkan ini," kata Anthony sambil menyerahkan sebuah kartu.

Emily segera mengambil kartu milik Harold tersebut dan memasukkannya asal ke dalam tas.

"Anda tak bisa sembarangan meletakkannya. Jika anda kehilangan kartu tersebut, anda tidak akan bisa masuk ke dalam apartemen Mr. Spears," komentar Anthony.

"Tidak bisakah kau meneleponku terlebih dahulu dan kita bisa bertemu di luar saja? Lihatlah kekacauan yang kau buat!" seru Emily jengkel.

"Maaf, Miss. Tapi, anda tidak pernah memberikan nomor anda kepadaku ataupun Mr. Spears," jelas Anthony.

"Kupikir kalian menyelidikiku. Bagaimana bisa kalian tak memiliki nomorku," komentar Emily sinis sambil menyerahkan kartu namanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status