Share

Harold Spears

Emily pergi bersama Shopie dengan mobilnya. Mengikuti mobil milik Anthony. Hingga mereka sampai ke sebuah kompleks apartement mewah.

Sesampainya di lobby apartemen, Shopie ditahan untuk tidak ikut naik ke atas. Sedangkan Emily diminta untuk mengikuti Anthony ke atas. Ke tempat di mana Harold Spears tinggal.

Setelah sampai di depan sebuah pintu, Anthony menekan sebuah bel yang terletak di samping pintu apartemen nomor 13 ini. Melihat nomor apartemennya saja, Emily sudah bergidik ngeri. Ia sekarang sedang berpikir apa yang akan dilakukan oleh Harold Spears kepadanya. Mengingat perlakuannya yang kurang ajar kepada selebriti tersebut.

"Masuk!" terdengar suara maskulin dari interkom.

Anthony membuka pintu dengan kartu akses di tangannya. Ia lalu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan Emily untuk ikut masuk.

Emily mengikuti Anthony masuk ke dalam apartemen dengan nuansa abu-abu ini. Apartemen yang Emily duga merupakan milik Harold Spears, terlihat elegan dan mahal. Emily berasal dari keluarga yang cukup berada. Jadi hal seperti ini tidaklah mengejutkannya. Walaupun, keluarganya sudah pasti tak sekaya Harold.

Daripada terkejut dengan apartemen milik Harold Spears, Emily lebih terkejut dengan laki-laki yang sekarang sedang duduk di atas sofa sambil menyesap kopi dari cangkir di tangannya. Ia menatap Emily tajam dari balik bulu matanya.

Emily tercengang. Ia tak pernah melihat selebriti secara langsung sebelumnya. Merasa ditatap terlalu intens, membuat Emily menegak air ludahnya sendiri.

Harold Spears meletakkan cangkir di tangannya ke atas meja. Ia lalu berdiri perlahan. Tanpa melepaskan pandangannya dari Emily. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana pendeknya. Kaos berwarna hitam tanpa lengan membuatnya terlihat lebih santai. Demi tuhan! Emily seperti melihat Harold baru saja keluar dari iklan Calvin Klein.

Harold mengalihkan tatapannya dari Emily, dan menatap ke arah Anthony. "Kau bisa pergi," kata Harold dengan suara yang dapat membuat setiap wanita rela melemparkan diri kepadanya.

Anthony menganggukkan kepalanya. Tanpa menjawab, ia segera beranjak pergi.

Emily menatap kepergian Anthony dengan raut wajah gelisah. Sejujurnya ia tidak tau, apa yang harus ia lakukan sekarang.

"Ms. Grace, kurasa kau sudah tau alasan aku memanggilmu sekarang," Harold membuka pembicaraan dengan masih dalam posisi berdiri. Menatap lurus ke arah Emily.

Emily mengigit bibir bawahnya. "Aku meminta maaf sebesar-besarnya Mr. Spears. Atas ketidak sopanan yang saya lakukan kemarin malam. Saya akan memberikan konpensasi dan menanggung biaya penatu, untuk baju anda," katanya tulus.

Harold melambaikan tangannya di depan wajah. "Tidak perlu. Aku sudah membuang baju tersebut."

"Lalu, apa yang bisa kulakukan untuk menembus kesalahanku?"

"Konpensasi," kata Harold sambil mendekat ke arah Emily. Melihat Harold yang terus mendekat, membuatnya gugup.

Emily terus memundurkan langkahnya sementara Harold semakin mendekat ke arahnya. Hingga punggungnya menyentuh tembok yang dingin. Tubuh mereka sekarang hanya berjarak beberapa centi. Emily bahkan dapat dengan jelas mencium aroma tubuh Harold. Aroma mint memenuhi indra penciumannya.

"Aku ingin konpensasi," kata Harold rendah.

"B-bagaimana?" tanya Emily yang mulai merasa gugup. Bagaimana tidak. Ia sekarang berada di rumah laki-laki asing seorang diri. Tak akan ada yang bisa menjamin apa yang akan terjadi saat ini.

Harold mendekatkan wajahnya ke telinga Emily. Hal itu membuatnya merinding. "Mungkin kita bisa melanjutkan apa yang belum kita selesaikan semalam," bisik Harold.

Emily merasa gusar. Ia bukan wanita murahan. "Maaf sudah mengecewakanmu, Mr. Spears. Kejadian semalam merupakan kesalahan. Aku tak tertarik dengan anda sama sekali." Emily mendorong dada Harold dan berusaha berjalan melewatinya.

Awalnya Harold hanya bermain-main dan hanya menggoda Emily saja. Akan tetapi, melihat penolakan Emily, membuat Harold tertantang. Tidak ada gadis yang pernah menolaknya sebelumnya. Harold menahan lengan Emily dan kembali mendorongnya ke tembok.

Hal tersebut membuat Emily spontan membulatkan matanya. "Apa yang kau—" belum selesai Emily menyelesaikan kalimatnya, Harold sudah melahap habis bibirnya.

Emily berusaha mendorong Harold dengan memukul-mukul dadanya. Tapi, Harold tak bergeming. Ia terus mendesak bibir Emily agar menerima ciumannya. Merasa terganggu dengan tangan Emily yang terus memukulnya, Harold segera mengambil kedua pergelangan tangan Emily dan menguncinya di atas kepala gadis itu, tanpa melepas tautan bibir mereka.

Tak bisa melawan lagi, membuat Emily pasrah. Ia membuka bibirnya. Menerima ciuman Harold dengan suka rela. Sejujurnya, menurut Emily Harold merupakan pencium yang baik dan sangat mahir.

Merasakan tak ada lagi perlawanan dari Emily, membuat sudut bibir Harold terangkat. Emily bahkan sekarang sudah membuka mulutnya dan membalas ciumannya. Bibir Emily terasa manis bagi Harold dan ia merasa tak ingin berhenti melahap bibir gadis di hadapannya ini.

Harold melepaskan tautan mereka saat ia merasa kehabisan napas. Ia menatap wajah Emily yang sudah memerah. Bibirnya sudah bengkak. Membuat Harold tak tahan untuk tidak menyatukan lagi bibir mereka. Sungguh Harold bisa melakukan ini seharian.

Emily membalasnya. Membuat Harold bersemangat. Perlahan ia melepaskan cekalan di pergelangan tangan Emily. Tangannya berpindah meraih pinggul Emily dan merapatkan tubuh mereka. Sementara kedua tangan Emily sudah melingkar di leher Harold.

Tangan Harold yang perlahan menyusup ke balik blouse-nya dan menyentuh kulit perutnya, membuat Emily seketika merinding dan tersadar. Ia membuka  lebar matanya dan mengigit bibir bawah Harold dengan sangat keras.

Harold melepaskan tautan bibir mereka. "Shit!" geramnya sambil memegangi bibir bawahnya yang sudah berdarah.

Emily mendorong tubuh Harold semakin menjauh. "Jangan berani-berani menyentuhku, Spears!" Emily  menatap nyalang ke arah Harold.

Hal itu membuat Harold menyunggingkan senyum miringnya. "Akui saja bahwa kau juga tertarik padaku, Grace. Kau dengan jelas menikmati pergulatan kita tadi," katanya sambil berjalan menjauhi Emily. Ia mengambil tisu di atas meja di sudut ruangan, dan mengelap bibirnya yang berdarah.

"Jangan menilai dirimu terlalu tinggi, Spears!" geram Emily.

Harold terkekeh. "Kau bisa mengatakan bahwa kejadian di club semalam merupakan sebuah kesalahan, karena kau sedang mabuk. Tapi, kau tak bisa mengatakan bahwa kejadian tadi merupakan kesalahan, karena kau jelas menikmatinya dan kau tidak sedang mabuk sekarang." Harold kembali mendekat ke arah Emily. "Jadi, apa kau ingin menyelesaikan apa yang sudah kita mulai, Emily?" kata Harold dengan nada menggoda.

Emily menggertakkan bibirnya. "Jangan berani macam-macam, Spears! Atau aku akan melaporkanmu atas tindakan penyerangan."

Kalimat Emily sontak membuat Harold tersenyum. "Kau salah jika berpikir ingin menuntutku, Grace. Disini akulah yang dapat menuntutmu. Aku memiliki video penyerangan yang kau lakukan kepadaku di club. Sedangkan kau tidak memiliki bukti apapun bahwa aku sudah menyerangmu."

Harold benar, dan itu membuat Emily marah. Ia menggeram frustasi. "Jadi, apa yang kau inginkan, Spears?!" katannya di sela-sela giginya yang mengatup, menahan emosinya.

"Apa kau ingin tidur denganku? Baiklah akan kulakukan, dan selesaikan urusan kita," kata Emily jengkel sambil berusaha membuka kancing teratas blouse-nya.

"Woah, santai saja, Grace. Kuakui aku tertarik tidur denganmu. Tapi, aku tak ingin tidur denganmu sekarang. Aku bukan seorang bajingan yang memaksa seseorang untuk tidur denganku. Aku ingin pada saatnya kau sendiri yang dengan sukarela melemparkan diri kepadaku," kata Harold sambil menahan tangan Emily. Ia lalu perlahan mengancingkan lagi, kancing blouse Emily yang sudah terbuka.

"Jangan bermimpi!" geram Emily sambil menjauh dari Harold. "Jadi, apa yang kau inginkan jika bukan tubuhku?" imbuh Emily.

Harold menyungingkan senyum miringnya. "Sebuah kesepakatan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status