Hendi terperenyak. Dia sudah kehilangan ayahnya, jika kali itu ganti ibunya yang harus pergi, Hendi merasa dunianya hancur sudah. Karmila yang ada di sisinya menepuk-nepuk bahu Hendi sebagai tanda simpati.Selanjutnya waktu berjalan begitu lambat bagi Hendi. Tangannya berkeringat dingin, cemas menunggu Nurlaila keluar dari ruang operasi. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres dengan terjadinya musibah yang berturut-turut dalam keluarganya. Kapan semuanya itu bermula? Kepala Hendi berpikir keras.Akhirnya pintu ruang operasi dibuka. Beberapa perawat mendorong sebuah brankar keluar.“Itu Mama!” Hendi mendesah lega melihat Nurlaila berbaring di sana dengan satu mata dibalut perban.Seorang dokter mendekat. “Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan mata pasien. Sebelah bola matanya rusak parah seperti habis ditusuk benda tajam, jadi terpaksa kami angkat.”“Siapa yang sudah melakukan itu pada Mama? Belum ada satu jam saya pergi, Mama masih baik-baik saja.”Dokter itu menggeleng sedih. “Seti
Hendi sudah menemukan apa yang dia cari. Selanjutnya hanya tinggal menemui Dahlia, dan mengorek semua keterangan langsung dari mulut wanita itu. Dia pun beranjak hendak keluar kamar. Namun, saat tangannya memutar gagang pintu, pintunya tidak mau terbuka, padahal Hendi tahu kalau Bik Yanti sudah merusak kuncinya.“Kamu mau ke mana?” Suara dingin Kanjeng Ratu merayapi tengkuknya.Mengertilah Hendi kalau pintunya terkunci karena ulah Kanjeng Ratu. “Apa yang kau mau?” Hendi bertanya getir.Kanjeng Ratu ada di hadapannya, di atas ranjang, memakai kain jarik yang cuma selembar, yang bahkan tidak mampu menutupi seluruh sosoknya. Kaki jenjangnya yang putih mulus tersingkap sampai paha, belahan buah dadanya menyembul menggoda, tatapan matanya membius, dan bibirnya yang ranum merekah mengundang hasrat.Dada Hendi berdesir. Dia masih ingat apa yang pernah dilakukan oleh Kanjeng Ratu kepadanya tempo hari. Dia tidak mau lagi. “Itu bukan sosok aslinya!” Hendi membatin, “Entah makhluk apa dia sebena
Di dunia lain, di mana Nurlaila terperangkap dalam godaan ghaib, Ki Gendeng tengah merepet kepada Nurlaila, “Hei, perempuan gemblung! Kamu, kok, malah main-main? Kamu jadi pulang atau tidak?”Sementara itu, yang diajak bicara seakan-akan tuli, dan malah asyik tertawa-tawa sambil mengejar bocah-bocah di bawah bayangan rimbun pohon.“Sudahlah, Ki, biarkan saja manusia satu itu di sini. Dia bisa membantuku mengurusi para bayi.” Sesosok makhluk lain tiba-tiba saja ikut nimbrung. Sosoknya seperti peri yang cantik, halus, nyaris transparan, melayang turun dari atas pohon, lalu hinggap di sisi Ki Gendeng.Ki Gendeng yang saat itu sudah pindah melingkari salah satu dahan pohon mendesis-desis sebagai bentuk protes. “Belum waktunya dia jadi budakmu di dunia ini. Masih ada yang harus dia kerjakan di dunianya sendiri.”“Kamu terlalu memedulikan manusia yang satu itu, Ki. Apa untungnya buatmu?” tanya peri pohon penasaran.“Aku hanya patuh kepada guruku, si Naga. Dia mengutusku untuk menjadi pendam
“Mama, ini aku.”Nurlaila melihat Hendi ada di hadapannya, dan selama beberapa saat dia tidak bisa mengeluarkan kata-kata selain bicara di dalam kepalanya sendiri. “Ki, apa aku benar sudah kembali?”Ki Gendeng tidak menjawab, bahkan keberadaannya tidak bisa dirasakan Nurlaila. Kepalanya jadi enteng, melompong.“Ki, kamu ada di mana?” Panik, Nurlaila memanggil lagi, kali itu dengan suara keras sembari matanya memandang sekeliling dengan liar.“Mama, ini Hendi, apa Mama ingat aku?” Hendi meraih wajah Nurlaila, memaksanya untuk berpaling hanya kepada dirinya. “Mah, aku anakmu.”Pandangan Nurlaila mengikuti suara Hendi, lalu berhenti pada seraut wajah yang dikenalnya. Dia tesenyum. “Anakku,” ujarnya lirih.Hendi mendesah lega, kemudian memeluk Nurlaila. “Mah, apa matanya masih sakit?”Nurlaila mendengar, tetapi tidak memahami perkataan Hendi seakan-akan putranya itu bicara memakai bahasa asing. Senyum di wajahnya sedikit demi sedikit memudar, pandangan matanya kembali menerawang.“Mah?” H
Permintaan maaf Nurlaila tidak mengubah apa pun, apalagi menghapus dosa-dosa atas perbuatan mereka yang telah membuat perjanjian dengan jin hanya demi harta.“Mendiang Papa sudah kehabisan akal, hanya itu satu-satunya cara untuk bisa lepas dari ancaman para penagih utang. Kalau kami enggak segera bayar, mereka enggak akan segan membakar rumah atau melukai kami. Waktu itu kamu masih kecil, dan sebagai orang tua, kami enggak bisa membiarkan masa depanmu terancam. Tolong, pahamilah, Hendi, ampuni dosa-dosa kami.”Nurlaila ingin bersimpuh di kaki anaknya andaikan dengan berbuat begitu dia bisa meraih simpati Hendi. Tetapi, raut wajah Hendi yang dingin membuatnya takut.“Jangan pakai aku sebagai alasan untuk membenarkan pilihan kalian! Apa Mama tahu berapa harga yang harus kubayar karena kelakuan kalian itu? Makhluk itu ganti mengincarku, Mah! Kini, aku yang harus gantikan Papa untuk memenuhi ritual pesugihan kalian.”“Enggak mungkin! Ini salah.” Nurlaila menggelengkan kepala. Batinnya men
Dahlia kembali ke dalam selnya dengan perasaan tidak keruan. Langkahnya gontai, wajahnya kusut. “Enggak bisa, bukan aku yang salah, aku enggak bunuh siapa-siapa. Aku enggak layak berada di tempat ini!” Dahlia merutuk di dalam hati. “Sialan bandot tua itu! Sudah mati pun masih bikin aku menderita begini! Kenapa dia harus mati dengan cara begitu? Siapa yang membunuhnya? Kurang ajar!”Kapan tepatnya semua kisahnya bermula? Kenapa dia harus berakhir sebagai pesakitan di hotel prodeo? Kenapa dia bahkan sampai terlibat dengan Suroso? Dahlia berusaha merunut semuanya ke belakang.Dan, dia menemukan jawabannya ada dalam sepasang mata seorang pemuda. Bara, laki-laki pendatang di kampungnya. Bara datang dari kota besar, dia tampan, kulitnya putih seperti artis di drama Korea yang dipuja-puja Dahlia. Sikapnya cuek, dingin, tidak seperti pemuda kampung yang selalu suit-suit menggoda setiap kali Dahlia lewat. Tetapi, justru sikap dingin itu yang buat Dahlia penasaran. Dia ingin merebut hati Bara s
Hendi tidak lagi menunda-nunda waktu untuk pergi ke panti asuhan yang disebutkan oleh Dahlia. Di sana dia berhasil bertemu dengan kepala panti, seorang perempuan tua yang masih energik bernama Ibu Tarsih.“Saya Hendi, saya ingin mencari info mengenai keberadaan Dirga, kakaknya Maya.”Ibu Tarsih menjadi gelisah mendengar nama Maya disebut-sebut Hendi. “Maaf, kalau boleh saya tahu, apa hubungan Anda dengan Maya dan Dirga?”“Jujur saja, sebenarnya saya enggak ada hubungan apa-apa dengan mereka, bahkan saya sama sekali enggak kenal mereka, ketemu saja belum pernah.” Hendi menjawab apa adanya, “tapi, almarhum Papa kenal Maya.”“Loh, siapa nama papamu?”“Suroso,” jawab Hendi singkat.Ibu Tarsih tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Wajahnya seketika memerah karena menahan emosi. “Maaf, kami tidak bisa memberikan info sembarangan. Silakan, Anda keluar saja. Anda tidak akan mendapatkan apa-apa dari kami.”Hendi merasa kebingungan dengan perubahan sikap Ibu Tarsih yang mendadak ketus. “Sa
“Apa buktinya?” Dirga menyeringai. “Apa kau bisa buktikan kalau aku yang sudah bunuh ayahmu?”Hendi menatap Dirga geram. Reaksi Dirga bukan seperti orang yang tidak bersalah, malah sebaliknya, Dirga begitu tenang, bahkan menantang. Dalam sorot mata Dirga tidak ada ketakutan, keraguan, apalagi penyesalan, Hendi hanya bisa melihat kebencian yang meletup-letup seperti air mendidih dalam panci.“Aku enggak tahu bagaimana kau bisa melakukannya. Membunuh tanpa terlihat? Diriku yang dulu mungkin akan tertawa. Konyol! Mana ada orang yang bisa ngilang? Tapi, aku telah melihat banyak hal, hal-hal yang seharusnya enggak kulihat, jadi enggak ada yang enggak mungkin, semua bisa saja terjadi. Sama halnya denganmu yang membunuh Papa dengan cara pengecut.” Hendi berkata, sengaja memancing emosi Dirga.Namun, Dirga malah tertawa keras. “Pengecut, katamu? Katakan itu kepada mayat ayahmu! Kau sudah tahu semua kejahatan yang telah dilakukan ayahmu, bukan? Dan, kau masih membelanya?”“Apa pun yang telah d